Komnas: penembakan terduga teroris Tulungagung langgar HAM
4 Agustus 2013 16:30 WIB
Tim Identifikasi Polres Tulungagung melakukan olah Tempat Kejadian Perkara penyergapan terduga teroris di Jalan Pahlawan Tulungagung, Jawa timur, Senin (22/7). (ANTARA/Sahlan Kurniawan)
Tulungagung (ANTARA News) - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menemukan dugaan pelanggaran HAM dalam kasus penembakan dua terduga teroris jaringan Poso di Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur yang terjadi pada Senin 22 Juli.
Komisioner Komnas HAM, Siane Indriani, setelah melakukan investigasi di Kabupaten Tulungagung dan Lamongan, Minggu, menyatakan pihaknya menemukan fakta bahwa Densus 88/Antiteror melakukan penembakan terhadap dua terduga teroris saat itu dalam kondisi tidak berdaya.
"Kami sangat menyesalkan tindakan extra judicial killing oleh aparat kepolisian, karena ini sudah berulang kali dengan korban yang sudah tidak berdaya," katanya kepada Antara.
Ia menyebut aksi oleh tim Densus sebagai keputusan yang berlebihan dan melanggar HAM, karena dari sisi penanggulangan terorisme justru merugikan pengungkapan kasus yang sebenarnya.
Selain itu, lanjut dia, tindakan kejam tersebut berpotensi menimbulkan dendam karena mengalami stigmatisasi serta trauma yang mendalam bagi sanak keluarga korban. "Padahal mereka belum tentu bersalah," ujarnya.
Menurut dia, Komnas HAM telah berkali-kali mengingatkan kepada aparat kepolisian agar berhati-hati dalam melakukan penanganan kasus terorisme.
Siane Indriyani bersama tim investigasi melakukan penyelidikan dengan teknik wawancara ke Desa Gambiran dan Penjor, Kecamatan Pagerwojo, Kabupaten Tulungagung, dengan didampingi sejumlah Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Tulungagung.
Hasilnya, Komnas HAM menemukan adanya kejanggalan terhadap proses penembakan mati terhadap dua terduga teroris M Hidayah atau Dayah alias Kim dan Rizal atau Eko di Jalan Pahlawan, Kota Tulungagung pada 22 Juli 2013 oleh sekitar sepuluh personel Densus 88 Antiteror.
"Saat kejadian, Rizal dan Dayah baru turun dari motor boncengan sepeda motor Sapari dan Mugi Hartanto di sebuah halte di jalan Pahlawan, Kota Tulungagung," katanya.
Mereka membawa dua kardus mi instan berisi pakaian dan buku-buku milik Rizal.
Namun baru beberapa saat berdiri di pinggir trotoar halte bus, tiba-tiba mereka diserang oleh sekitar sepuluh personel Densus 88 berpakaian preman yang muncul dari dua mobil.
Para anggota Densus langsung menghamburkan tembakan ke arah Rizal dan Dayah.
"Rizal yang telah terkena tembakan di dadanya sempat mencoba lari, tetapi langsung ditembak lagi hingga tewas di tempat. Sementara Dayah ditembak di kepala di teras rumah yang ada di belakang halte. Proses penyergapan hingga penembakan berlangsung hanya sekitar 7 menit," ungkap Siane.
Setelah dipastikan tewas, kedua korban kemudian diangkut ke dalam mobil, sementara dua lainnya (Sapari dan Mugi Hartanto yang belakangan dilepas lagi karena tidak terbukti terlibat terorisme) diikat tangan kakinya, juga ikut dinaikkan ke mobil terpisah.
Selama di mobil, lanjut Siane, kaki Sapari sempat merasakan ada tubuh salah satu korban tewas ditidurkan di bawah jok.
Selama tiga bulan sebelum peristiwa penembakan terduga teroris warga Desa Penjor dan Gambiran mengaku merasakan ada kejanggalan seiring kemunculan sejumlah pria yang menyamar sebagai gelandangan, orang gila, maupun pengusaha pendirian menara telekomunikasi.
Belakangan, warga mencurigai mereka adalah anggota intelijen kepolisian atau Densus 88 yang menyamar.
Siane juga menyoroti penangkapan dua pengurus Muhammadiyah Tulungagung, Mugi Hartanto (Ketua PDM Muhammadiyah) dan Sapari (pimpinan ranting Muhammadiyah).
Menurut dia, Densus seharusnya sudah bisa mengidentifikasi peran Sapari dan Mugi sehingga tidak terjadi salah tangkap, apalagi ditahan selama tujuh hari.
