OJK: Generasi muda belum bijaksana akses produk keuangan digital
22 Januari 2024 11:11 WIB
Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Friderica Widyasari Dewi dalam konferensi pers pasca Kegiatan Edukasi Keuangan Bagi Pelajar tingkat SMA/sederajat di Indonesia Banking School, Jakarta, Senin (22/01/2024). ANTARA/M. Baqir Idrus Alatas
Jakarta (ANTARA) - Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Friderica Widyasari Dewi mengatakan generasi muda terkadang belum bijaksana dalam mengakses produk keuangan yang legal sekalipun.
“Sekarang kan banyak produk keuangan itu digital. Nah, kalau yang berbahaya itu anak-anak muda itu mereka mengakses produk keuangan yang ilegal, yang itu sangat mudah ditemui secara online. Kalaupun mereka mengakses yang legal, itu kadang-kadang mereka belum bijaksana dalam penggunaannya,” kata dia dalam Kegiatan Edukasi Keuangan Bagi Pelajar tingkat SMA/sederajat di Indonesia Banking School, Jakarta, Senin.
Menurut dia, anak muda sebenarnya sudah mampu secara mudah berselancar di dunia digital, yang berarti mereka memiliki pemahaman cukup terhadap literasi digital. Namun, apa yang menjadi permasalahan adalah mereka masih minim pemahaman tentang literasi keuangan digital, antara lain berkaitan dengan mengakses produk keuangan.
Baca juga: OJK perkuat perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan
Ia mengatakan, sebagian dari mereka menggunakan pinjaman online (pinjol) secara ilegal, tetapi akses terhadap produk keuangan “buy now pay later” (BNPL) sedang marak di kalangan anak muda.
“Anak-anak muda banyak yang kemudian memakai itu, kadang hanya buat makan sama pacarnya, kadang buat beli baju. Mereka kan tidak tahu bahwa itu kemudian akan menggunung jadi utang yang mereka harus bayar,” ungkap Friderica.
Utang yang menumpuk karena penggunaan BNPL juga akan berefek terhadap Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) setiap debitur, sehingga generasi muda kesulitan untuk mencari kerja karena memiliki skor buruk di SLIK.
Dia juga menceritakan bahwa ada satu bank yang menyediakan Kredit Perumahan Rakyat (KPR), tetapi banyak generasi muda tidak bisa memperoleh layanan tersebut karena memiliki utang yang menumpuk di produk keuangan seperti BNPL, padahal utang mereka hanya kisaran Rp300 ribu-Rp500 ribu.
Selain itu, terdapat pula konsumen dari produk keuangan seperti BNPL yang mempunyai kredit bulanan hingga memiliki cicilan sebesar 95 persen dari penghasilan per bulan. Artinya, apabila debitur tersebut memiliki penghasilan Rp10 juta, maka Rp9,5 juta dipakai untuk membayar utang.
Baca juga: OJK dan BEI tingkatkan literasi dan inklusi keuangan syariah
Melihat fakta-fakta terkait permasalahan keuangan, pihaknya menggiatkan literasi keuangan untuk anak-anak muda. Kemudian, OJK juga mendorong seluruh penyelenggara keuangan mengedepankan consumer well-being, bukan hanya fokus meningkatkan penjualan produk keuangan semata.
“Jadi, jangan sampai orang itu didorong untuk menggunakan produk, tapi akhirnya bukan untuk kesejahteraan, tapi malah kemudian menjerumuskan mereka. Jadi, anak muda jangan hanya sudah bisa untuk pakai, tapi juga harus diajarkan supaya mereka bijaksana untuk menggunakan,” ujarnya.
“Sekarang kan banyak produk keuangan itu digital. Nah, kalau yang berbahaya itu anak-anak muda itu mereka mengakses produk keuangan yang ilegal, yang itu sangat mudah ditemui secara online. Kalaupun mereka mengakses yang legal, itu kadang-kadang mereka belum bijaksana dalam penggunaannya,” kata dia dalam Kegiatan Edukasi Keuangan Bagi Pelajar tingkat SMA/sederajat di Indonesia Banking School, Jakarta, Senin.
Menurut dia, anak muda sebenarnya sudah mampu secara mudah berselancar di dunia digital, yang berarti mereka memiliki pemahaman cukup terhadap literasi digital. Namun, apa yang menjadi permasalahan adalah mereka masih minim pemahaman tentang literasi keuangan digital, antara lain berkaitan dengan mengakses produk keuangan.
Baca juga: OJK perkuat perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan
Ia mengatakan, sebagian dari mereka menggunakan pinjaman online (pinjol) secara ilegal, tetapi akses terhadap produk keuangan “buy now pay later” (BNPL) sedang marak di kalangan anak muda.
“Anak-anak muda banyak yang kemudian memakai itu, kadang hanya buat makan sama pacarnya, kadang buat beli baju. Mereka kan tidak tahu bahwa itu kemudian akan menggunung jadi utang yang mereka harus bayar,” ungkap Friderica.
Utang yang menumpuk karena penggunaan BNPL juga akan berefek terhadap Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) setiap debitur, sehingga generasi muda kesulitan untuk mencari kerja karena memiliki skor buruk di SLIK.
Dia juga menceritakan bahwa ada satu bank yang menyediakan Kredit Perumahan Rakyat (KPR), tetapi banyak generasi muda tidak bisa memperoleh layanan tersebut karena memiliki utang yang menumpuk di produk keuangan seperti BNPL, padahal utang mereka hanya kisaran Rp300 ribu-Rp500 ribu.
Selain itu, terdapat pula konsumen dari produk keuangan seperti BNPL yang mempunyai kredit bulanan hingga memiliki cicilan sebesar 95 persen dari penghasilan per bulan. Artinya, apabila debitur tersebut memiliki penghasilan Rp10 juta, maka Rp9,5 juta dipakai untuk membayar utang.
Baca juga: OJK dan BEI tingkatkan literasi dan inklusi keuangan syariah
Melihat fakta-fakta terkait permasalahan keuangan, pihaknya menggiatkan literasi keuangan untuk anak-anak muda. Kemudian, OJK juga mendorong seluruh penyelenggara keuangan mengedepankan consumer well-being, bukan hanya fokus meningkatkan penjualan produk keuangan semata.
“Jadi, jangan sampai orang itu didorong untuk menggunakan produk, tapi akhirnya bukan untuk kesejahteraan, tapi malah kemudian menjerumuskan mereka. Jadi, anak muda jangan hanya sudah bisa untuk pakai, tapi juga harus diajarkan supaya mereka bijaksana untuk menggunakan,” ujarnya.
Pewarta: M Baqir Idrus Alatas
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2024
Tags: