Bogor (ANTARA News) - Perilaku peternak di Indonesia umumnya masih berbasis investasi dan tidak fokus pada tujuan bisnis, akibatnya mereka tidak memprediksi kebutuhan masyarakat akan daging sapi.

"Pemerintah harus mengajari peternak dan mengubah perilaku peternak menjadi mengerti bisnis," kata Guru Besar Peternakan Institut Pertanian Bogor Prof Muladno Selasa.

Dia mengusulkan perilaku itu diubah di antaranya lewat pembentukan bisnis yang bersifat kolektif.

"Saya usulkan 1.000 induk sapi yang sudah ada di peternak kecil per usaha kolektif," kata Muladno.

Menurut Muladno IPB sudah membuat proyek percontohan di tujuh lokasi yakni di Sumatera Selatan tiga tempat, Pulau Madura, Jawa Timur dua tempat), Kalimantan Selatan satu tempat.

"Sedangkan yang di Jombang, Jawa Timur untuk kambing," katanya.

Sementara itu, Guru Besar Ilmu Ekonomi IPB Prof Rina Oktaviani menambahkan bahwa peternakan di Indonesia 98 persen dikuasai peternak skala rumah tangga dengan jumlah kepemilikan ternak sebanyak dua hingga tiga ekor sapi.

"Ditambah lagi, sesuai hasil survei karkas 2012 yang dilakukan IPB, sebanyak 85 persen sapi-sapi tersebut tergolong kurus dan sedang," katanya dalam diskusi bertema "Permasalahan Daging Sapi" di Ruang Sidang PSP3 Kampus IPB Baranang Siang pada Senin (28/7).

Karkas adalah bagian dari hewan potong yang disembelih setelah kepala dan kaki dipisahkan, dikuliti, serta isi rongga perut dan dada dikeluarkan.

Ia mengatakan sebenarnya Indonesia pernah swasembada daging pada tahun 1990 dengan produksi ternak domestik mencapai 99,32 persen.

Namun, kemudian terjadi penurunan terus menerus pada produksi domestik hingga "supply" (pasokan) sapi lokal hanya 70 (data tahun 2011).

Menurut dia, dari hasil survei karkas IPB tersebut ada kaitannya dengan perbaikan genetik sapi Indonesia dalam hal penggemukan.

Jika bibit sapinya jelek, kata dia, diberi pakan sebanyak apapun hasilnya akan jelek alias sapi tidak gemuk.

Karena itu, katanya, untuk mensukseskan program itu, kebijakan swasembada harus diubah, yakni dengan adanya kebijakan tarif dan kuota impor, subsidi produksi dan perbaikan teknologi.

Dia mengatakan kebijakan tarif in, lebih "fair", "Karena kalau terus-terusan impor dan dan tarif dilepas maka lima tahun ke depan peternakan Indonesia akan hancur," katanya.

Rina menawarkan solusi dengan beberapa metoda yakni dengan mengkombinasikan perbaikan teknologi, yakni peningkatan dosis inseminasi buatan (IB) 25 persen, peningkatan impor sapi bibit 20 persen, penurunan suku bunga pinjaman 4 persen, penurunan impor sapi bakalan 25 persen dan penurunan impor daging sapi 35 persen.

Dikemukakannya bahwa jika metoda itu diterapkan dengan baik dan benar, tahun 2014 memang tidak akan tercapai swasembada, karena produksi domestik baru 80 persen.

"Swasembada akan dicapai tahun 2021 dengan catatan kebijakan dilakukan dan peningkatan permintaan konstan," katanya.