Bondowoso (ANTARA) - Sore menjelang magrib, di ruang rehat satu kantor di tengah Kota Surabaya, empat karyawan saling menebar tawa dalam diskusi mengenai pemilihan umum, khususnya Pilpres 2024.

"Aku tidak milih presiden, tapi milih wapresnya," ujar Cancan, sambil memeragakan gerak tubuh cawapres yang dia dukung.

Fifi yang berbeda pilihan pasangan calon dengan Cancan ikut tertawa dan menimpali bahwa capres dan cawapres yang didukungnya lebih layak untuk dipilih saat hari pencoblosan, Rabu, 24 Februari 2024.

Tak mau ketinggalan, Lilik yang juga berbeda pilihan dengan Cancan dan Fifi menimpali bahwa calon yang dia dukung adalah yang terbaik. Karyawan yang satu orang lagi akhirnya ikut tertawa.

Rupanya, bukan hanya pada Pemilu 2024 ini mereka berbeda pilihan. Pada Pemilu 2014 dan Pemilu 2019 juga demikian. Hanya, mereka tidak pernah menyikapi perbedaan pilihan itu dengan perilaku berlebihan.

Mereka tetap bekerja sama dengan nyaman dan santai, meskipun sering kali terlibat adu argumentasi, bahkan "ilok-ilokan" (saling mengolok) mengenai calon presiden dan calon wakil presiden yang tidak didukungnya. "Ilok-ilokan" itu tidak lantas meninggalkan bekas menyakitkan.

Bagi mereka, nilai persaudaraan adalah abadi sehingga sangat rugi kalau dirusak oleh momen politik yang hanya terjadi 5 tahun sekali.

"Perselisihan" dalam suasana persaudaraan yang ditampilkan oleh Cacan, Fifi, dan Lilik ini akan sangat indah kalau spiritnya menyebar ke tempat lain atau komunitas lain di kota-kota atau di desa-desa sehingga ajang pemilu menjadi momen yang betul-betul menampilkan wajah sebuah pesta. Pesta demokrasi. Merayakan perbedaan dalam kegembiraan.

Sangat tidak elok kalau pesta justru menimbulkan suasana gaduh dan saling bermusuhan di antara para pihak yang sedang berpesta.

Dalam istilah yang populer di masyarakat disebutkan bahwa menyikapi masalah politik itu hendaknya hanya ada di pikiran dan mulut, jangan sampai jatuh ke dada, apalagi ke hati.

Maksudnya, jika kita mendapati orang lain berbeda pilihan, cukup masuk di pikiran dan mulut dalam bentuk perbincangan bahwa calon yang kita dukung memiliki kualitas bagus. Kalau orang lain tidak setuju, ya jangan dimasukkan ke hati.

Demikian pula jika ada orang lain yang "menawarkan" calon pasangan yang menurutnya baik, namun kita tidak sepilihan, ya tidak perlu berdebat, hingga menimbulkan kemarahan, gara-gara semua itu dimasukkan ke hati atau perasaan.

Menyikapi perbedaan pilihan politik menjelang pemilu memang membutuhkan kedewasaan berpikir dan bersikap sehingga nilai kebersamaan dan persaudaraan di masyarakat tetap terpelihara.

Bukankah syarat ikut dalam pemilu itu adalah kedewasaan? Syarat untuk memilih dan dipilih adalah usia minima 17 tahun. Menurut psikologi, 17 adalah angka umur yang sudah memasuki fase dewasa.

Meskipun demikian, praktik bersikap dewasa tidak bisa hanya diukur dengan umur 17 tahun ke atas. Karena itu, menyikapi perbedaan pilihan menjelang pemilu merupakan momen mengecek, apakah secara hakikat kita sudah dewasa atau belum.

Untuk menjaga kedewasaan berpikir dan bersikap dewasa secara kolektif, maka berhati-hatilah kita dalam tempat dan waktu apa pun agar tidak memancing kemarahan pihak lain yang mungkin berbeda pilihan.

Secara psikologi, setiap orang, sedewasa apa pun jiwa dan sikapnya, pasti memiliki rasa kekanak-kanakan yang potensi itu bisa muncul sewaktu-waktu, apalagi jika berhadapan dengan pemicu super-serius, termasuk terkait dukungan politik untuk calon pemimpin negara.

Jiwa kanak-kanak yang bersemayam di tubuh orang dewasa itu bisa meletup atau teraktualkan hingga menimbulkan permusuhan atau pertengkaran.

Di komunitas sosial, kita perlu menjaga saat mempromosikan calon presiden dan calon wakil presiden yang kita dukung, lebih-lebih ketika menceritakan kekurangan pihak lawan. Demikian juga di ranah media sosial, yang secara kejiwaan, orang begitu mudah membagikan informasi negatif tentang seseorang tanpa berpikir ada yang tersinggung dengan isi sebaran informasi tersebut.

Bangsa Indonesia sangat beruntung diwarisi "azimat" bernilai agung oleh para leluhur berupa Pancasila. Nilai persatuan dalam Pancasila harus kita jaga bersama kesuciannya.

Pemilu 2024, kita akan memilih calon anggota legislatif dari dewan perwakilan rakyat, baik untuk DPRD kota atau kabupaten, provinsi, hingga DPR RI, dan memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Selain itu kita juga akan memilih calon presiden beserta calon wakil presiden.

Untuk capres dan cawapres, KPU sudah menetapkan tiga pasangan calon, yakni Anies Baswedan dengan Abdul Muhaimin Iskandar (1), Prabowo Subianto dengan Gibran Rakabuming Raka (2), dan pasangan Ganjar Pranowo dengan Mahfud Md. (3).

Ketiga pasangan calon itu adalah manusia-manusia pilihan yang diseleksi oleh partai politik dan gabungan partai politik.

Agar kepala tetap dingin dan hati tetap teduh, siapa pun yang terpilih, mereka adalah pemimpin dengan kualitas bagus, meskipun sangat mungkin ada beberapa aspek yang tidak bisa kita terima.

Selain itu, untuk menjadi pemimpin sebuah negara, apalagi sebesar Indonesia, ada skenario Tuhan yang seringkali kita lupakan. Jangan urusan pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilihan ketua rukun tetangga (RT) dan rukun warga (RW) saja, pasti terjadi karena ada kehendak Tuhan, yang harus kita terima setelah kita berjuang untuk memenangkan calon pilihan kita.

Karena itu, mari kita sikapi dan hadapi Pilpres 2024 dengan riang gembira dan selalu menjaga persaudaraan.



Editor: Achmad Zaenal M