Menurut data Komnas HAM, sejauh ini sudah sekitar 110 korban yang ditembak mati Densus 88/Antiteror tanpa proses pengadilan.
Komisioner Komnas HAM, Siane Indriani, setelah melakukan investigasi di Kabupaten Tulungagung dan Lamongan, Minggu, menyatakan pihaknya menemukan fakta bahwa Densus 88/Antiteror melakukan penembakan terhadap dua terduga teroris saat itu dalam kondisi tidak berdaya.
"Kami sangat menyesalkan tindakan extra judicial killing oleh aparat kepolisian, karena ini sudah berulang kali dengan korban yang sudah tidak berdaya," katanya kepada Antara.
Ia menyebut aksi oleh tim Densus sebagai keputusan yang berlebihan dan melanggar HAM, karena dari sisi penanggulangan terorisme justru merugikan pengungkapan kasus yang sebenarnya.
Selain itu, lanjut dia, tindakan kejam tersebut berpotensi menimbulkan dendam karena mengalami stigmatisasi serta trauma yang mendalam bagi sanak keluarga korban. "Padahal mereka belum tentu bersalah," ujarnya.
Menurut dia, Komnas HAM telah berkali-kali mengingatkan kepada aparat kepolisian agar berhati-hati dalam melakukan penanganan kasus terorisme.
Siane Indriyani bersama tim investigasi melakukan penyelidikan dengan teknik wawancara ke Desa Gambiran dan Penjor, Kecamatan Pagerwojo, Kabupaten Tulungagung, dengan didampingi sejumlah Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Tulungagung.
Hasilnya, Komnas HAM menemukan adanya kejanggalan terhadap proses penembakan mati terhadap dua terduga teroris M Hidayah atau Dayah alias Kim dan Rizal atau Eko di Jalan Pahlawan, Kota Tulungagung pada 22 Juli 2013 oleh sekitar sepuluh personel Densus 88 Antiteror.
"Saat kejadian, Rizal dan Dayah baru turun dari motor boncengan sepeda motor Sapari dan Mugi Hartanto di sebuah halte di jalan Pahlawan, Kota Tulungagung," katanya.
Mereka membawa dua kardus mi instan berisi pakaian dan buku-buku milik Rizal.
Namun baru beberapa saat berdiri di pinggir trotoar halte bus, tiba-tiba mereka diserang oleh sekitar sepuluh personel Densus 88 berpakaian preman yang muncul dari dua mobil.
Para anggota Densus langsung menghamburkan tembakan ke arah Rizal dan Dayah.
"Rizal yang telah terkena tembakan di dadanya sempat mencoba lari, tetapi langsung ditembak lagi hingga tewas di tempat. Sementara Dayah ditembak di kepala di teras rumah yang ada di belakang halte. Proses penyergapan hingga penembakan berlangsung hanya sekitar 7 menit," ungkap Siane.
Setelah dipastikan tewas, kedua korban kemudian diangkut ke dalam mobil, sementara dua lainnya (Sapari dan Mugi Hartanto yang belakangan dilepas lagi karena tidak terbukti terlibat terorisme) diikat tangan kakinya, juga ikut dinaikkan ke mobil terpisah.
Selama di mobil, lanjut Siane, kaki Sapari sempat merasakan ada tubuh salah satu korban tewas ditidurkan di bawah jok.
Selama tiga bulan sebelum peristiwa penembakan terduga teroris warga Desa Penjor dan Gambiran mengaku merasakan ada kejanggalan seiring kemunculan sejumlah pria yang menyamar sebagai gelandangan, orang gila, maupun pengusaha pendirian menara telekomunikasi.
Belakangan, warga mencurigai mereka adalah anggota intelijen kepolisian atau Densus 88 yang menyamar.
Siane juga menyoroti penangkapan dua pengurus Muhammadiyah Tulungagung, Mugi Hartanto (Ketua PDM Muhammadiyah) dan Sapari (pimpinan ranting Muhammadiyah).
Menurut dia, Densus seharusnya sudah bisa mengidentifikasi peran Sapari dan Mugi sehingga tidak terjadi salah tangkap, apalagi ditahan selama tujuh hari.
Menurut data Komnas HAM, sejauh ini sudah sekitar 110 korban yang ditembak mati Densus 88/Antiteror tanpa proses pengadilan.
Pewarta: Slamet Agus Sudarmojo
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2013
Tags: