Centris: semua cagub Jatim abaikan tragedi Sampang
21 Agustus 2013 22:26 WIB
Ilustrasi. Empat Pasangan Cagub dan Cawagub Jatim, (dari kiri ke kanan) Soekarwo-Saifullah Yusuf, Eggi Sudjana-M Sihat, Bambang DH-Said Abdullah dan Khofifah Indar Parawansa-Herman S Sumawiredja foto bersama usai pemaparan visi dan misi cagub dan cawagub di Rapat Paripurna Istimewa DPRD di Gedung DPRD Jatim, Surabaya, Senin (12/8). (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat)
Sampang (ANTARA News) - Direktur Central Political and Religious Studies (Centris) Madura, Sulaisi Abdurrazak menyayangkan, semua calon gubernur dan wakil gubernur Jawa Timur mengabaikan kasus tragedi kemanusiaan di Sampang yang menyebabkan kerukunan umat beragama berantakan.
"Berdasarkan pemantauan dari berbagai kegiatan kampanye yang digelar cagub/cawagub di Madura maupun pernyataan di media massa, tak satu pun dari empat pasangan calon gubernur yang berkomitmen akan menyelesaikan kasus bernuansa SARA di Sampang," kata Sulaisi kepada Antara, Rabu malam.
Padahal tragedi kemanusiaan bernuansa SARA antara kelompok minoritas Syiah dengan Sunni itu telah menjadi kasus nasional, bahkan internasional. Kasus itu pula telah menyebabkan pandangan dunia terhadap Indonesia negatif.
Kasus bernuansa SARA di Sampang dianggap dunia internasional bahwa negara Indonesia tidak bisa melindungi, bahkan cenderung mengabaikan hak-hak kelompok minoritas.
"Seharusnya, calon pemimpin Jawa Timur memperhatikan kasus itu, bahkan menjadi upaya mendapaikan konflik kedua belah pihak berbeda paham itu sebagai program perioritas, serta mengembalikan hak-hak kelompok minoritas," kata Sulaisi.
Namun, faktanya, sambung dia, yang terjadi, para calon gubernur Jatim tersebut, justru terkesan menghindari upaya membahas penyelesaian konflik bernuansa Sara yang terjadi di Sampang yang telah menelan banyak konban jiwa serta kerugian material dari kelompok minoritas yang jumlahnya tidak sedikit.
Seharusnya, program penyelesaian kasus itu menjadi program perioritas calon pemimpin di negara yang menganut asas Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara 1945 yang menjunjung tinggi keragaman dalam perbedaan (Bhinneka Tunggal Ika).
Dengan cara mengasingkan kelompok minoritas dari kampung halamannya, seperti di lokasi pengungian Puspa Agro Sidoarjo, katanya.
"Padahal pindahnya warga Syiah ke Sidoarjo itu menurut hemat kami bukanlah bentuk keberhasilan dalam meredam konflik, akan tetapi merupakan sebuah realitas bahwa pemerintah tidak bisa memberikan rasa aman bagi kelompok minoritas yang berbeda paham dengan kelompok mayoritas," kata Sulaisi.
Dari empat pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Jatim yang datang ke Madura, memang satupun diantara mereka itu yang berkomitmen akan menyelesaikan kasus bernuansa Sara di Kabupaten Sampang itu.
Bahkan para calon gubernur itu umumnya mengikuti keinginan mayoritas kelompok yang menginginkan agar kelompok minoritas Syiah tidak kembali ke kampung halamannya di Desa Karanggayam, Kecamatan Omben dan Desa Bluuran, Kecamatan Karangpenang, Sampang.
Jika mereka ingin kembali lagi ke kampung halamannya dengan damai, para pengikut alirasan Islam Syiah ini diminta agar menganut paham Ahlussunnah Wal Jamaah, yang menurut keyakinan kelompok mayoritas di Sampang itu merupakan aliran yang paling benar dalam agama Islam.
Direktur Centris Sulaisi Abdurrazak menilai, keberpihakan para calon gubernur atas kelompok minoritas Syiah yang menjadi korban tragedi kemanusiaan di Sampang, secara politik memang kurang menguntungkan.
