Jakarta (ANTARA) - Pengamat militer Al Araf menilai praktik politik demokratis hampir sulit diwujudkan selama penyelenggaraan Pemilu Serentak 2024 karena banyaknya peristiwa yang berlawanan dengan regulasi berlaku di Tanah Air.

"Menurut saya, politik pemilu demokratis sudah hampir sulit diraih dalam Pemilu 2024 karena ada instrumen kekuasaan yang akan menggunakan instrumen lain dalam pertarungan," kata Al Araf dalam diskusi publik bertajuk "Knalpot Brong Vs Tentara" di Jakarta, Kamis (4/1).

Dia menyoroti terdapat banyak kejadian yang sebenarnya melanggar hukum, tetapi tidak dituntaskan dengan baik oleh Pemerintah.

Pertama ialah kehadiran ajudan Prabowo Subianto, Mayor Teddy Indra Wijaya, yang merupakan anggota aktif TNI, dalam debat pertama capres Pemilu 2024 di KPU RI, Jakarta, Selasa, 12 Desember 2023.

Baca juga: JPPR: Bawaslu DKI bisa beri rekomendasi sanksi untuk Gibran

Menurut dia, kasus kehadiran ajudan Prabowo itu tidak rasional dan melanggar peraturan karena. Jika dilihat dari undang-undang mana pun, kata Al Araf, kehadiran Teddy tetap terbukti melanggar aturan TNI dan Polri yang tidak boleh terlibat dalam politik praktis.

Kalau dia menemani Prabowo di agenda lain sebagai ajudan, tidak masalah; tetapi ini lagi debat kandidat (Pilpres 2024). Di situ, semua orang menonton, pengamanan pemilu dari KPU dalam debat juga sudah banyak sekali, mulai dari polisi, dilapisi lagi pengamanan di dalam; memang kurang apa sampai ajudannya juga di sana?" katanya.

Masalah kedua yakni soal Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo, maju menjadi pendamping Prabowo.

Dia menyoroti majunya Gibran, yang juga wali kota Surakarta, benar-benar "menelanjangi" Mahkamah Konstitusi (MK) secara terang-terangan karena membuat sebuah putusan jelas cacat hukum.

Baca juga: TKN sebut Prabowo-Gibran akan turunkan PPN pada 2025

Masalah ketiga ialah soal peristiwa penganiayaan oknum TNI Angkatan Darat kepada relawan Ganjar-Mahfud saat kampanye di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu.

Araf menduga ada dugaan kekerasan politik di dalamnya dibandingkan sekadar mempermasalahkan soal knalpot bising atau brong saja.

"Sekarang ini, yang harus didorong adalah Komnas HAM-nya, jangan diam saja, tidak tahu. Jangan ketularan Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) yang menurut saya sulit untuk bisa diharapkan mengawasi pemilu," kata ketua Badan Pengurus Centra Initiative itu.

Baca juga: Pengamat sesalkan TNI tak koordinasi ke polisi terkait relawan Ganjar

Sementara itu, pengamat soal pertahanan, militer, dan intelijen Connie Rahakundini Bakrie menambahkan kemunculan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres juga "mempermalukan" institusi MK.

Hal itu karena aturan yang disahkan melalui Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 menyatakan batas usia minimal capres dan cawapres paling rendah 40 tahun atau pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah.

Connie menilai putusan MK itu problematik dan tidak netral, karena jelas ada kepentingan pihak tertentu di situ.

Terkait masalah Mayor Teddy di debat capres-cawapres, Connie menyayangkan panglima TNI dan Bawaslu sama-sama enggan mengakui bahwa duduknya ajudan Prabowo itu di deretan pendukung capres nomor urut dua tersebut sudah jelas melanggar hukum karena dari cara berpakaiannya sama dengan relawan.

"Saya yakin betul bahwa yuristokrasi itu berbahaya. Karena itulah, memang presiden, sekali lagi saya sarankan, presiden cuti saja atau Mas Gibran dibatalkan jadi cawapres kan masih ada waktu sekitar 42 hari lagi," ujar Connie.

Baca juga: Pakar minta aparat hukum perbaiki aturan soal knalpot bising