Perajin tempe Lebak menjerit, desak pemerintah kendalikan harga kedelai
2 September 2013 07:41 WIB
Minta Perlindungan Harga Kedelai. Pekerja menyaring sari kedelai dalam proses pembuatan tahu di Kramatwatu, Serang, Banten, Sabtu (24/8). Para perajin tahu tempe yang tergabung dalam Gabungan Koperasi Produsen Tempe Nasional (Gakopti) Banten mempertanyakan realisasi Peraturan Presiden No.32 tentang perlindungan Harga Kedelai melalui Perum Bulog sebab penguatan dolar AS saat ini telah melambungkan harga kedelai dari Rp7.600 menjadi Rp8.700 per kilogram yang akan mengancam banyak perajin gulung tikar. (ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman)
Lebak (ANTARA News) - Sejumlah perajin tempe di Kabupaten Lebak, Banten, meminta pemerintah mengendalikan harga dan stok kedelai melalui operasi pasar maupun subsidi karena harga bahan baku tempe kini telah menembus Rp9.500 per kilogram.
"Kami berharap harga kedelai kembali normal dengan kisaran Rp5.500 per kilogram," kata Suhali, seorang perajin tempe warga Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Senin.
Ia mengatakan, perajin tempe di Rangkasbitung mengeluhkan melonjaknya harga kedelai di pasaran sehingga berdampak terhadap produksi, bahkan beberapa perajin tempe sudah gulung tikar akibat menipisnya modal tersebut.
Sebagian besar perajin tempe yang gulung tikar dengan produksi antara 30 sampai 50 kilogram.
"Kami minta pemerintah dapat mengendalikan harga kedelai karena setiap hari kedelai impor Amerika Serikat terus bergerak naik," katanya.
Menurut dia, saat ini harga kedelai di tingkat pengecer menembus Rp9.500/kilogram, padahal sepekan lalu Rp8.700/kg. Kenaikan harga kedelai tersebut menyusul melemahnya nilai rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.
"Kami sendiri sekarang produksi turun dari 30 kilogram menjadi 15 kilogram akibat naiknya kedelai itu," katanya.
Begitu pula Adhari, perajin tempe warga Cibahbul Desa Rangkasbitung Timur, Kabupaten Lebak mengatakan selama dua pekan terakhir produksi berkurang sehingga berdampak terhadap pendapatan.
Selama ini, ujar dia, pendapatan hasil berjualan tempe hanya cukup memenuhi kebutuhan makan keluarga.
Berkurangnya pendapatan tentu dikhawatirkan biaya pendidikan anak-anak kerepotan.
"Kami berharap harga kedelai kembali normal, sehingga perajin tetap eksis memproduksi tempe sebagai ladang mata pencarian," katanya.
Ia menyebutkan para perajin tempe tradisional di Rangkasbitung belum berani menaikan harga satuan tempe karena khawatir ditinggalkan pelanggan.
Perajin hanya menyiasati dengan memperkecil ukuran dengan harga normal, yakni Rp1.000 per tempe.
"Kami serba bingung jika harga satuan tempe dinaikan dipastikan langganan tetap keberatan," ujarnya.
Salah seorang perajin tempe warga Rangkasbitung Udin mengaku bahwa dirinya mendapatkan kedelai dari pedagang pengecer di Pasar Rangkasbitung.
Sebab di Kabupaten Lebak tidak memiliki lembaga usaha, seperti koperasi maupun asosiasi yang bisa melindungi harga kedelai.
Perajin tempe maupun tahu mendapatkan kedelai langsung dari pengecer dengan harga relatif tinggi.
Saat ini, kedelai yang ada di Kabupaten Lebak impor dari Argentina dan Amerika Serikat.
"Kami berharap pemerintah dapat melindungi para perajin tempe dengan memberikan subsidi harga murah dan terjangkau," katanya. (MSR/R007)
"Kami berharap harga kedelai kembali normal dengan kisaran Rp5.500 per kilogram," kata Suhali, seorang perajin tempe warga Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Senin.
Ia mengatakan, perajin tempe di Rangkasbitung mengeluhkan melonjaknya harga kedelai di pasaran sehingga berdampak terhadap produksi, bahkan beberapa perajin tempe sudah gulung tikar akibat menipisnya modal tersebut.
Sebagian besar perajin tempe yang gulung tikar dengan produksi antara 30 sampai 50 kilogram.
"Kami minta pemerintah dapat mengendalikan harga kedelai karena setiap hari kedelai impor Amerika Serikat terus bergerak naik," katanya.
Menurut dia, saat ini harga kedelai di tingkat pengecer menembus Rp9.500/kilogram, padahal sepekan lalu Rp8.700/kg. Kenaikan harga kedelai tersebut menyusul melemahnya nilai rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.
"Kami sendiri sekarang produksi turun dari 30 kilogram menjadi 15 kilogram akibat naiknya kedelai itu," katanya.
Begitu pula Adhari, perajin tempe warga Cibahbul Desa Rangkasbitung Timur, Kabupaten Lebak mengatakan selama dua pekan terakhir produksi berkurang sehingga berdampak terhadap pendapatan.
Selama ini, ujar dia, pendapatan hasil berjualan tempe hanya cukup memenuhi kebutuhan makan keluarga.
Berkurangnya pendapatan tentu dikhawatirkan biaya pendidikan anak-anak kerepotan.
"Kami berharap harga kedelai kembali normal, sehingga perajin tetap eksis memproduksi tempe sebagai ladang mata pencarian," katanya.
Ia menyebutkan para perajin tempe tradisional di Rangkasbitung belum berani menaikan harga satuan tempe karena khawatir ditinggalkan pelanggan.
Perajin hanya menyiasati dengan memperkecil ukuran dengan harga normal, yakni Rp1.000 per tempe.
"Kami serba bingung jika harga satuan tempe dinaikan dipastikan langganan tetap keberatan," ujarnya.
Salah seorang perajin tempe warga Rangkasbitung Udin mengaku bahwa dirinya mendapatkan kedelai dari pedagang pengecer di Pasar Rangkasbitung.
Sebab di Kabupaten Lebak tidak memiliki lembaga usaha, seperti koperasi maupun asosiasi yang bisa melindungi harga kedelai.
Perajin tempe maupun tahu mendapatkan kedelai langsung dari pengecer dengan harga relatif tinggi.
Saat ini, kedelai yang ada di Kabupaten Lebak impor dari Argentina dan Amerika Serikat.
"Kami berharap pemerintah dapat melindungi para perajin tempe dengan memberikan subsidi harga murah dan terjangkau," katanya. (MSR/R007)
Pewarta: Mansyur
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013
Tags: