Jakarta (ANTARA News) - "Khusus untuk yokozuna, motif batik didesain sesuai dengan karakter dari nama mereka, yang dipadu dengan motif dan warna khas baju-baju tradisional Jepang," kata Fusami Ito, seorang Jepang, yang merancang motif batik untuk yukata yang dikenakan para pesumo.


Enam pe-sumo dengan predikat yokonuza (gelar tertinggi dalam dunia sumo - olahraga tradisional Jepang) mengenakan yukata (sejenis kimono) batik yang dirancang dan dibuat khusus untuk mereka.



Cukup lama Ito --yang pernah belajar di Akademi Seni Rupa Indonesia-- mendesain batik untuk dipakai pesumo yang tinggi dan lebar badannya besar. Benar, olahraga tradisional Jepang terkait religi Shinto ini memang seolah di-"takdir"-kan pas untuk mereka bertubuh tinggi, besar, kuat, dan berat.


Mirip dengan silat dengan berratus kembangan-nya yang sarat nilai, sumo bagi bangsa Jepang bukan sekedar adu dorong dan adu kuat serta banting-membanting manusia-manusia besar belaka.




Ada nilai di dalamnya, ada keyakinan, ada proses dan prosesi, dan ada karakter dalam kekuatan manusia yang turut membentuk karakter juang khas bangsa Jepang. Ini juga yang membuat bangsa Jepang sangat menghargai tim dan proses, tidak semata instan berorientasi hasil sesaat.




Sumo, yukata, yokonuza, batik, Jepang, dan Indonesia... jika diurai satu demi satu, tidaklah berhubungan. Namun kini adalah jaman globalisasi dan penyerapan nilai-nilai budaya bangsa-bangsa memungkinkan semuanya bertapuk di dalam satu tubuh, yaitu batik.




Siapa sekarang yang tidak kenal batik Indonesia? Setelah UNESCO meresmikan batik menjadi warisan budaya negeri ini pada 2 Oktober 2009, batik semakin populer di dunia, bahwa batik adalah kontribusi kekayaan budaya dunia dari Indonesia.



Batik merupakan produk busana adiluhung bangsa ini, dan tidak kurang perancang busana dunia mengeksploitasi diri memakai batik sebagai media sarat nilai. Dries Van Noten dan Versace, beberapa nama dari barisan perancang dunia itu.




Kini, Jakarta membuat arena untuk pe-sumo mengenalkan diri sebagai duta budaya Jepang, dalam gelaran eksibisi di pada 24-25 Agustus lalu.




"Saya perlu sekitar enam bulan untuk mendesain batik itu," kata Ito, dengan bahasa Indonesia yang fasih. Untuk pemegang gelar tertinggi sumo yaitu Harumafuji, ia menggoreskan bentuk kuda untuk motif batik yang akan dikenakan pesumo itu.

"Haruma berarti kuda dan fuji adalah Gunung Fuji. Saya mencoba mengkombinasikan itu dalam desain batik yukatanya," kata lulusan Universitas Joshibi, Jepang itu.

Sementara untuk pemegang gelar tertinggi lain, Hakuho, ia mendesain gambar burung funiks putih sesuai arti nama pe-sumo dari Mongolia itu. Batik telah menginternasional, tidak kalah dengan sumo yang lebih dulu menapakkan jejaknya di seluruh dunia.



Ada enam pe-sumo yang hadir dengan kelas-kelas berbeda, yaitu Hakuho, Harumafuji, Kisenosato, Kotoshogiku, Kakuryu, dan Kotooshu.




"Cukup sulit membuat batik untuk yukata bagi para pe-sumo tersebut, karena tinggi badan mereka ada yang mencapai dua meter dengan lebar badan yang tidak biasa," ujarnya. Ito mengatakan, untuk membuat satu yukata batik tersebut, dia perlu bahan katun sepanjang 12-13 meter, dengan lebar 115 sentimeter.



