Jakarta (ANTARA News) - Terdakwa kasus korupsi pengadaan "driving" simulator uji klinik pengemudi roda dua (R2) dan roda empat (R4) tahun anggaran 2011 dan pencucian uang periode 2010-2012 dan 2003-2010, Irjen Pol Djoko Susilo dituntut 18 tahun penjara.

"Menuntut agar majelis hakim memutuskan agar terdakwa dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan secara bersama-sama dan beberapa kejahatan berdasarkan dakwaan kesatu, kedua dan ketiga dan meminta agar menjatuhkan pidana penjara selama 18 tahun dan denda Rp1 miliar subsider 1 tahun kurungan," kata jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi Pulung Rinandoro dalam sidang di pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa.

Tuntutan tersebut dimuat dalam berkas tuntutan setebal 2.930 halaman dengan pembacaan sebanyak 900 halaman selama sekitar tujuh jam.

"Terdakwa juga diminta membayar uang pengganti sebesar Rp32 miliar yang bila tidak dibayar selama satu bulan setelah mendapatkan putusan berkekuatan hukum tetap maka harta terdakwa akan dilelang dan bila tidak mencukupi terdakwa akan dipenjara selama 5 tahun," tambah Pulung.

Jaksa juga mengungkapkan pidana tambahan kepada Djoko yaitu tidak dapat memilih dan dipilih dalam jabatan publik.

Tiga dakwaan yang dialamatkan kepada mantan Kepala Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri tersebut adalah pertama dakwaan kesatu primer yaitu dalam pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang perubahan ataas UU No 31 tahun 1999 Jo pasal 55 ayat (1) ke-1 jo pasal 65 ayat (1) KUHP.

Dakwaan kedua dan ketiga adalah tindak pidana pencucian uang yang berdasarkan pasal 3 UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP dan pasal 3 ayat (1) huruf c UU No 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan UU No 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.

Pada dakwaan pertama, jaksa menganggap Djoko terbukti melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi sebesar Rp32 miliar.

Djoko sebagai Kakorlantas memerintahkan ketua pengadaan simulator AKBP Teddy Rusmawan agarpekerjaan pengadaan simulator R2 dan R4 anggaran 2011 dikerjakan oleh PT Citra Mandiri Metalindo Abadi (CMMA).

Djoko, memerintahkan agar Kepala Bagian Perencanaan dan Administrasi (Kabag Renmin) Mabes Polri Budi Setyadi agar pengadaan simulator diberikan kepada direktur PT CMMA Budi Susanto.

Dalam menyiapkan modal terkait pengadaan simulator tersebut, Budi Susanto mengajukan Kredit Modal Kerja (KMK) sebesar Rp101 miliar ke Bank BNI dengan menjaminkan surat perintah kerja (SPK) pengadaan simulator R2 dan R4 dan tanggung renteng dengan jaminan atas fasilitas kredit padahal saat pengajuan kredit, SPK pengadaan simulator R2 dan R4 belum ada.

Sebagai tindak lanjut persetujuan modal kerja tersebut maka Budi Susanto mentransfer Rp35 miliar ke rekening PT Inovasi Teknologi Indonesia (ITI) untuk direkturnya Sukotjo S Bambang sedangkan pada 13 Januari 2011 Budi memerintahkan Sukotjo untuk mentransfer uang sebesar Rp8 miliar kepada Primer Koperasi Polri (Primkoppol) Ditlantas Mabes Polri.

Sukotjo kemudian membawa uang sebesar Rp2 miliar dari kas PT ITI ke kantor Korlantas Polri dan bertemu dengan sekretaris pribadi Djoko, Tri Hudi Ernawati namun Djoko saat itu tidak berada di tempat sehingga keduanya hanya menaruh kardus berisi uang tunai Rp2 miliar di bawah meja Erna.

Tapi keterangan tersebut dicabut oleh Erna di persidangan dan mengatakan berita acara yang dibuat saat pemeriksaan di KPK dilakukan dalam keadaan tertekan.

"Pencabutan keterangan tidak beralasan karena tidak ada tekanan, paksaan dan ancaman saat saksi diperiksa oleh penyidik," ungkap jaksa KMS Roni.

Jenderal bintang dua itu bersama dnegan Budi Susanto juga menentukan nilai harga perkiraan sendiri (HPS) simulator R2 yaitusebesar Rp80 juta per unit dan dibuat Rp79,93 juta untuk menghindari kecurigaan pihak luar Korlantas sedankan untuk simulator R4 ditentukan sebesar Rp260 juta per unit demi menghindari kecurigaan dibuat menjadi Rp258,9 juta per unit.

Artinya menurut jaksa terjadi penggelembungan harga (mark up) dengan tiga cara yaitu komponen dihitung dua kali, memasukkan komponen yang sebenarnya tidak digunakan dan menaikkan harga satuan masing-masing komponen.

Untuk memuluskan PT CMMA sebagai pemenang lelang, dan seolah-olah dilakukan pelelangan maka Budi Susanto atas sepengetahuan Teddy Rusmawan menyiapkan perusahaan-perusahaan tertentu untuk dijadikan sebagai peserta pendamping dalam proses pelelangan yang diikuti tujuh perusahaan.

Akhirnya PT CMMA ditetapkan sebagai pemenang lelang penyedia barang "Driving" Simulator Uji Klinik Pengemudi R2 dengan nilai kontrak Rp54,45 miliar untuk 700 unit yang harga satuannya Rp77,79 juta.

Padahal setelah Sukotjo melakukan efisiensi perhitungan ternyata harga simulator R2 hanya Rp42,8 juta per uni dan simulator R4 adalah Rp80 juta per unit sudah termasuk biaya pemasangan, pelatihan dan perawatan tapi tidak termasuk biaya pengiriman.

