"Sekarang dibersihkan karena nanti malam ada tabur bunga dan menyalakan lilin," kata Flora, peziarah saat ditemui di Pemakaman Gereja Tugu, Jakarta Utara, Minggu.
Flora datang ke sana dengan anak laki-lakinya. Dia bolak-balik mengangkut air dari bak yang hanya lima langkah dari makam keluarganya.
Baca juga: Pesan Natal, Wapres ajak umat Nasrani doakan perdamaian dunia
Kawasan itu dipayungi oleh pepohonan dikotil berukuran besar dan berdaun lebar yang menciptakan suasana teduh.
Pendeta Eddy Rudolf Rade mengatakan dalam perayaan Natal ada dua kegiatan yang saling berkaitan yaitu ibadah dan tradisi nyekar.
Tradisi itu dilakukan oleh warga Kampung Tugu. Setiap malam Natal, sejak sore hari mendekati remang-remang, mereka membawa lilin dan meletakkannya di atas makam sembari menaburkan bunga.
Baca juga: GPIB Immanuel Jakarta sampaikan pesan Natal kedepankan kerukunan
Bangunan Gereja Tugu yang saat ini berdiri bukan merupakan bangunan pertama dari Gereja Tugu.
Ketika orang-orang Tugu tiba di Kampung Tugu pada tahun 1661, ibadah mereka masih dilayani oleh Jemaat Portugis di Jakarta (sekarang Gereja Sion).
Baca juga: Anies berpesan kepada masyarakat untuk merawat persatuan
Gereja Tugu kedua dibangun pada tahun 1738 untuk menggantikan gedung gereja pertama yang sudah rusak.
Pada 1740 bangunan gedung Gereja Tugu tahap II mengalami kerusakan saat terjadi pemberontakan etnis Tionghoa (China Onlusten) dan pembantaian orang-orang Tionghoa di Batavia, saat Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier berkuasa di Batavia pada 1737–1741.
Pada tahun 1737 renovasi Gereja Tugu kembali dilakukan di bawah pimpinan Pendeta Van De Tydt yang dibantu oleh pendeta keturunan Portugis kelahiran Lisabon bernama Ferreira d’Almeida dan orang-orang Mardijkers.
Baca juga: Kondisi Gereja Tugu Memprihatinkan