Pemilu 2024
Reza Indragiri nilai visi misi program pertahanan Ganjar lebih canggih
8 Januari 2024 18:30 WIB
Capres nomor urut tiga Ganjar Pranowo (kanan) menyampaikan pendapat saat adu gagasan dalam debat ketiga Pilpres 2024 di Istora Senayan, Jakarta, Minggu (7/1/2024) malam. (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/foc/aa)
Jakarta (ANTARA) - Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel menilai visi, misi, program (MVP) pertahanan yang diusung calon presiden (capres) nomor urut 3 Ganjar Pranowo yang disampaikan pada debat ketiga Pilpres 2024 tadi malam lebih canggih dibandingkan Anies Baswedan dan Prabowo Subianto.
“GP (Ganjar Pranowo) mampu mempertontonkan kedahsyatannya karena bab pertahanan pada visi, misi, programnya memang lebih canggih ketimbang MVP ABW (Anies Baswedan) apalagi MVP PS (Prabowo Subianto),” kata Reza di Jakarta, Senin.
Menurut Reza, MVP Anies Baswedan lebih melihat dari berbagai aspek (helicopter view) dan berbagai sudut (multiangle) dari kacamata sosial. Sedangkan Ganjar Pranowo lebih singkat, tapi langsung menjawab tema debat ketiga yang meliputi pertahanan, keamanan, hubungan internasional, globalisasi, geopolitik, dan politik luar negeri.
“Dia (Anies) menyoroti masalah pertahanan dengan kacamata sosial. GP lebih concise (singkat),” katanya.
Akan tetapi, lanjut Reza, Ganjar dan Anies memang komplementer dalam debat tadi malam.
Ia melihat sosok Anies dominan mendestruksi Prabowo dan menawarkan gagasan secukupnya. Sebaliknya, Ganjar dominan menawarkan gagasan dan mendestruksi Prabowo dengan kadar secukupnya.
Selain kesesuaian antara paparan dan dokumen VMP, Reza juga menilai debat ketiga Pilpres 2024 ini dari sisi seberapa jauh penampilan akan mendatangkan manfaat elektoral.
Menurut dia, berdasarkan hasil studi bahwa debat tidak terlalu berdampak bagi perpindahan suara, karena lebih mengokohkan dukungan konstituen pada pihak yang telah dijagokan sejak awal.
Namun, terlepas dari itu, seandainya terjadi pergeseran elektoral, Reza menilai Ganjar akan memperoleh peralihan suara dari capres lain.
“Namun, sebagaimana hasil studi tadi, jumlah peningkatan suara yang GP dapatkan tidak signifikan. Dan suara yang beralih ke GP datang dari mereka yang sebelumnya mendukung PS,” ujarnya.
Analisis lainnya, terkait siapa yang mampu memantik situasi teatrikal di panggung debat tadi malam.
Reza mengatakan bahwa debat presidensial bukanlah ujian masuk perguruan tinggi seperti UMPTN atau Sipenmaru, tapi mengandung drama. Di dalam debat presidensial itu, terdapat kontroversi, emosi, uji nyali.
“Debat semalam sudah semakin mengarah ke situ. Ewuh-pakewuh menipis, komunikasi langsung dan terbuka (frontal) sudah lebih kasat mata. Yang lazim disebut sebagai “adat ketimuran” tak lagi terkecap,” kata Reza mengungkapkan.
Pada tolak ukur ini, kata Reza, penampilan busana Ganjar paling atraktif, jaket pesawat tempur mewakili mantan Gubernur Jawa Tengah dari sisi gestur dan tutur.
Tapi, lanjut dia, drama yang sesungguhnya tercipta berkat Anies Baswedan. Yang menampilkan kombinasi antara intelektualitas dan brutalitas memperlihatkan sisi lain dari mantan Gubernur DKI Jakarta itu.
“Betapa lihai dan kejamnya dia (Anies) memperagakan negative campaign terhadap PS selaku Menhan,” katanya.
Dalam sudut pandang ini, Reza mengingatkan untuk membedakan antara kampanye negatif (negative campaign) dengan kampanye hitam (black campaign).
Ia menjelaskan, ketika Prabowo Subianto menyebut data Anies Baswedan salah semua. Hal ini dilakukan Prabowo yang ingin mengunci persepsi publik bahwa Anies memainkan black campaign. Itu berasosiasi dengan hasutan, kebohongan, fitnah, dan serba-serbi callousness lainnya.
“Tapi karena sebatas menyanggah, tanpa menyajikan data tandingan, maka penilaian PS itu menjadi tak beralasan. Apalagi, ketika di-Google, angka-angka dan ilustrasi “ordal” yang ABW lontarkan ternyata dengan mudahnya terkonfirmasi,” tutur Reza.
Negative compaign alias kampanye yang berfokus pada sisi buruk lawan (namun berbasis data, bukan hoaks) yang Anies demonstrasikan tadi malam, kata Reza, sangat berkelas.
“Dengan strategi itu, di debat sesi tiga, ABW kian berhasil menunjukkan distinct position-nya bahwa ia oposan, ia perubahan,” ujarnya.
Berbeda dengan Ganjar yang dinilainya berdiri di tengah-tengah.
“Tapi siapa yang bisa merawal, andai GP tak lolos ke putaran kedua Pilpres, ke mana gerangan biduk akan dikayuhnya,” lanjuta Reza.
Saksi ahli dalam kasus “kopi sianida” itu juga menilai debat ketiga Pilpres tadi malam dari tolak ukur seberapa jauh narasi yang diangkat oleh capres akan terus bergulir sebagai konten media sosial dan obrolan warganet.
Menurut Reza, Anies menjadi orang yang bertanggungjawab manakala Prabowo Subiantor menjadi bulan-bulanan digital natives Indonesia. Sebab, substansi dan sudut padang Anies tadi malam seolah mendatangkan musim panen bagi para content creator dan warganet.
Ia melihat dalam waktu singkat usai debat ketiga selesai, masif bermunculan pendatang baru berupa cyber troops pangkat sersan dua. Yang menjadikan Prabowo sebagai racikan di alam maya dengan bumbu racikan itu berasal dari Anies.
“Berkat negative campaign-nya, ABW harus ‘bertanggungjawab” manakala PS menjadi bulan-bulanan para netizen hingga hari-hari ke depan,” kata Reza.
Baca juga: TKN sesalkan penyelenggaraan debat jadi ajang serangan personal
Baca juga: Pengamat: Anies masih menjadi raja debat dengan seni adu argumen
“GP (Ganjar Pranowo) mampu mempertontonkan kedahsyatannya karena bab pertahanan pada visi, misi, programnya memang lebih canggih ketimbang MVP ABW (Anies Baswedan) apalagi MVP PS (Prabowo Subianto),” kata Reza di Jakarta, Senin.
Menurut Reza, MVP Anies Baswedan lebih melihat dari berbagai aspek (helicopter view) dan berbagai sudut (multiangle) dari kacamata sosial. Sedangkan Ganjar Pranowo lebih singkat, tapi langsung menjawab tema debat ketiga yang meliputi pertahanan, keamanan, hubungan internasional, globalisasi, geopolitik, dan politik luar negeri.
“Dia (Anies) menyoroti masalah pertahanan dengan kacamata sosial. GP lebih concise (singkat),” katanya.
Akan tetapi, lanjut Reza, Ganjar dan Anies memang komplementer dalam debat tadi malam.
Ia melihat sosok Anies dominan mendestruksi Prabowo dan menawarkan gagasan secukupnya. Sebaliknya, Ganjar dominan menawarkan gagasan dan mendestruksi Prabowo dengan kadar secukupnya.
Selain kesesuaian antara paparan dan dokumen VMP, Reza juga menilai debat ketiga Pilpres 2024 ini dari sisi seberapa jauh penampilan akan mendatangkan manfaat elektoral.
Menurut dia, berdasarkan hasil studi bahwa debat tidak terlalu berdampak bagi perpindahan suara, karena lebih mengokohkan dukungan konstituen pada pihak yang telah dijagokan sejak awal.
Namun, terlepas dari itu, seandainya terjadi pergeseran elektoral, Reza menilai Ganjar akan memperoleh peralihan suara dari capres lain.
“Namun, sebagaimana hasil studi tadi, jumlah peningkatan suara yang GP dapatkan tidak signifikan. Dan suara yang beralih ke GP datang dari mereka yang sebelumnya mendukung PS,” ujarnya.
Analisis lainnya, terkait siapa yang mampu memantik situasi teatrikal di panggung debat tadi malam.
Reza mengatakan bahwa debat presidensial bukanlah ujian masuk perguruan tinggi seperti UMPTN atau Sipenmaru, tapi mengandung drama. Di dalam debat presidensial itu, terdapat kontroversi, emosi, uji nyali.
“Debat semalam sudah semakin mengarah ke situ. Ewuh-pakewuh menipis, komunikasi langsung dan terbuka (frontal) sudah lebih kasat mata. Yang lazim disebut sebagai “adat ketimuran” tak lagi terkecap,” kata Reza mengungkapkan.
Pada tolak ukur ini, kata Reza, penampilan busana Ganjar paling atraktif, jaket pesawat tempur mewakili mantan Gubernur Jawa Tengah dari sisi gestur dan tutur.
Tapi, lanjut dia, drama yang sesungguhnya tercipta berkat Anies Baswedan. Yang menampilkan kombinasi antara intelektualitas dan brutalitas memperlihatkan sisi lain dari mantan Gubernur DKI Jakarta itu.
“Betapa lihai dan kejamnya dia (Anies) memperagakan negative campaign terhadap PS selaku Menhan,” katanya.
Dalam sudut pandang ini, Reza mengingatkan untuk membedakan antara kampanye negatif (negative campaign) dengan kampanye hitam (black campaign).
Ia menjelaskan, ketika Prabowo Subianto menyebut data Anies Baswedan salah semua. Hal ini dilakukan Prabowo yang ingin mengunci persepsi publik bahwa Anies memainkan black campaign. Itu berasosiasi dengan hasutan, kebohongan, fitnah, dan serba-serbi callousness lainnya.
“Tapi karena sebatas menyanggah, tanpa menyajikan data tandingan, maka penilaian PS itu menjadi tak beralasan. Apalagi, ketika di-Google, angka-angka dan ilustrasi “ordal” yang ABW lontarkan ternyata dengan mudahnya terkonfirmasi,” tutur Reza.
Negative compaign alias kampanye yang berfokus pada sisi buruk lawan (namun berbasis data, bukan hoaks) yang Anies demonstrasikan tadi malam, kata Reza, sangat berkelas.
“Dengan strategi itu, di debat sesi tiga, ABW kian berhasil menunjukkan distinct position-nya bahwa ia oposan, ia perubahan,” ujarnya.
Berbeda dengan Ganjar yang dinilainya berdiri di tengah-tengah.
“Tapi siapa yang bisa merawal, andai GP tak lolos ke putaran kedua Pilpres, ke mana gerangan biduk akan dikayuhnya,” lanjuta Reza.
Saksi ahli dalam kasus “kopi sianida” itu juga menilai debat ketiga Pilpres tadi malam dari tolak ukur seberapa jauh narasi yang diangkat oleh capres akan terus bergulir sebagai konten media sosial dan obrolan warganet.
Menurut Reza, Anies menjadi orang yang bertanggungjawab manakala Prabowo Subiantor menjadi bulan-bulanan digital natives Indonesia. Sebab, substansi dan sudut padang Anies tadi malam seolah mendatangkan musim panen bagi para content creator dan warganet.
Ia melihat dalam waktu singkat usai debat ketiga selesai, masif bermunculan pendatang baru berupa cyber troops pangkat sersan dua. Yang menjadikan Prabowo sebagai racikan di alam maya dengan bumbu racikan itu berasal dari Anies.
“Berkat negative campaign-nya, ABW harus ‘bertanggungjawab” manakala PS menjadi bulan-bulanan para netizen hingga hari-hari ke depan,” kata Reza.
Baca juga: TKN sesalkan penyelenggaraan debat jadi ajang serangan personal
Baca juga: Pengamat: Anies masih menjadi raja debat dengan seni adu argumen
Pewarta: Laily Rahmawaty
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2024
Tags: