"Jadi itu karena hujan lebat yang airnya terus masuk ke dalam cekungan hingga akhirnya menyebabkan debris atau limpasan air dan longsor di lokasi itu," kata Kepala Sub Koordinator Gerakan Tanah Wilayah Barat PVMBG Badan Geologi ESDM Sumaryono saat dikonsumsi di Bandung, Rabu.
Baca juga: Dua rumah rusak tertimbun longsor di Cianjur, 40 orang mengungsi
Dia menjelaskan, di waktu sebelum dan saat terjadinya longsor, curah hujan di wilayah tersebut tengah mengalami anomali yakni mencapai 200 mm yang biasanya hujan tersebut kumulatif dalam 15 sampai 20 hari yang kemudian masuk ke dalam cekungan itu.
"Info dari BMKG dalam dua hari mencapai 200 mm, itu hujan yang biasanya 200 mm itu dalam 15 - 20 hari, dan bayangkan diturunkan dalam dua hari," katanya.
Dia juga menjelaskan, secara morfologi, daerah tersebut memang rawan longsor dan kerap kali terjadi longsor, sehingga bukan karena sebab lain seperti aktivitas perusahaan air minum di sana.
"Jadi secara morfologi kawasan ini memang rawan longsor yang juga telah terjadi sebelum ada aktivitas perusahaan," ucapnya.
Baca juga: Tebing 15 meter longsor, ancam rumah pinggiran Sungai Manjuto Bengkulu
Sumaryono menjelaskan, di titik kejadian tersebut, sedikitnya telah terjadi kejadian longsor, dan lereng di lokasi tersebut yang terjal secara morfologi menunjukkan longsoran lama.
"Hanya yang kali ini lebih besar dan masih ada potensi longsor lagi. Di mana retakan juga masih ada di bagian atas lereng," katanya.
Tanah longsor terjadi di Kampung Cipondok, Desa Pasanggrahan, Kecamatan Kasomalang, Kabupaten Subang, pada Minggu (7/1) sekitar pukul 17.30 WIB.
Bencana alam itu menyebabkan setidaknya sembilan orang terluka dan dua orang meninggal karena tertimbun longsoran tanah dan 49 orang mengungsi.
Baca juga: 16 kecamatan di Jakarta berpotensi rawan longsor