Jakarta (ANTARA) - Apa perubahan spontan dan sistemik yang bakal terjadi bila Donald Trump, mantan Kepala Negara Amerika Serikat sebelum Joe Biden, terpilih kembali menjadi Presiden pada Pemilu Presiden AS 2024 ini?

Kesempatan Donald Trump untuk kembali diangkat sebagai Presiden tidak bisa dianggap sebelah mata, setidaknya berdasarkan sejumlah survei kredibel, seperti jajak pendapat dari ABC News/Ipsos yang diterbitkan pada 14 Januari 2024.

Pada saat ini, memang tahap dari Pilpres 2024 masih dalam tahap pendahuluan, di mana masing-masing partai politik sedang memilih calon mereka.

Dari Partai Republik di mana Trump berada, terdapat tiga calon yang dianggap kuat. Selain Trump, ada pula nama mantan Dubes AS untuk PBB Nikki Haley, serta Gubernur Florida Ron DeSantis.

Dalam survei ABC News/Ipsos kepada sebanyak responden 2.228 warga negara AS pada 4-8 Januari, menemukan sejumlah faktor keunggulan Trump, antara lain dalam hal elektabilitas.

Ditemukan bahwa sebanyak 68 persen anggota Partai Republik dan independen yang berhaluan Partai Republik mengatakan dia adalah kandidat dengan peluang terbaik untuk terpilih pada November, saat Pilpres AS 2024 digelar.

Sementara jumlah tersebut untuk Haley hanya 12 persen, sedangkan DeSantis memperoleh 11 persen, dan sisa calon lain dari Republik hanya satu digit.

Selain itu, 54 persen responden mengatakan bahwa Trump adalah kandidat yang paling memenuhi syarat untuk menjabat sebagai presiden. Kurang dari setengahnya, yaitu 46 persen mengatakan bahwa ia paling memahami permasalahan orang-orang seperti mereka dan sebanyak 45 persen memilih Trump sebagai kandidat yang paling mewakili nilai-nilai pribadi dari para responden.

Dengan adanya kans besar Trump akan mewakili Partai Republik dalam Pilpres 2024 kali ini, bagaimana kesempatannya dalam melawan Joe Biden yang kemungkinan besar akan menjadi capres dari Partai Demokrat?

Dalam jajak pendapat ABC News/Ipsos, disebutkan bahwa tingkat dukungan terhadap Biden hanya 33 persen, lebih buruk dari tingkat dukungan terendah terhadap Trump sebagai presiden yang sebesar 36 persen.

Sementara dalam beberapa rangkuman survei terbaru yang tercantum dalam ensiklopedia dunia maya Wikipedia, terungkap bahwa agregasi poling yang dilakukan RealClearPolitics menyatakan bahwa bila dihadapkan langsung antara Trump versus Biden, maka Trump unggul dengan 45,5 persen melawan Biden yang mendapat 44,9 persen, sedangkan yang belum memutuskan 9,6 persen.

Sementara itu, laman Race to the WH menunjukkan bahwa Trump memperoleh 44,8 persen melawan Biden yang mendapat 43,6 persen, sedangkan yang belum memutuskan 11,6 persen. Begitu pula dengan lembaga Decision Desk HQ/The Hill, menunjukkan keunggulan Trump (44,1 persen) melawan Biden (43,2 persen).

Dengan demikian, ada probabilitas bahwa Trump dapat menang dalam Pilpres AS 2024 untuk menjadi Presiden ke-47 negara adidaya tersebut.


Balas dendam

Menariknya, Donald Trump sendiri pada Desember 2023 pernah mengunggah hasil jajak pendapat di media sosial Truth Social, dengan mengangkat sebuah kata yang paling diasosiasikan para pemilihnya dengan kemungkinan dia memenangi masa jabatan keduanya, yakni kata "balas dendam".

Menyajikan kata "balas dendam" di tengah-tengah unggahan dengan huruf kapital berwarna merah terang memang pilihan yang menarik bagi Trump.

Kata "balas dendam" itu merupakan kata paling populer dalam jajak pendapat media DailyMail.com terkait dengan pertanyaan apa kata-kata yang paling dikaitkan responden seandainya Trump yang berusia 77 tahun itu memenangi Pilpres 2024.

Hal tersebut karena Trump sendiri dalam sejumlah kesempatan menyatakan bertekad untuk menyelidiki, memenjarakan, dan membalas dendam kepada lawan-lawan politiknya seandainya menang pada 2024.

Trump sendiri saat ini tengah menghadapi serangkaian dakwaan hukum, yang menurut Trump merupakan proyek "balas dendam" dari Biden dan Departemen Kehakiman AS.

Dalam postingan Truth Social pada 25 Desember, Trump menyerang orang-orang yang secara politik tidak sejalan dengannya, yang dia sebut sebagai "preman".

