Pemilu 2024
TII: KPU dan Bawaslu perlu kaji aturan paslon main media sosial
10 Januari 2024 15:43 WIB
Tangkapan layar - Capres nomor urut 3 Ganjar Pranowo saat melakukan siaran langsung atau live di media sosial TikTok seperti dipantau dari Jakarta, Jumat (5/1/2024) malam. (ANTARA/Rio Feisal)
Jakarta (ANTARA) - The Indonesian Institute (TII) menyoroti jika penyelenggara Pemilu baik Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) perlu mengkaji ulang aturan terkait pasangan calon (paslon) yang saat ini gencar bermain media sosial.
“Kalau live secara model jaringan seperti Zoom, itu sudah disebutkan di Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU). Tapi yang lain dengan model live Instagram, TikTok, kami melihatnya belum diatur, makanya sebenarnya ini perlu diatur apa tidak?” kata Manajer Riset dan Program TII Arfianto Purbolaksono kepada ANTARA di Jakarta, Rabu.
Arfianto menyoroti penyelenggara Pemilu belum bersikap tegas terhadap aturan paslon bermain media sosial karena adanya sejumlah kemungkinan buruk yang belum diantisipasi melalui kebijakan-kebijakan yang disusun ke dalam PKPU.
“Dalam PKPU Nomor 15 Tahun 2023, itu tidak mengatur terkait kampanye live yang dilakukan dengan fitur di media sosial karena pengaturan kita itu kan masih terbatas, dan sifatnya masih banyak di pertemuan pertemuan yang sifatnya konvensional seperti pertemuan tatap muka,” katanya.
Akibatnya, bentuk pengawasan yang diberikan ketika para paslon bermain media sosial masih sangat minim. Meski telah diberlakukan larangan kepada setiap paslon untuk menerima hadiah (gift) ketika bermain suatu aplikasi, aturan tersebut dianggap belum cukup untuk mencegah potensi-potensi buruk lainnya.
Contohnya yakni terjadinya politik uang selama siaran berlangsung dan penyalahgunaan uang yang didapatkan melalui fitur live tersebut untuk digunakan sebagai dana kampanye.
Menurutnya, baik KPU maupun Bawaslu juga harus bisa mengantisipasi adanya risiko media sosial dijadikan sebagai wadah melontarkan ujaran kebencian pada pihak lain, yang akan menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Mengingat hal tersebut mungkin saja tidak dilakukan capres-cawapres terkait, tapi oleh tim suksesnya masing-masing.
“Pengawasan sangat penting karena bisa jadi dalam live tersebut, muncul apakah itu adanya pelanggaran-pelanggaran yang melanggar aturan kampanye yang jadi ujaran kebencian, menghasut, memprovokasi seperti itu atau memunculkan kegaduhan yang membuat mengganggu ketertiban umum, itu bisa terjadi,” ujarnya.
Dengan demikian, dirinya menyarankan pada KPU dan Bawaslu untuk mengkaji ulang aturan bermain media sosial, terutama aturan soal berapa lamanya durasi yang diperbolehkan, konten yang dibicarakan hingga bagaimana bentuk pengawasan dari kedua belah pihak untuk mengantisipasi hal-hal buruk terjadi.
“Kenapa hal ini bisa terjadi? karena tidak ada payung hukumnya. Makanya saya melihatnya bahwa itu penting diatur walaupun mungkin dengan hal pengaturan harus jelas, bagaimana live-nya seperti apa, mungkin mengawasi dalam hal apa saja yang diatur. Yang jadi perhatian kami dalam media sosial jangan sampai berujung pada kegaduhan,” ujarnya.
“Kalau live secara model jaringan seperti Zoom, itu sudah disebutkan di Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU). Tapi yang lain dengan model live Instagram, TikTok, kami melihatnya belum diatur, makanya sebenarnya ini perlu diatur apa tidak?” kata Manajer Riset dan Program TII Arfianto Purbolaksono kepada ANTARA di Jakarta, Rabu.
Arfianto menyoroti penyelenggara Pemilu belum bersikap tegas terhadap aturan paslon bermain media sosial karena adanya sejumlah kemungkinan buruk yang belum diantisipasi melalui kebijakan-kebijakan yang disusun ke dalam PKPU.
“Dalam PKPU Nomor 15 Tahun 2023, itu tidak mengatur terkait kampanye live yang dilakukan dengan fitur di media sosial karena pengaturan kita itu kan masih terbatas, dan sifatnya masih banyak di pertemuan pertemuan yang sifatnya konvensional seperti pertemuan tatap muka,” katanya.
Akibatnya, bentuk pengawasan yang diberikan ketika para paslon bermain media sosial masih sangat minim. Meski telah diberlakukan larangan kepada setiap paslon untuk menerima hadiah (gift) ketika bermain suatu aplikasi, aturan tersebut dianggap belum cukup untuk mencegah potensi-potensi buruk lainnya.
Contohnya yakni terjadinya politik uang selama siaran berlangsung dan penyalahgunaan uang yang didapatkan melalui fitur live tersebut untuk digunakan sebagai dana kampanye.
Menurutnya, baik KPU maupun Bawaslu juga harus bisa mengantisipasi adanya risiko media sosial dijadikan sebagai wadah melontarkan ujaran kebencian pada pihak lain, yang akan menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Mengingat hal tersebut mungkin saja tidak dilakukan capres-cawapres terkait, tapi oleh tim suksesnya masing-masing.
“Pengawasan sangat penting karena bisa jadi dalam live tersebut, muncul apakah itu adanya pelanggaran-pelanggaran yang melanggar aturan kampanye yang jadi ujaran kebencian, menghasut, memprovokasi seperti itu atau memunculkan kegaduhan yang membuat mengganggu ketertiban umum, itu bisa terjadi,” ujarnya.
Dengan demikian, dirinya menyarankan pada KPU dan Bawaslu untuk mengkaji ulang aturan bermain media sosial, terutama aturan soal berapa lamanya durasi yang diperbolehkan, konten yang dibicarakan hingga bagaimana bentuk pengawasan dari kedua belah pihak untuk mengantisipasi hal-hal buruk terjadi.
“Kenapa hal ini bisa terjadi? karena tidak ada payung hukumnya. Makanya saya melihatnya bahwa itu penting diatur walaupun mungkin dengan hal pengaturan harus jelas, bagaimana live-nya seperti apa, mungkin mengawasi dalam hal apa saja yang diatur. Yang jadi perhatian kami dalam media sosial jangan sampai berujung pada kegaduhan,” ujarnya.
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Indriani
Copyright © ANTARA 2024
Tags: