Jakarta (ANTARA News) - Uang senilai 100 dolar AS terselip dalam buku lampiran nota pembelaan terdakwa kasus korupsi pengadaan "driving" simulator Korlantas, Polri Irjen Pol Djoko Susilo.

"Sebelum dilanjutkan, dalam buku buku yang tadi dilampirkan ternyata ada selembar uang 100 dolar AS, saya tidak mengerti dolar apa ini, tapi ada 100 dolar AS terselip di dalam," kata ketua jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi KMS Roni dalam sidang di pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa.

Uang tersebut ada dalam buku profil Djoko Susilo yang dibagikan pasca pembacaan pledoi pribadi Djoko kepada majelis hakim dan JPU.

"Kami tidak mengerti makna 100 dolar AS itu dan saya tegaskan tadi uang itu tidak ada," ungkap salah satu pengacara Djoko, Tommy Sihotang.

Ketua majelis hakim Suhartoyo kemudian meminta klarifikasi dari Djoko.

"Karena barang itu berasal dari saudara, yang Bapak mau sampaikan apa dengan memberikan buku ini?" tanya Suhartoyo.

"Sebagai lampiran nota pembelaan pribadi saya, sebagai profil," kata Djoko.

"Kalau ada kaitan temuan uang dolar tidak ada maksud kesengajaan?" tanya Suhartoyo.

"Saya yakin tidak ada majelis," kata Djoko sedikit terkejut mendapati uang dolar tersebut.

"Tapi faktanya terlampir ada uang, apa karena uang dolar sedang mahal? Tolong ambil saja," kata Suhartoyo.

Namun jaksa KMS Roni mengatakan ingin mencari tahu motif pemberian uang itu.

"Mungkin belum bisa kembalikan hari ini, nanti pimpinan juga langsung menonton, saya mau tahu apa motif dibalik ini," ungkap KMS Roni.

"Ini perintah majelis, kalau penuntut umum mengindikasikan ada unsur lain yang bisa dipidana bisa disita uang itu, tapi terdakwa mengatakan tidak ada maksud dan kesengajaan jadi diambil saja uang itu, profil ini tidak ada hubungan dengan perkara ini dari pada menimbulkan persoalan baru jadi kembalikan saja," tambah Suhartoyo.

"Kami usulkan karena terdakwa tidak pernah melampirkan jadi persoalan hukum jika dikembalikan, jadi disita saja sehingga tidak timbul perdebatan nanti," kata pengacara Djoko yang lain, Nasrullah.

Suhartoyo akhirnya memutuskan agar uang itu dikembalikan.

"Kalau begitu kembalikan saja, karena nanti jadi kontraproduktif dengan keinginan terdakwa menyampaikan sisi kebaikannya untuk meringankan, kenapa bapak tidak kontrol dulu? Meski ini kami kembalikan kamis sudah mengerti pesan yang mau disampaikan terdakwa dengan melampirkan profil selama menjadi Kakorlantas," jelas Suhartoyo.

Dalam pledoinya, Djoko menjelaskan bahwa ia hanya lalai mengawasi kinerja anak buahnya yang menjadi panitia pengadaan simulator.

"Kesalahan saya adalah tidak teliti, ada kelemahan manajerial dan kurang pengawasan terhadap unit kerja yang mengurus pengadaan simulator karena saya sudah percaya dan tidak lagi memeriksa hasil pekerjaan anggota, mereka punya kompetensi dan sertifikasi pengadaan, ditambah padatnya jadwal kegiatan saya sepagai Kakorlantas," kata Djoko saat menyampaikan nota pembelaan pribadi.

Namun jenderal bintang dua itu tetap tidak mengakui bahwa ia mengintervensi panitia pengadaan dan menentukan pemenang tender simulator dengan nilai proyek berjumlah Rp196,8 miliar tersebut.

"Penuntut umum seolah-olah membebankan tanggung jawab kepada saya selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), padahal dalam proyek ini juga belum jelas batas-batas kewenangan KPA dan terungkap dalam persidangan bahwa saya tidak pernah berhubungan dengan pemenang tender, mengintervensi panitia pengadaan dan menentukan Harga Perkiraan Sendiri (HPS)," ungkap Djoko.

Dalam perkara ini, Djoko dituntut pidana penjara selama 18 tahun dan denda Rp1 miliar, subsidiair satu tahun kurungan serta membayar pidana uang pengganti sebesar Rp32 miliar subsidair penjara selama lima tahun dan pencabutan hak-hak tertentu untuk memilih dan dipilih dalam jabatan publik.