Jakarta (ANTARA News) - Tawaran dari beberapa penerbit bisa jadi merupakan kesempatan emas yang harus segera disambar bagi sebagian komikus, tapi tidak demikian dengan Sweta Kartika.




Pria lulusan Desain Komunikasi Visual Insitut Teknologi Bandung itu memilih menolak tawaran empat penerbit untuk menerbitkan komiknya yang berjudul "Grey dan Jingga", komik daring secara berkala diunggah di Facebook.




Sweta punya rencana yang lebih besar, lebih dari sekadar menerbitkan komik karyanya menjadi buku.




Komikus yang bahkan telah membuat beberapa musik latar untuk kisah "Grey dan Jingga" itu ingin membuat tokoh-tokoh rekaannya mewujud dalam bentuk film live action.




Agar rencananya terlaksana dan sukses, dia ingin lebih dulu menjaring banyak pembaca dan menumbuhkan basis penggemar karya komiknya.

Dan langsung menyodorkan cerita komiknya ke penerbit, menurut dia, bukanlah tindakan yang tepat untuk mewujudkan rencananya.




"Saya sudah memikirkan rutenya. Saya tidak mau langsung ke penerbit. Saya ingin terbitkan dulu di majalah agar dibaca oleh semakin banyak orang karena majalah biasanya sudah punya massa sendiri," katanya kepada ANTARA News.




Menampilkan "Grey dan Jingga" di Facebook secara berkala merupakan sebuah proposal untuk meyakinkan majalah bahwa setiap episode cerita komiknya menarik ratusan komentar dari pembaca.




"Yang ada di Facebook itu baru proposal saya untuk nanti diajukan ke majalah-majalah, bahwa komik ini sudah punya follower sekian, dan sebagainya. Baru habis itu diterbitkan jadi komik," kata Sweta, ilustrator yang mewarisi darah seni dari ayahnya yang pandai menggambar.


Menurut Sweta, konsep yang matang merupakan salah faktor penting dalam pembuatan "Grey dan Jingga", yang diunggah ke media jejaring sosial setiap Senin dan Kamis.




"Komik bersambung itu harus punya konsistensi cetak biru agak ceritanya tidak melebar kemana-mana. Dari awal harus tahu tujuannya kemana. Tanpa ada perencanaan, untuk disiplin menerbitkan komik berkala juga susah," katanya.





Mengangkat seni tradisi




Di luar kesibukannya mengerjakan "Grey dan Jingga", pria yang lahir di Kebumen tanggal 14 April 1986 silam itu menggarap Intellectual Property (IP) budaya tradisional.




Menurut penuturannya, membuat IP tidak bisa terburu-buru karena butuh konsep yang sangat matang.

Dia menyebut karya J.R.R Tolkien, "Lord of The Rings" yang tenar dalam berbagai bentuk medium termasuk novel dan film sebagai contoh.





"Dia tidak hanya membuat LOTR, dia juga bikin Hobbit, novelnya, membuat bahasanya juga. Untuk membuat hal seperti itu butuh konsep yang digodok dalam waktu panjang," jelas komikus yang ada di balik karya "Wanara" itu.




Bagi ilustrator yang melanjutkan pendidikan pascasarjana di jurusan Teknologi Media Dijital dan Game ITB itu komik hanyalah salah satu bagian dari upayanya mempopulerkan budaya tradisional.




"Komik itu hanya servis produk, harus lebih besar dari itu. Istilahnya untuk meracuni penduduk desa, langsung dari mata airnya, bukan satu-satu diracuni," kata Sweta, yang bersama teman-temannya membangun Wanara Studio, studio ilustrasi dan desain berbasis desain visual tradisi Nusantara.





REPOOBLYQ QDJY




Saat ini Sweta dan kawan-kawannya juga sedang mengembangkan REPOOBLYQ QDJY (Baca: Republik Keji) untuk menjadi kekayaan intelektual.




Proyek yang disebutnya "serius tapi main-main, main-main tapi serius" itu merupakan kelompok kabinet virtual yang dipimpin oleh tokoh fiktif berkepala kotak bernama PRESYDEN QDJY, karakter yang berkuasa di dunia maya termasuk Facebookdan Twitter.




Melalui akun-akun tersebut, PRESYDEN QDJY seringkali menulis dan membuat hal-hal nyeleneh yang kreatif dalam bahasa QDJY.




Sweta mengatakan, Bahasa QDJY adalah sistem komunikasi dengan cara penulisan yang sudah ditentukan.

Inspirasinya berasal dari banyak hal, termasuk ejaan Bahasa Indonesia jaman dulu yang belum disempurnakan.




Cara menulis yang unik itu sempat dianggap serupa dengan bahasa alay oleh sejumlah orang-orang awam, tapi Sweta menegaskan bahwa REPOOBLYQ QDJY adalah sebaliknya.




"Justru kita melawan budaya alay. Kalau orang menyerang QDJY itu susah, karena mereka harus mempelajari budaya dulu. Tapi banyak yang sebelum membenci jadi jatuh cinta duluan," tukasnya.




Untuk memudahkan orang memahami bahasa QDJY, ada kamus khusus tentang cara penulisan yang benar ala republik virtual tersebut.

Ada juga "masyarakat" (penggemar QDJY) yang membuat sistem penerjemahan bahasa QDJY ke bahasa Indonesia tanpa diminta.




Sweta, yang menjadi wakil presiden dan menteri propaganda, bertugas memperkenalkan karakter tersebut di media berbeda, termasuk dalam komik "Wanara" buatannya.




"Saya memasukkannya ke banyak lini sehingga orang notice pada QDJY, untuk membangun acknowledgment," katanya.




"Ke depannya, saya ingin QDJY tidak hanya menjadi karakter, tapi bisa jadi produk Intellectual Property yang solid. Jadi komik bisa, jadi budaya bisa," imbuhnya.