Jakarta (ANTARA News) - Menjalankan ibadah puasa Ramadhan di negara yang mayoritas penduduknya bukan muslim seperti Negeri Ginseng, Korea Selatan, memiliki tantangan tersendiri.

Setidaknya itu yang dirasakan oleh Maya Widiarini, yang sedang mengambil program master di Universitas Kyunghee, Seoul.

Ia tidak bisa merasakan kemeriahan suasana Ramadhan di negeri yang meliputi bagian selatan Semenanjung Korea itu. Ia juga harus berpuasa dua jam lebih lama dari saudara-saudara seiman di Tanah Air karena tahun ini Ramadhan tiba pada musim panas di Korea.


"Puasa dari pukul 03.00 sampai 20.00, apalagi humidity tinggi banget, panasnya kayak dipanggang," kata Maya.




Dia juga hanya bisa shalat Tarawih sendirian selama Ramadhan."Tarawih juga tarawih sendiri, masih baca Al Quran juga alhamdulillah," katanya.





Selain itu tentunya dia tidak bisa menikmati hidangan-hidangan yang biasa tersedia kala bulan puasa di Tanah Air.

Dia hanya bisa melepas rindu pada hidangan Indonesia pada acara buka bersama yang diadakan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) setiap Sabtu.




"Alhamdulillah bisa makan makanan Indonesia plus kolak seminggu sekali," kata mahasiswi yang akan menjadi bagian dari Pasukan Pengibar Bendera di KBRI setempat pada peringatan 17 Agustus mendatang.




Sebagai bagian dari kaum minoritas yang menunaikan ibadah yang tidak dikenal luas di negara seperti Korea, kadang Maya membuat heran orang di sekitarnya.




"Orang-orang merasa aneh banget, masa enggak makan dan enggak minum selama 15 jam lebih," katanya.

Namun perempuan berjilbab itu tidak ambil pusing. "Lumayan jadi irit biaya hidup (juga) kan," selorohnya.