"Sebab konsekwensinya memang konsekwensi politik, yakni siap untuk tidak didukung pada pilkada Jatim 29 Agustus nanti. Dan itu tentu hal yang tidak diinginkan," katanya.
Akan tetapi, sambung dia, disatu sisi, ketika para calon pemimpin itu tak satupun mempunyai komitemen kuat untuk mendamaikan dan saling menerima atas perbedaan itu, maka menurut dia, sebenarnya hal itu sama dengan memilih pemimpin yang hanya peduli atas kepentingan mayoritas, tanpa peduli atas keberadaan kelompok minoritas yang kini sedang tertindas.
Konflik antara Islam Syiah dan Sunni di Sampang, Madura ini berawal dari hubungan keluarga antara pimpinan Islam Syiah Tajul Muluk dengan saudaranya Rois Al Hukama.
Ketika itu, keduanya masih sama-sama menganut aliran Islam Syiah. Namun karena persoalan perempuan, Rois akhirnya memilih keluar dari aliran itu. Sejak saat itu, maka tersiar kabar di kalangan masyarakat Sampang penganut aliran Sunni bahwa Tajul Muluk mengajarkan aliran Islam sesat, hingga akhirnya terjadi penyerahan kepala kelompok pengikut aliran Syiah pimpinan Tajul Muluk.
Pada Agustus 2012, perkampungan pengikut aliran Islam Syiah di Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben dan Desa Bluuran, Kecamatan Karangpenang diserang kelompok bersenjata dan menyebabkan satu orang tewas, serta enam orang lainnya luka-luka.
Sebanyak 47 unit rumah milik penganut aliran Islam ini juga dibakar, termasuk madrasah dan mushalla penganut aliran Islam Syiah.
Penyerangan yang terjadi pada Agustus 2012 itu merupakan kali kedua. Sebelumnya pada Desember 2011, pengikut Tajul Muluk ini juga pernah diserang, dan sekitar 300 kepala keluarga terpaksa menungsi.
Berbagai upaya sebenarnya telah dilakukan pemerintah, termasuk berupaya mendamaikan kedua belah pihak, namun hingga saat ini belum membuahkan hasil, hingga akhirnya pemerintah memutuskan agar penganut aliran Islam Syiah di Sampang dipindah sesuai keinginan mayoritas ulama di Pulau Garam itu. (ZIZ/B015)
"Berdasarkan pemantauan dari berbagai kegiatan kampanye yang digelar cagub/cawagub di Madura maupun pernyataan di media massa, tak satu pun dari empat pasangan calon gubernur yang berkomitmen akan menyelesaikan kasus bernuansa SARA di Sampang," kata Sulaisi kepada Antara, Rabu malam.
Padahal tragedi kemanusiaan bernuansa SARA antara kelompok minoritas Syiah dengan Sunni itu telah menjadi kasus nasional, bahkan internasional. Kasus itu pula telah menyebabkan pandangan dunia terhadap Indonesia negatif.
Kasus bernuansa SARA di Sampang dianggap dunia internasional bahwa negara Indonesia tidak bisa melindungi, bahkan cenderung mengabaikan hak-hak kelompok minoritas.
"Seharusnya, calon pemimpin Jawa Timur memperhatikan kasus itu, bahkan menjadi upaya mendapaikan konflik kedua belah pihak berbeda paham itu sebagai program perioritas, serta mengembalikan hak-hak kelompok minoritas," kata Sulaisi.
Namun, faktanya, sambung dia, yang terjadi, para calon gubernur Jatim tersebut, justru terkesan menghindari upaya membahas penyelesaian konflik bernuansa Sara yang terjadi di Sampang yang telah menelan banyak konban jiwa serta kerugian material dari kelompok minoritas yang jumlahnya tidak sedikit.
Seharusnya, program penyelesaian kasus itu menjadi program perioritas calon pemimpin di negara yang menganut asas Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara 1945 yang menjunjung tinggi keragaman dalam perbedaan (Bhinneka Tunggal Ika).
