Merak, Banten (ANTARA News) - Mantan presiden Megawati Soekarnoputri boleh berbangga dengan Jembatan Suramadu karena jembatan terpanjang di Indonesia itu adalah "warisan" pemerintahannya.
Betapa tidak, walaupun bukan dirinya yang meresmikan pembukaannya, tapi Megawati-lah yang pada 20 Agustus 2003 melakukan pemancangan tiang pertama pembangunan jembatan sepanjang 5.438 meter yang menghubungkan Pulau Jawa dan Madura itu.
Baru, setelah enam tahun berjalan, jembatan yang pembangunannya menelan biaya lebih dari empat triliun rupiah itu rampung dan pembukaannya diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 10 Juni 2009.
Akankah Presiden Yudhoyono mengikuti langkah Megawati terkait dengan rencana pembangunan Jembatan Selat Sunda (JSS) di mana "ground breaking" infrastruktur yang menghubungkan Pulau Jawa dan Sumatera itu ditargetkan berlangsung pada 2014?
Presiden Yudhoyono sendiri telah mengisyaratkan keberlanjutan rencana pembangunan jembatan sepanjang 29 kilometer itu. Bahkan, pembahasan nasib mega proyek senilai Rp200 triliun itu pun mengalami kemajuan.
Kemajuannya antara lain ditandai dengan adanya usul Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto tentang penyatuan konsorsium BUMN dan pemrakarsa pembangunan JSS, PT Graha Banten Lampung Sejahtera (GBLS), dalam membuat studi kelayakan JSS.
Pengombinasian BUMN dan GBLS itu diharapkan dapat membangun sinergitas sehingga target "ground breaking" (pemancangan tiang pertama -red.) pembangunan JSS pada akhir 2014 dapat dilaksanakan, kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa di Jakarta 8 Juli lalu.
Wacana tentang jembatan yang menghubungkan Pulau Jawa dan Sumatera itu bukanlah hal baru karena Prof.Sedyatmo dari Institut Teknologi Bandung (ITB) sudah mengusulkan apa yang disebut Tri Nusa Bimasakti atau keterhubungan Pulau Jawa, Sumatera, dan Bali pada 1960.
Joko Surono dalam laporan kajian akademisnya berjudul "Tinjauan politik Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2011 tentang Pengembangan Kawasan Strategis dan Infrastruktur Selat Sunda" menuliskan tahapan perkembangan gagasan hingga sampai pada sejumlah langkah pemerintah terkait JSS ini.
Dalam laporan itu terungkap bahwa usul Prof Sedyatmo tahun 1960 itu diikuti dengan instruksi Presiden Soekarno kepada ITB untuk melakukan "uji coba desain penghubung Selat Sunda" pada 1965.
Seterusnya di era Orde Baru, Presiden Soeharto menunjuk BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) untuk melakukan studi tentang Tri Nusa Bimasakti itu pada 1986.
Dua puluh tiga tahun setelah penugasan Presiden Soeharto kepada BPPT itu, di era pemerintahan Presiden Yudhoyono, gagasan pembangunan JSS ditindaklanjuti oleh pihak swasta maupun pemerintah dengan kajian prastudi kelayakan dan penerbitan keputusan presiden.
Joko Surono lebih lanjut menuliskan bahwa pada 2009 itu, PT Bangungraha Sejahtera Mulia (BSM) bersama Pemerintah Provinsi Lampung dan Banten menyampaikan apa yang disebut "pra-feasibility study JSS" dan pemerintah mengeluarkan Kepres No.36 Tahun 2009 tentang Pembentukan Tim Nas JSS pada 28 Desember 2009.
Tahun berikutnya, terbit Kepmenko No. KEP-29/M.EKON/05/2010 tentang Pembentukan Sekretariat dan Kelompok Kerja Tim Nas pada 25 Mei 2010 dan Kepmen PU No.584/KPTS/M/201 tentang Penetapan Susunan Sekretariat, Anggota, Sunsunan Anggota serta Tugas Kelompok Kerja dan Eksekutif Sekretariat Tim Nas (26 Nov 2010).
Pada 2011, dikeluarkan Peraturan Presiden No.86 tentang Pengembangan Kawasan Strategis dan Infrastruktur Selat Sunda di mana disinggung berbagai hal seperti ruang lingkup dan langkah pengembangan kawasan strategis serta perihal badan pengembangan, pelaksanaan proyek pengembangan maupun masalah dukungan dan jaminan.
Dalam perkembangannya, inisiator pembangunan JSS, Artha Graha Network, telah pun mendapat restu pemerintah untuk menyusun studi kelayakan tentang pengembangan kawasan dan infrastruktur Selat Sunda, dan diberi hak pengelolaan kawasan di Banten dan Lampung.
Dilihat dari konstelasi ekonomi dunia, menurut kajian akademis Poernomosidhi Poerwo (tenaga ahli fungsional Ditjen Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum), adanya akses JSS membuat pengaruh Pulau Jawa dan Sumatera terhadap geoekonomi dunia "akan sangat signifikan".
Signifikansi kehadiran jembatan tersebut bagi penguatan posisi Jawa dan Sumatera dalam kontelasi ekonomi dunia itu terutama dirasakan sektor industri jasa pariwisata serta transportasi lintas kawasan Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dan bahkan Asia-Australasia, katanya.
Dipandang dari kepentingan angkutan manusia, barang dan jasa antara Jawa dan Sumatera, kehadiran JSS itu akan memberikan para pengendara pilihan yang tidak bergantung pada "pengaruh cuaca dan waktu", katanya.
Pembangunan Jembatan Selat Sunda itu, menurut Poernomosidhi Poerwo, juga akan mendorong distribusi pengembangan kegiatan industri ke sejumlah provinsi di Sumatera dari yang selama ini terkonsentrasi di Jawa.
Dengan mempertimbangkan berbagai nilai positif kehadiran JSS bagi masyarakat di Banten dan Sumatera itu, berbagai langkah yang sudah diambil pemerintah bersama para pemangku kepentingan yang lain layak diapresiasi.
Namun langkah Presiden Yudhoyono menuntaskan rencana pembangunan JSS itu sehingga tercatat dalam sejarah Indonesia sebagai bagian dari "warisan" pemerintahannya dinanti banyak orang, termasuk ratusan ribu pemudik yang setiap tahun memadati Pelabuhan Merak-Bakauheni.
Menanti Jembatan Selat Sunda sebagai warisan SBY
3 Agustus 2013 09:58 WIB
Jembatan Selat Sunda (JSS) (istimewa)
Oleh Rahmad Nasution
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2013
Tags: