Jakarta (ANTARA) - Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Paru Indonesia (PDPI) Prof Dr dr Agus Dwi Susanto menyoroti adanya kesalahan persepsi masyarakat perihal rokok elektrik atau vape.

"Mereka berpikir bahwa nikotinnya (di rokok elektrik) lebih rendah dan bisa dipakai untuk terapi berhenti merokok atau placement terapi. Itu sebanyak 76,7 persen," katanya dalam taklimat media yang diikuti secara daring di Jakarta, Selasa.

Agus mengemukakan riset pada 2021 mencatat sebanyak 17,2 persen dari 937 responden di Jakarta menggunakan rokok elektrik karena terkait dengan rasa, 3,4 persen karena dapat menggunakan trik asap, serta 1,7 persen mengikuti tren.

Pada riset berbeda yang dilakukan terhadap 104 mahasiswa Universitas Indonesia pada 2019 silam, kata dia, mayoritas responden memiliki persepsi positif terhadap definisi, kandungan, manfaat, dan kerugian penggunaan rokok elektrik.

Padahal, ia menilai rokok elektrik tidak berbeda dengan rokok konvensional yang sama-sama mengandung zat yang berbahaya bagi tubuh.

"Fakta bahwa rokok konvensional maupun rokok elektrik sama-sama mengandung bahan adiktif yang bersifat iritatif dan merangsang peradangan inflamasi," ujarnya.

Baca juga: Rokok elektrik tidak penuhi syarat untuk modalitas berhenti merokok

Baca juga: Ekonom nilai penetapan pajak rokok elektrik sudah tepat


Agus menjelaskan baik rokok elektrik maupun rokok konvensional sama-sama mengandung nikotin, zat karsinogen (penyebab kanker), serta bahan toksik lainnya yang iritatif, meskipun uap pada rokok elektrik tidak mengandung karbon monoksida (CO) dan TAR.

Lebih lanjut, ia memaparkan sejumlah bahan yang terkandung dalam rokok elektrik seperti nikotin yang berpotensi menyebabkan ketergantungan, nitrosamin yang berpotensi menjadi zat karsinogen, gliserol/glikol yang berpotensi menyebabkan iritasi saluran napas dan paru, dan lain sebagainya.

Pada 2018, ia bersama tim melakukan penelitian terhadap 71 orang laki-laki pengguna rokok elektrik, dengan menggunakan kuesioner dan indeks terkait ketergantungan nikotin Penn State Nicotine Dependent Index.

"Ditemukan sebanyak 76,5 persen laki-laki pengguna rokok elektrik itu memiliki ketergantungan terhadap nikotin," tuturnya.

Mengingat bahaya kesehatan yang ditimbulkan, Agus menganjurkan rokok elektronik seharusnya dilarang atau diatur penggunaannya, terlepas dari potensinya untuk berhenti merokok yang masih diperdebatkan.

Baca juga: Tiga bahan berbahaya rokok elektrik dan efek buruk pada kesehatan

Baca juga: Pakar: Pendekatan lain diperlukan pada kebijakan pengendalian tembakau