Trump sendiri, dalam sebuah acara diskusi yang disiarkan televisi di Iowa pada medio Desember, menyangkal bahwa dia akan menjadi "diktator" jika memenangi pemilu "selain hari pertama".

Trump mengatakan "hari pertama" yang dimaksud adalah bahwa dia akan menggunakan kekuasaan kepresidenannya untuk menutup perbatasan sebelah selatan dengan Meksiko dan memperluas pengeboran minyak.

Dengan memperluas rencana pengeboran minyak, maka hal itu juga dapat diartikan sebagai tindakan yang berlawanan untuk secara gigih mengatasi dampak perubahan iklim yang semakin tahun semakin dapat terlihat efeknya secara global.

Tidak heran bila Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau dalam wawancara dengan Canada Broadcasting Corp yang disiarkan pada 22 Desember, menyatakan bahwa bila Trump menang, maka hal itu akan membahayakan upaya global dalam mengatasi perubahan iklim.

Trump sendiri juga pernah menyatakan tidak akan meneruskan komitmen AS untuk mengucurkan 3 miliar dolar AS (sekitar Rp46,67 triliun) sebagai dana global yang dimaksudkan guna membantu negara-negara berkembang mengurangi emisi.

Selain itu, Trump juga telah menjadikan serangan terhadap investasi pemerintahan Biden dalam sektor energi terbarukan sebagai salah satu dari bagian inti dalam pesan kampanyenya.


Efek ekonomi

Bagaimana dengan dampak terhadap perekonomian global bila Trump terpilih? Menurut media Bloomberg, Trump diperkirakan akan menguatkan agenda "America First", kemungkinan, antara lain dengan menaikkan tarif yang diperkirakan akan membawa gelombang gangguan baru pada rantai pasokan global.

Rencana tarif tersebut kemungkinan akan membuat sejumlah negara akan terpaksa berunding mendapat konsesi, seperti saat Trump dulu menjadi presiden pada masa jabatan pertamanya. Kemungkinan negara tertentu yang akan mendapatkan dampak paling besar terkait tarif adalah China.

Apalagi, hal ini juga didukung oleh anggota Kongres AS yang secara lintas partai pada Desember juga telah merekomendasikan adanya kenaikan tarif dari sejumlah barang yang berasal dari China, serta langkah untuk membatasi investasi di negara tersebut.

Dalam hal pajak, Trump diperkirakan akan menetapkan pemotongan pajak perseorangan yang dinilai akan menguntungkan rumah tangga dari golongan kelas atas, pemilik usaha kecil, serta mereka yang berkecimpung dalam industri real estat.

Terkait kebijakan fiskal AS, Trump telah menyatakan akan mengendalikan pengeluaran pemerintah AS, seperti dalam pos bantuan luar negeri, subsidi iklim, imigrasi dan sejumlah hal lain yang dapat disebut bersifat isolasionisme.

Bila kebijakan dengan nada isolasionisme itu diterapkan, maka ada kemungkinan pengurangan bantuan dari AS dalam sejumlah konflik di luar negeri, seperti bantuan untuk Ukraina dalam perang mereka melawan Rusia.

Berdasarkan analisis dari media fairobserver.com, Trump kemungkinan akan semakin meningkatkan eskalasi dalam sejumlah konflik, seperti dalam perjanjian nuklir Iran.

Apalagi, perlu diingat dalam masa kepresidenan pertamanya, Trump pernah mengancam sejumlah negara, seperti Korea Utara, Venezuela hingga Suriah yang merupakan sekutu Rusia.

Namun, hal yang paling "menarik" untuk dilihat adalah bagaimana dampak dari kemenangan Trump kepada kondisi demokrasi Amerika Serikat itu sendiri, yang selama ini kerap memainkan peran sebagai "polisi dunia".

Dalam wawancara Senator AS dari jalur independen, Bernie Sanders, dengan media Guardian yang ditayangkan pada 13 Januari 2024, bila Trump terpilih kembali, maka Sanders menyatakan bahwa hal itu akan menjadi akhir bagi "demokrasi yang fungsional" di AS.

Hal itu dinilai tentu tidak akan terjadi seketika, tetapi kemungkinan akan terjadi sedikit demi sedikit, yang tentu saja diwarnai dengan adanya misi pribadi untuk melakukan pembalasan dendam terhadap berbagai lawan politik serta dakwaan hukum yang tengah dihadapinya.

Masalahnya, perubahan kebijakan Amerika Serikat yang merupakan negara adidaya, siapa pun yang terpilih sebagai presiden, juga memiliki dampak yang signifikan kepada beragam kondisi di planet ini, sehingga dunia mau tidak mau harus betul-betul mempersiapkan diri bila Trump menang di Pilpres 2024.