"(Penyadapan) Dalam konteks hubungan negara tidak etis karena informasi adalah sesuatu yang didapatkan melalui interaksi dengan proses yang wajar dan dipahami sebagai bagian dari modalitas interaksi apakah itu diplomasi, komunikasi, surat, dan lain-lain," kata Faizasyah, di Jakarta, Senin.
Yang jelas, sebagaimana dilaporkan Sydney Morning Herald, Jumat (26/7), Perdana Menteri Australia, Kevin Rudd, memperoleh keuntungan atas aktivitas spionase itu.
Seorang sumber anonim yang dekat dengan pemerintah Australia mengungkapkan, pada April 2009, delegasi Australia mendapatkan dukungan informasi intelijen dari Inggris dan Amerika Serikat.
Faizasyah mengaku pemerintah Indonesia sejauh ini mengikuti perkembangan sinyalemen penyadapan itu dari media.
"Kami ikuti dari media tentang sinyalemen ini, saya rasa sulit ya (untuk mengetahui dengan pasti) kecuali menyadap mengkonfirmasi," katanya. Yang dia ungkapkan muskil bisa terjadi.
Lebih lanjut dia mengatakan, sesungguhnya berita itu sudah pemerintah Indonesia pantau sejak Juni; ketika beredar informasi, tuan rumah Inggris menyadap tidak hanya pada pihak tertentu tetapi pada mayoritas negara.
Tapi, tambah Faizasyah, Indonesia baru mendengar lagi dari media Australia bahwa substansi yang disampaikan adalah terkait pencalonan di Dewan Keamanan PBB.
Namun, kata dia, insiden tersebut mengingatkan masalah pengelolaan informasi menjadi semakin penting. "Berangkat dari sinyalemen seperti ini, kami terus meningkatkan pengamanan informasi," ujarnya.
Saat ini, menurut Faizasyah, pemerintah Indonesia masih mengukur derajat kerugian yang diakibatkan kebocoran itu. Yudhoyono belum secara khusus berkomentar tentang itu, juga dampaknya terhadap hubungan kedua negara.