Peshawar, Pakistan (ANTARA News) - Kelompok militan Pakistan hari Kamis menyambut baik tawaran dialog Perdana Menteri Nawaz Sharif kepada mereka untuk mengakhiri pertumpahan darah yang telah merenggut ribuan jiwa di negara itu selama satu dasawarsa terakhir.

Sharif menyampaikan tawaran itu Senin selama pidato pertamanya yang disiarkan televisi ke seluruh penjuru negeri sejak ia mengemban tugas setelah menang dalam pemilihan umum pada Mei, lapor AFP.

"Kebijakan menetapkan bahwa kita harus mengikuti sebuah jalur dimana kita meminimalisasi kematian warga yang tidak berdosa," kata Sharif.

Selama kampanye untuk masa jabatan ketiga sebagai PM, Sharif menawarkan perundingan perdamaian dengan Taliban Pakistan dan para pemimpin pergerakan dalam negeri yang memiliki hubungan dengan Al Qaida.

"Kami menyambut baik tawaran berunding Perdana Menteri Nawaz Sharif," kata pemimpin Tehreek-e-Taliban Punjab, Ismatullah Muaweea, dalam sebuah pernyataan yang dibagikan di Wana, kota utama di kawasan suku Waziristan Selatan yang berbatasan dengan Afghanistan.

Kelompok Muaweea terkait dengan gerakan utama Tehreek-e-Taliban Pakistan (TTP) berbasis di kawasan suku baratlaut di perbatasan dengan Afghanistan, yang hingga kini belum menanggapi seruan dialog Sharif.

"Perdana menteri menunjukkan kematangan dengan tawaran dialognya dan ia juga memperkuat keinginannya bagi perdamaian dengan penangguhan eksekusi," tambah Muaweea.

Pakistan pada Minggu memerintahkan penangguhan sementara eksekusi tahanan setelah ada keberatan dari presiden dan kelompok-kelompok hak asasi manusia, beberapa hari sebelum pelaksanaan hukuman mati dimulai setelah moratorium lima tahun.

Pakistan memiliki 7.000 tahanan dalam daftar hukuman mati -- salah satu yang terbesar dalam populasi eksekusi di dunia.

Pakistan dilanda serangan-serangan bom bunuh diri dan penembakan yang menewaskan lebih dari 5.200 orang sejak pasukan pemerintah menyerbu sebuah masjid yang menjadi tempat persembunyian militan di Islamabad pada Juli 2007.

Kekerasan sektarian meningkat sejak gerilyawan Sunni memperdalam hubungan dengan militan Al Qaida dan Taliban setelah Pakistan bergabung dalam operasi pimpinan AS untuk menumpas militansi setelah serangan-serangan 11 September 2001 di AS.

Pakistan juga mendapat tekanan internasional yang meningkat agar menumpas kelompok militan di wilayah baratlaut dan zona suku di tengah meningkatnya serangan-serangan lintas-batas gerilyawan terhadap pasukan internasional di Afghanistan.

Para pejabat AS mengobarkan perang dengan pesawat tak berawak terhadap para komandan Taliban dan Al Qaida di kawasan suku baratlaut, dimana militan bersembunyi di daerah pegunungan yang berada di luar kendali langsung pemerintah Pakistan.

Pasukan Amerika menyatakan, daerah perbatasan itu digunakan kelompok militan sebagai tempat untuk melakukan pelatihan, penyusunan kembali kekuatan dan peluncuran serangan terhadap pasukan koalisi di Afghanistan.

Islamabad mendesak AS mengakhiri serangan-serangan pesawat tak berawak, sementara Washington menuntut Pakistan mengambil tindakan menentukan untuk menumpas jaringan teror.

Sentimen anti-AS tinggi di Pakistan, dan perang terhadap militansi yang dilakukan AS tidak populer di Pakistan karena persepsi bahwa banyak warga sipil tewas akibat serangan pesawat tak berawak yang ditujukan pada militan di sepanjang perbatasan dengan Afghanistan dan penduduk merasa bahwa itu merupakan pelanggaran atas kedaulatan Pakistan.

Pesawat-pesawat tak berawak AS melancarkan puluhan serangan di kawasan suku Pakistan sejak pasukan komando AS membunuh pemimpin Al Qaida Osama bin Laden dalam operasi rahasia di kota Abbottabad, Pakistan, pada 2 Mei 2011.


Penerjemah: Memet Suratmadi