Djoko juga memerintahkan pencairan anggaran untuk pembayaran PT CMMA sebelum pekerjaan pengadaan simulator R2 selesai seluruhnya senilai Rp48,76 miliar pada 16 Maret 2011 padahal pekerjaan belum selesai sepenuhnya.

Sebagai balasan, Djoko mendapatkan Rp32 miliar dari Budi Susanto yang diberikan dalam dua tahap yaitu pada Januari 2011 sebesar Rp2 miliar setelah pencairan modal kerja dan setelah pencairan pembayaran simulator R2 dan satu minggu setelahnya sebesar Rp30 miliar yang dibungkus dalam empat kardus.

Padahal setelah dilakukan pengecekan ke gudang PT CMMA di Bandung pada 24 Maret 2011, ternyata kota untuk menyimpan simulator R2 banyak yang kosong.

Seperti dalam pengadaan simulator R2, pengadaan simulator R4 pun dapat dicairkan seluruhnya pada 6 Desember 2011 sebesar Rp127,5 miliar meski pada kenyataannya distribusi simulator R4 masih terus dilakukan PT CMMA hingga April 2012.

Perbuatan Djoko menurut jaksa berdasarkan perhitungan kerugian negara yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan adalah sebesar Rp144,98 miliar.

"Terdakwa Irjen Pol Djoko Susilo bersama-sama dengan Didik Purnomo, Teddy Rusmawan, Budi Susanto dan Sukotjo Sastronegoro Bambang melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yaitu memperkaya diri sebesar Rp32 miliar, dan arena uang yang diterima terdakwa berasal dari uang negara, penuntut umum berkesimpulan terdakwa harus membayar uang pengganti sebagaimana pasal 18 UU Tindak Pidana Korupsi sebesar Rp32 miliar," jelas jaksa.

Untuk tindak pidana pencucian uang berdasarkan dakwaan kedua yaitu pada periode 2010-2012, jaksa menilai bahwa kekayaan Djoko adalah sebesar Rp63,7 miliar yang di antaranya diduga terkait dengan pengadaan "driving" simulator R2 dan R4 sebesar Rp32 miliar dan penerimaan dari Primkoppol sebesar Rp16 miliar dalam bentuk pinjaman yang didapat tanpa proses sesuai di Primkoppol dan tidak dikembalikan oleh terdakwa, sedangkan keseluruhan aset yang telah dialihkan adalah sebesar Rp7 miliar.

Djoko melakukan pembelian harta kekayaan yang tidak dilakukannya sendiri melainkan dengan menggunakan nama Mahdiana, Dipta Anindita, Djoko Waskito, Mudjiharjo, Sudiyono, Erick Maliangkay dan dan beberapa nama lainnya.

Djoko juga menggunakan nama orang lain dalam kepemilikan harta kekayaannya antara lain menggunakan nama Suratmi, Mahdiana, Dipta, Djoko Waskito, Mudjiharjo dan lainnya, sedangkan pengalihan aset juga diatasnamakan orang lain

"Berdasarkan saksi ahli Yunus Husein, pengalihan tersebut merupakan pola kejahatan pencucian uang," jelas jaksa

Padahal pendapatan Djoko pada Januari-Desember 2010 adalah sebesar Rp93,5 juta, Januari-Desember 2011 adalah Rp113,3 juta dan Januari-Maret 2012 adalah Rp28,9 juta, sedangkan berdasarkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) Djoko per 23 Agustus 2010 hanyalah Rp5,6 miliar.

Jaksa juga menilai bahwa dengan tidak membolehkan Suratmi, Eva Handayani, Mahdiana, Poppy Femiliya, Dipta Anindita hadir ke pengadilan berdasarkan pasal 35 UU no 31 tahun 1999 karena merupakan keluarga inti Djoko, menguatkan adanya dugaan bahwa dana berasal dari pengadaan simulator R2 dan R4.

"Dengan fakta dan bukti persidangan, jaksa menilai bahwa dakwaan kedua pertama seluruh unsur pasalnya terpenuhi dan terbukti sesuai dengan hukum."

Sedangkan pada dakwaan ketiga, adalah pencucian uang pada periode 2003-2010, yaitu sejak menjabat sebagai Kapolres Bekasi per 29 Maret 2001 hingga Kepala Korlantas pada 15 September 2010.

Jaksa mencatat bahwa aset Djoko pada periode 2003-2010 adalah sebesar Rp54,6 miliar dan 60 ribu dolar AS, padahal pendapatan Djoko tidak mencapai jumlah tersebut yaitu hanya penghasilan 406,35 juta ditambah penghasilan lain Rp240 juta per tahun dan penghasilan dari usaha jual beli perhiasan dan properti adalah Rp960 juta.

Aset berupa tanah, rumah, stasiun pengisian bahan bakar umum diatasnamakan dengan nama Mahdiana, Eva Handayani, Suratmi, Djoko Waskito, Bambang Rian Setiadi dan nama-nama lainnya.

"Diketahui juga PT Pura pernah memberikan uang Rp7 miliar yang diambil secara bertahap oleh Legimo, sehingga patut diduga harta tersebut merupakan tindak pidana korupsi terkait dengan jabatannya berdasarkan keterangan para saksi dan bukti-bukti, unsur membayarkan atau membelanjakan harta kekayaan yang diketahui asal usulnya maka tindak pidana dengan menggunakan nama sendiri maupun orang lain telah terbukti," jelas jaksa

Sidang pembacaan pledoi (nota pembelaan) Djoko dibacakan pada Selasa, 27 Agustus 2013 pada pukul 13.00 WIB. (D017)