Dengan cara mengasingkan kelompok minoritas dari kampung halamannya, seperti di lokasi pengungian Puspa Agro Sidoarjo, katanya.
"Padahal pindahnya warga Syiah ke Sidoarjo itu menurut hemat kami bukanlah bentuk keberhasilan dalam meredam konflik, akan tetapi merupakan sebuah realitas bahwa pemerintah tidak bisa memberikan rasa aman bagi kelompok minoritas yang berbeda paham dengan kelompok mayoritas," kata Sulaisi.
Dari empat pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Jatim yang datang ke Madura, memang satupun diantara mereka itu yang berkomitmen akan menyelesaikan kasus bernuansa Sara di Kabupaten Sampang itu.
Bahkan para calon gubernur itu umumnya mengikuti keinginan mayoritas kelompok yang menginginkan agar kelompok minoritas Syiah tidak kembali ke kampung halamannya di Desa Karanggayam, Kecamatan Omben dan Desa Bluuran, Kecamatan Karangpenang, Sampang.
Jika mereka ingin kembali lagi ke kampung halamannya dengan damai, para pengikut alirasan Islam Syiah ini diminta agar menganut paham Ahlussunnah Wal Jamaah, yang menurut keyakinan kelompok mayoritas di Sampang itu merupakan aliran yang paling benar dalam agama Islam.
Direktur Centris Sulaisi Abdurrazak menilai, keberpihakan para calon gubernur atas kelompok minoritas Syiah yang menjadi korban tragedi kemanusiaan di Sampang, secara politik memang kurang menguntungkan.
"Sebab konsekwensinya memang konsekwensi politik, yakni siap untuk tidak didukung pada pilkada Jatim 29 Agustus nanti. Dan itu tentu hal yang tidak diinginkan," katanya.
Akan tetapi, sambung dia, disatu sisi, ketika para calon pemimpin itu tak satupun mempunyai komitemen kuat untuk mendamaikan dan saling menerima atas perbedaan itu, maka menurut dia, sebenarnya hal itu sama dengan memilih pemimpin yang hanya peduli atas kepentingan mayoritas, tanpa peduli atas keberadaan kelompok minoritas yang kini sedang tertindas.
Konflik antara Islam Syiah dan Sunni di Sampang, Madura ini berawal dari hubungan keluarga antara pimpinan Islam Syiah Tajul Muluk dengan saudaranya Rois Al Hukama.
Ketika itu, keduanya masih sama-sama menganut aliran Islam Syiah. Namun karena persoalan perempuan, Rois akhirnya memilih keluar dari aliran itu. Sejak saat itu, maka tersiar kabar di kalangan masyarakat Sampang penganut aliran Sunni bahwa Tajul Muluk mengajarkan aliran Islam sesat, hingga akhirnya terjadi penyerahan kepala kelompok pengikut aliran Syiah pimpinan Tajul Muluk.
Pada Agustus 2012, perkampungan pengikut aliran Islam Syiah di Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben dan Desa Bluuran, Kecamatan Karangpenang diserang kelompok bersenjata dan menyebabkan satu orang tewas, serta enam orang lainnya luka-luka.
Sebanyak 47 unit rumah milik penganut aliran Islam ini juga dibakar, termasuk madrasah dan mushalla penganut aliran Islam Syiah.
Penyerangan yang terjadi pada Agustus 2012 itu merupakan kali kedua. Sebelumnya pada Desember 2011, pengikut Tajul Muluk ini juga pernah diserang, dan sekitar 300 kepala keluarga terpaksa menungsi.
Berbagai upaya sebenarnya telah dilakukan pemerintah, termasuk berupaya mendamaikan kedua belah pihak, namun hingga saat ini belum membuahkan hasil, hingga akhirnya pemerintah memutuskan agar penganut aliran Islam Syiah di Sampang dipindah sesuai keinginan mayoritas ulama di Pulau Garam itu. (ZIZ/B015)
Pewarta: Abd Aziz
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013
Tags: