Jakarta (ANTARA) - Keberagaman menjadi salah satu harta kekayaan Indonesia, baik dari segi sumber daya alam, budaya, hingga keyakinan beragama. Dalam menyikapi keberagaman itu, kebijaksanaan komunikasi umat menjadi suatu keniscayaan, agar tiap individu maupun kelompok, dapat saling memahami dan tumbuh toleransi, sehingga terwujud kondisi masyarakat yang inklusif.

Ketua Umum Persatuan Umat Buddha Indonesia (Permabudhi) Philip K Wijaya meyakini sikap saling memahami itu dalam menjalani perannya sebagai pemimpin salah satu kelompok umat beragama. Bagi Philip, komunikasi menjadi salah satu pilar utama yang harus dibangun dalam menjaga ketenteraman antarumat beragama di Indonesia.

Dia percaya kondisi masyarakat saat ini terbilang berada dalam situasi inklusivitas yang baik.Meskipun demikian, tetap dibutuhkan upaya yang berkelanjutan untuk mempertahankan kondisi tersebut.

Dalam konteks itulah komunikasi antaragama (para tokohnya) berperan menjadi fondasi yang kuat, yang diyakini dapat membentuk masyarakat yang saling kenal, memahami, dan tumbuh dalam persahabatan serta penuh rasa toleran. Selangkah lebih jauh, komunikasi yang baik dapat berkembang menjadi saling menghormati, bahkan mencapai tingkat kerja sama dan perasaan saling merangkul.

Terlebih, perbedaan keyakinan terkadang menjadi sumber ketegangan dan konflik dalam masyarakat. Oleh karena itu, inisiatif untuk mendekatkan umat beragama menjadi langkah penting dalam membangun fondasi inklusivitas di kalangan masyarakat.

“Butuh komunikasi antaragama, agar saling kenal, saling memahami, lanjut tumbuh persahabatan dan toleransi yang kemudian berkembang menjadi saling menghormati,” ujar dia, menegaskan.

Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mewujudkan keharmonisan komunikasi itu ialah melalui sarana pertemuan bersama, seperti melalui Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan sejenisnya. Pertemuan para anggota, yang seyogianya juga dihadiri oleh para tokoh pemimpin agama, dapat memfasilitasi ruang diskusi yang harapannya menjadi fundamen kuat untuk memperkukuh keserasian antarumat.

Philip menggarisbawahi pentingnya peran tokoh pemimpin agama dalam upaya membangun inklusivitas antarumat beragama. Para tokoh atau pemimpin agama memiliki kekuatan yang memadai untuk menggerakkan umatnya, yang berarti mampu untuk membuat umat bisa selalu menghargai kelompok umat lainnya.

Namun, upaya ini membutuhkan niat yang tulus dari setiap pihak. Tanpa niat yang sungguh-sungguh, komunikasi hanya akan menjadi basa-basi belaka, tak memiliki makna.

Selain niat yang tulus, kondisi kehidupan yang memadai juga menjadi variabel penting dalam menentukan keselarasan antarumat. Keadaan sosial yang terjaga, bukan dalam kondisi kelaparan dan tidak terus-menerus disulut provokator, akan memberikan ruang bagi komunikasi yang sehat dan konstruktif di masyarakat.

Peran pemerintah juga menjadi krusial dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi inklusivitas. Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk memberi contoh keteladanan dan merespons dengan cepat ketika muncul konflik.

“Pemerintah perlu ikut memfasilitasi dan menyebarkan pemahaman, memberi contoh keteladanan, dan cepat tanggap bila ada konflik,” ujar pemimpin Permabudhi itu.

Bagaimanapun, lanjut Philip, kondisi inklusif yang telah tercipta saat ini harus dipertahankan terus-menerus dan ditingkatkan. Meskipun ada kemajuan dalam komunikasi antaragama, masih banyak FKUB yang harus berjuang sendiri tanpa dukungan yang memadai.

Oleh karena itu, perlu ada sinergi antara pemerintah, tokoh agama, dan masyarakat untuk menjaga dan meningkatkan kondisi inklusivitas ini.

Umat Buddha sendiri, sambung dia, pada dasarnya tidak mudah tersulut perbedaan, lantaran ajaran agamanya yang tidak eksklusif.

Kendati demikian, hal ini tidak berarti bahwa komunikasi antaragama tidak diperlukan. Para tokoh agama Buddha perlu terus mengingatkan umatnya untuk membuka diri dalam berkomunikasi dengan pihak lain, meningkatkan kepedulian kepada sesama, dan mewujudkan ajaran agama yang penuh kasih dan damai.

Dalam konteks itulah Permabudhi berupaya menjalankan aksi yang nyata. Dengan melibatkan 34 pengurus tingkat provinsi, di luar provinsi baru di Papua, serta banyak pengurus tingkat kota dan kabupaten, Permabudhi secara terus-menerus berupaya untuk membangun komunikasi yang baik antarumat beragama.

Permabudhi kerap menyelenggarakan majelis untuk umat yang tergabung dalam organisasi itu. Upaya itu menjadi salah satu langkah konkret yang diambil untuk memperkuat kerukunan antarumat beragama.

Selain itu, Permabudhi juga aktif menggandeng pemerintah dan agama lain untuk bersama-sama meningkatkan kerukunan. Sinergi ini merupakan modal penting untuk menciptakan masyarakat yang inklusif.

Meski begitu, Philip mengakui bahwa tantangan tetap ada, terutama di tingkat lokal, di mana FKUB seringkali harus menghadapi tekanan dan konflik, tanpa dukungan yang memadai.

Oleh sebab itu, ke depan, dia mendorong semua pihak untuk memikirkan nasib rakyat secara keseluruhan, bukan hanya kepentingan kelompok tertentu. Semangat untuk berkolaborasi demi Indonesia, sepatutnya menjadi panduan dalam setiap tindakan. Tidak boleh ada pihak atau golongan yang hanya memperhatikan kepentingan kelompoknya sendiri.

Sebaliknya, langkah-langkah konkret dan kolaboratif harus diambil untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh masyarakat.

Dengan menjaga dan menguatkan komunikasi antarumat beragama, serta melibatkan pemerintah dan masyarakat secara aktif, harapan untuk menciptakan masyarakat yang inklusif bukanlah impian belaka.

Itu adalah tantangan nyata yang memerlukan kerja keras, niat tulus, dan kolaborasi bersama. Dengan langkah-langkah konkret dan kepedulian dari semua pihak, Indonesia dapat menjadi contoh bagi negara-negara lain dalam membangun masyarakat yang inklusif, damai, dan harmonis.