Perkebunan teh miliki potensi pengurangan emisi gas rumah kaca
25 Januari 2024 16:29 WIB
Dokumentasi. Petani merawat tanaman teh di perkebunan teh Riung Gunung Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Senin (22/1/2024). ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/aww. (ANTARA FOTO/RAISAN AL FARISI)
Jakarta (ANTARA) - Perkebunan teh di Indonesia dinilai memiliki peluang besar untuk berkontribusi dalam agenda global pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK).
Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil (PPH) Perkebunan Kementerian Pertanian Prayudi Syamsuri menyatakan Indonesia melalui Nationally Determined Contribution (NDC) berkomitmen untuk mengurangi emisi di lima sektor prioritas, salah satunya di sektor pertanian.
Meskipun sektor pertanian rentan terdampak perubahan iklim, lanjutnya dalam seminar bertajuk "Inisiatif Karbon di Sektor Teh" di Jakarta, Kamis, namun juga memiliki peran dalam upaya penurunan emisi GRK melalui praktik pertanian rendah karbon.
"Dalam hal ini, teh merupakan salah satu jenis komoditas yang mempunyai kemampuan untuk mengurangi konsentrasi emisi di atmosfer," katanya.
Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) tambahnya, menyebutkan teh sebagai komoditas yang cocok untuk bertransformasi menuju produksi rendah karbon.
"Tanaman tahunan, seperti teh, dapat menyerap dan menyimpan lebih banyak karbon dibandingkan jenis tanaman pertanian semusim," katanya.
Oleh karena itu, menurut dia, perkebunan teh Indonesia memiliki peluang besar untuk berkontribusi dalam agenda global pengurangan emisi GRK, salah satunya dari segi lahan.
Meski area perkebunan teh nasional telah berkurang drastis dari 150.972 hektar pada 2001 menjadi 102.078 hektar pada 2021, namun, menurut data BPS pada 2022 Indonesia mempunyai perkebunan teh terluas kelima di dunia .
Selain itu, memperbaiki praktik budidaya teh juga dapat mengurangi emisi GRK, misalnya dengan optimalisasi lahan, pengelolaan agroinput, pengolahan tanah minimum, hingga pemanfaatan lahan kritis.
Dikatakannya, karbon akan tetap tersimpan dalam biomassa tanaman dan bahan organik tanah selama tidak ditebang dan terurai.
Selain itu, budidaya teh tidak membutuhkan pengolahan lahan secara intensif sehingga tidak merusak struktur karbon yang tersimpan di dalam tanah.
Sementara itu Ketua Dewan Teh Indonesia (DTI) Rachmad Gunadi menambahkan sebagai komoditas dengan reputasi yang baik, teh mempunyai peluang untuk membangun rantai nilai yang berkelanjutan.
Pembangunan proyek karbon dengan teh sebagai vegetasi utama, menurut dia memberikan keuntungan yang menjanjikan, baik dari segi pelestarian lingkungan hidup maupun nilai tambah ekonomi bagi pelaku usaha perkebunan teh.
Menurut dia diperlukan kolaborasi lintas sektor untuk mengatasi tantangan perubahan iklim dan menciptakan sektor teh yang berkelanjutan.
"Melalui inisiatif karbon di sektor teh ini diharapkan terjalin kolaborasi yang dapat mendukung keberlanjutan sektor teh Indonesia," katanya.
Baca juga: Menteri LHK: Peran Pemprov sentral untuk menurunkan emisi GRK
Baca juga: Dirjen PHL: Kalteng miliki potensi besar dukung penurunan emisi GRK
Baca juga: LPPI: Penerapan perdagangan bursa karbon perlu diawasi secara ketat
Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil (PPH) Perkebunan Kementerian Pertanian Prayudi Syamsuri menyatakan Indonesia melalui Nationally Determined Contribution (NDC) berkomitmen untuk mengurangi emisi di lima sektor prioritas, salah satunya di sektor pertanian.
Meskipun sektor pertanian rentan terdampak perubahan iklim, lanjutnya dalam seminar bertajuk "Inisiatif Karbon di Sektor Teh" di Jakarta, Kamis, namun juga memiliki peran dalam upaya penurunan emisi GRK melalui praktik pertanian rendah karbon.
"Dalam hal ini, teh merupakan salah satu jenis komoditas yang mempunyai kemampuan untuk mengurangi konsentrasi emisi di atmosfer," katanya.
Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) tambahnya, menyebutkan teh sebagai komoditas yang cocok untuk bertransformasi menuju produksi rendah karbon.
"Tanaman tahunan, seperti teh, dapat menyerap dan menyimpan lebih banyak karbon dibandingkan jenis tanaman pertanian semusim," katanya.
Oleh karena itu, menurut dia, perkebunan teh Indonesia memiliki peluang besar untuk berkontribusi dalam agenda global pengurangan emisi GRK, salah satunya dari segi lahan.
Meski area perkebunan teh nasional telah berkurang drastis dari 150.972 hektar pada 2001 menjadi 102.078 hektar pada 2021, namun, menurut data BPS pada 2022 Indonesia mempunyai perkebunan teh terluas kelima di dunia .
Selain itu, memperbaiki praktik budidaya teh juga dapat mengurangi emisi GRK, misalnya dengan optimalisasi lahan, pengelolaan agroinput, pengolahan tanah minimum, hingga pemanfaatan lahan kritis.
Dikatakannya, karbon akan tetap tersimpan dalam biomassa tanaman dan bahan organik tanah selama tidak ditebang dan terurai.
Selain itu, budidaya teh tidak membutuhkan pengolahan lahan secara intensif sehingga tidak merusak struktur karbon yang tersimpan di dalam tanah.
Sementara itu Ketua Dewan Teh Indonesia (DTI) Rachmad Gunadi menambahkan sebagai komoditas dengan reputasi yang baik, teh mempunyai peluang untuk membangun rantai nilai yang berkelanjutan.
Pembangunan proyek karbon dengan teh sebagai vegetasi utama, menurut dia memberikan keuntungan yang menjanjikan, baik dari segi pelestarian lingkungan hidup maupun nilai tambah ekonomi bagi pelaku usaha perkebunan teh.
Menurut dia diperlukan kolaborasi lintas sektor untuk mengatasi tantangan perubahan iklim dan menciptakan sektor teh yang berkelanjutan.
"Melalui inisiatif karbon di sektor teh ini diharapkan terjalin kolaborasi yang dapat mendukung keberlanjutan sektor teh Indonesia," katanya.
Baca juga: Menteri LHK: Peran Pemprov sentral untuk menurunkan emisi GRK
Baca juga: Dirjen PHL: Kalteng miliki potensi besar dukung penurunan emisi GRK
Baca juga: LPPI: Penerapan perdagangan bursa karbon perlu diawasi secara ketat
Pewarta: Subagyo
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2024
Tags: