Gaza (ANTARA) - Mohammed Saad, seorang pengungsi Palestina, akhirnya menemukan tempat berlindung bagi delapan anggota keluarganya di kota Rafah, Gaza selatan, lebih dari 70 hari setelah pecahnya konflik Hamas-Israel pada 7 Oktober.

Ayah enam anak itu dulunya seorang pengusaha yang mapan, hingga serangan Israel menghancurkan rumah mereka di Gaza City. Setelah terpaksa mengungsi ke wilayah selatan, dia mulai membawa keluarganya dari satu tempat penampungan pengungsi ke tempat penampungan lainnya di Rafah.

"Saya tidak membawa apa pun kecuali sejumlah uang tunai ketika kami pindah ke selatan, dan uang itu hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti makanan dan air," katanya kepada Xinhua.

"Kami sempat tinggal di pusat UNRWA di Deir al-Balah, tetapi tentara Israel memerintahkan kami untuk mengungsi dan kemudian kami pergi ke Khan Younis, hingga kami kembali menerima perintah evakuasi. Begitulah ceritanya bagaimana kami bisa sampai di Rafah," katanya.

Saat ini keluarganya tinggal di sebuah tenda darurat yang didirikan di Rafah bagian barat dan harus berbagi toilet dengan keluarga-keluarga lainnya.

"Saya harus menunggu dalam antrean panjang untuk mendapatkan makanan, air, gas untuk memasak, atau lainnya. Terkadang, saya kembali ke tenda dengan tangan kosong," ujarnya.
Seorang anak Palestina terlihat di tempat penampungan sementara di kota Rafah di Jalur Gaza selatan, pada 13 Desember 2023. (Xinhua/Yasser Qudih)


Kota Rafah, yang terletak dekat perbatasan dengan Mesir, dipenuhi ratusan ribu warga Palestina yang mengungsi akibat serangan Israel di tengah memburuknya kondisi kemanusiaan.

Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan dalam sebuah pernyataan pers bahwa dengan perkiraan kenaikan empat kali lipat dalam hal kepadatan penduduk, lebih dari 12.000 orang per kilometer persegi, Rafah kini menjadi daerah terpadat di Jalur Gaza.

Menurut Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA), hampir 1,9 juta orang di Gaza, atau sekitar 85 persen dari total populasi, terpaksa meninggalkan rumah maupun daerah tempat tinggal mereka, dan sebagian bahkan telah beberapa kali mengungsi.

Jumlah warga Palestina yang tewas akibat serangan Israel di Gaza meningkat menjadi 19.667 jiwa, sedangkan 52.586 orang terluka sejak 7 Oktober, menurut Kementerian Kesehatan yang dikelola Hamas pada Selasa (19/12).

Sementara itu, Israel masih terus menggempur Gaza dari udara, darat, dan laut, memupus harapan warga Gaza bahwa penderitaan mereka akan segera berakhir.
Pengungsi Palestina menyiapkan makanan di tempat penampungan sementara di kota Rafah di Jalur Gaza selatan, pada 18 Desember 2023. (Xinhua/Rizek Abdeljawad)


“Perang yang belum pernah terjadi sebelumnya membuat saya tidak berdaya karena saya tidak punya uang untuk membeli obat untuk anak-anak saya,” kata Semaan Rashid, warga Palestina lainnya yang berlindung di Rafah, kepada Xinhua.

Keluarganya tidur di sebuah mobil tua dan harus menunggu selama berjam-jam untuk pembagian makanan dari UNRWA.

"Ke mana saya bisa pergi bersama orang-orang malang yang dalam keadaan sakit ini? Tidak ada yang peduli dengan kami atau situasi kami ... Kami meminta belas kasihan dan bantuan hanya demi anak-anak kami," teriak pria itu dengan nada putus asa.

Menurut Program Pangan Dunia (World Food Programme/WFP), kelaparan dilaporkan terjadi pada sejumlah besar warga yang mengungsi di Gaza selatan, karena ketahanan pangan di sana memburuk secara signifikan seiring bertambahnya populasi.

WFP memperkirakan setidaknya 50 persen keluarga pengungsi tidur dalam keadaan lapar di malam hari.

Kelangkaan gas yang parah untuk kebutuhan memasak telah menyebabkan ketergantungan yang besar pada kayu bakar, sisa-sisa kayu, dan limbah pembakaran, sehingga meningkatkan risiko penyakit pernapasan.

Sementara itu, hujan yang dulunya dianggap sebagai berkah, justru memperburuk keadaan para pengungsi yang terpaksa tinggal di tenda-tenda darurat.

Om Ali Rabhi (55), seorang pengungsi yang kehilangan suaminya akibat serangan Israel dan kini tinggal di sebuah tenda kecil di Rafah bersama 10 anaknya, mengatakan kepada Xinhua mereka terkadang terbangun dikelilingi lumpur dan basah kuyup karena air hujan.

"Dulu kami bersukacita ketika hujan turun, tetapi kini dalam situasi seperti ini kami mulai berdoa agar hujan berhenti," tuturnya.

Ia mengatakan keluarganya kelaparan dan menunggu makanan dari asosiasi atau para dermawan. Mereka tidur di malam hari dan tidak tahu apa yang akan terjadi pada mereka keesokan harinya.

"Apa yang bisa kita lakukan ketika kita tidak punya apa-apa untuk diberikan kepada anak-anak yang masih kecil, dan kita bahkan tidak bisa menjaga mereka tetap kering, hangat, dan bersih?" ujarnya sembari berlinang air mata.