Bandingkan dengan manusia "normal" setinggi 1,7 meter, pastilah yukata batik untuk pe-sumo itu jauh lebih besar.

Kain batik untuk yukata itu, kata dia, diproduksi enam perajin di Solo, Jawa Tengah. Kemudian diekspor ke Jepang untuk dijahit sebagai yukata enam pe-sumo yang hadir dalam turnamen untuk merayakan 55 tahun hubungan diplomatik Indonesia-Jepang.

Salah satu tokoh kunci aplikasi batik sebagai yukata pe-sumo kali ini adalah Ketua Perhimpunan Persahabatan Indonesia Jepang (PPIJ), Rachmat Gobel. Ia menilai batik sebagai warisan budaya Indonesia dan dunia memiliki nilai tradisi yang tinggi dan bisa dipadukan dengan tradisi busana maupun olahraga khas Jepang itu.



"Kami ingin mengangkat batik agar lebih dikenal di pasar internasional, termasuk Jepang, dengan memadukan tradisi Indonesia dan Jepang yang sudah memiliki sentuhan teknologi," kata pengusaha nasional itu.

Selama ini, lanjut dia, produk batik tulis maupun cetak di Indonesia belum diproduksi secara ramah lingkungan, terutama dalam hal limbah pascaproduksi.



"Saya ingin mengangkat eco-batik, agar membudaya di Indonesia, untuk mengangkat produk warisan budaya ini masuk pasar internasional," kata dia, yang ingin mencoba mengadopsi teknik dan mesin pencelupan dari Jepang untuk diterapkan pada produksi batik di Indonesia.

Hal itu, dia nilai penting agar produk batik yang dihasilkan berkualitas dan memiliki nilai yang tinggi, tidak hanya dari segi tradisi tapi juga komersial.



Ia mengatakan ada konsep Jepang yang bisa diadopsi perajin batik di Indonesia agar bisa memperbaiki kualitas produksinya, yaitu monozukuri. Setiap produk yang dihasilkan harus menimbulkan rasa bangga pembuatnya, sehingga menghasilkan produk berkualitas tinggi.

"Monozukuri landasan semangat bagi wirausaha Jepang dalam memproduksi dan menciptakan produk berkualitas tinggi, melalui penyempurnaan proses dan sistem produksinya sehingga mampu bersaing, bertahan, dan ekspansi ke pasar global," ujar dia.



Hal senada dikemukakan Ito.




Salah satu persoalan yang dihadapi produk batik Indonesia sehingga sulit berkembang di pasar internasional, kata dia, adalah produksi batik yang belum ramah lingkungan dan kualitas yang tidak stabil.




Diakui dia, salah satu kekhasan batik terletak pada proses pembuatannya yang menggunakan canting dan malam (sejenis lilin mentah), sehingga menghasilkan guratan-guratan tipis yang teratur dan indah.




Namun, sering kali hasil akhirnya menghasilkan warna yang tidak konsisten pada semua lapisan kain batik. "Untuk masuk pasar internasional, termasuk Jepang, pewarnaan yang merata sangat penting.



Mungkin hal itu adalah keunikan tersendiri dari proses buatan tangan sejati," katanya. Namun dalam dunia mode, kata dia, kerapihan dan kerataan pewarnaan adalah hal yang utama.



Ia menilai kualitas yang tidak stabil itulah yang membuat perancang busana internasional tidak menggunakan teknik batik dalam produk mode mereka.




"Jadi yang digunakan para desainer internasional itu hanya motif batiknya saja," ujar Ito, yang berteman baik dengan Reiko Barrack, istri pengusaha nasional, Rosanno Barrack.

Dalam upaya memperkenalkan batik di Jepang, Fusami telah beberapa kali mengadakan pameran di Negeri Sakura itu.



"Banyak perajin dan pengusaha batik di Indonesia mencoba masuk ke pasar Jepang, untuk kimono maupun yukata batik, tapi kadang mereka gagal karena kualitas yg tidak konsisten atau tata letak motif yang tidak sesuai," ujar Ito.