Kolombo (ANTARA News) - Pemerintah Kolombo menyatakan, Minggu, Ketua Komisi HAM PBB, Navi Pillay, bertindak melampaui mandatnya dengan menuduh Sri Lanka bergerak ke arah otoriter.

Pillay, yang mengakhiri misi tujuh hari untuk menilai kemajuan Sri Lanka setelah perang 26 tahun antara pemerintah dan separatis Tamil, mengatakan, Sabtu, negara itu "menunjukkan tanda-tanda bergerak ke arah yang semakin otoriter".

"Pengamatan Ketua Komisi Tinggi itu... merupakan pernyataan politik di pihaknya, yang jelas-jelas melampaui mandatnya dan norma-norma dasar yang seharusnya dihormati oleh seorang pegawai sipil internasional yang arif," kata Departemen Penerangan Sri Lanka dalam sebuah pernyataan yang dipasang di situs berita www.news.lk.

"Penilaian terhadap kepemimpinan negara lebih baik diserahkan kepada rakyat Sri Lanka untuk memutuskannya, bukan diolok-diolok oleh pihak luar yang dipengaruhi kepentingan-kepentingan tertentu," katanya.

Pemerintah juga mengecam rencana penghormatan bunga di lokasi dimana pemimpin separatis Macan Tamil, Velupillai Prabhakaran, tewas, akses media selektif bagi kunjungannya ke bekas zona perang serta pernyataannya mengenai kementerian hukum dan ketertiban yang baru dibentuk serta tentang minoritas keagamaan.

Pillay mengunjungi sejumlah daerah eks-zona perang utara di Jaffna, Kilinochchi, Mullaiteevu, dan distrik timur Trincomalee, di tengah protes yang mendukung dan menentang lawatan tujuh hari itu.

Kunjungan Pillay itu dilakukan setelah resolusi kedua PBB yang disponsori AS pada Maret tahun ini mendesak Sri Lanka melakukan penyelidikan terpercaya mengenai pembunuhan dan hilangnya banyak orang selama perang itu, khususnya pada tahap-tahap akhir.

Pasukan Sri Lanka meluncurkan ofensif besar-besaran untuk menumpas kelompok pemberontak Macan Pembebasan Tamil Eelam (LTTE) pada 2009 yang mengakhiri perang etnik hampir empat dasawarsa di negara tersebut.

Namun, kemenangan pasukan Sri Lanka atas LTTE menyulut tuduhan-tuduhan luas mengenai pelanggaran hak asasi manusia.

Pada September 2011, Amnesti Internasional yang berkantor di London mengutip keterangan saksi mata dan pekerja bantuan yang mengatakan, sedikitnya 10.000 orang sipil tewas dalam tahap final ofensif militer terhadap gerilyawan Macan Tamil pada Mei 2009.