Beirut (ANTARA News) - Para pakar Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menyelidiki serangan gas beracun di Suriah meninggalkan negara itu Sabtu, memuluskan jalan bagi Amerika Serikat memimpin serangan-serangan militer untuk menghukum Presiden Bashar al-Assad.

Presiden AS Barack Obama mengatakan negaranya yang memiliki lima kapal perusak dilengkapi peluru-peluru kendali di kawasan itu, sedang merencanakan satu aksi militer terbatas untuk menghukum Bashar karena melancarkan serangan yang Washington katakan telah membunuh 1.429 orang.

"Kami tak dapat menerima satu dunia di mana kaum wanita dan anak-anak serta warga sipil yang tak bersalah diserang dengan senjata kimia," kata Obama pada Jumat setelah Washington mengungkapkan penilaian intelejen yang menyimpulkan pasukan Bashar harus dipersalahkan karena melakukan serangan itu.

Setelah menyampaikan pikiran-pikiran pokok tentang kasus itu yang disiarkan televisi, Menteri Luar Negeri John Kerry berbicara Jumat kepada para menteri luar negeri Eropa dan sekutunya di Teluk, serta ketua Liga Arab, kata seorang pejabat Deplu AS.

Tim pakar PBB itu bergerak dengan konvoi kendaraan ke bandar udara internasional Beirut pada Sabtu setelah melintasi perbatasan darat menuju Lebanon pagi.

Tak ada intervensi Barat dilakukan sepanjang mereka masih berada di wilayah Suriah. Tim yang beranggota 20 pakar itu, yang tiba di Damaskus tiga hari sebelum serangan 21 Agustus untuk menyelidiki tuduhan-tuduhan sebelumnya, akhirnya mengunjungi tempat-tempat itu beberapa kali, mengambil contoh darah dan jaringan urat dari para korban di pinggiran-pinggiran kota Damaskus yang dikuasai pemberontak.

Para pemeriksa juga mengambil contoh tanah, pakaian dan serpihan-serpihan roket. Namun, mandat mereka adalah menentukan apakah bahan-bahan kimia digunakan, bukan siapa menggunakan.

Washington menyatakan pihaknya tak perlu menunggu para pemeriksa melaporkan karena sudah yakin senjata-senjata kimia digunakan dan pasukan Bashar berada di balik serangan itu.

Pasukan AS sepertinya akan melancarkan serangan-serangan bersama dengan Prancis, yang telah mendukung kuat penggunaan kekuatan untuk menghukum Presiden Bashar.

"Pembunuhan massal di Damaskus tidak dapat dan jangan sampai (para pelakunya) tidak dihukum. Kalau tidak hal itu bisa menimbulkan eskalasi dan mendorong penggunaan senjata ini dan membuat negara-negara lain menanggung risiko," kata Presiden Prancis Francois Hollande kepada harian Le Monde dalam wawancara Jumat. dikutip Reuters.
(M016)