Bamako (ANTARA News) - Pemimpin sementara Mali, Dioncounda Traore, memberikan suaranya dalam pemilihan presiden, Minggu, dan menyebutnya sebagai pemilu paling teratur sejak kemerdekaan negara itu pada 1960.

Tempat-tempat pemungutan suara dibuka di berbagai penjuru Mali dalam suasana yang tenang untuk pemilu pertama sejak kudeta militer tahun lalu mengakhiri salah satu negara paling stabil di kawasan itu.

"Saya puas dengan kondisi umum penyelenggaraan pemilu. Saya rasa sepanjang yang bisa diingat orang Mali, ini adalah pemilihan umum paling teratur sejak 1960," katanya.

Traore tidak menyebutkan untuk siapa suaranya diberikan, diantara 27 calon presiden, dan hanya mengatakan, ia memilih "calon yang meyakinkan saya selama kampanye".

Namun, ia meminta semua calon menjadi "demokrat pada akhirnya" dan menghormati hasil pemilu.

Traore dipilih setelah kudeta Maret 2012 yang menggulingkan Presiden terpilih Amadou Toumani Toure, yang mendorong kejatuhan Mali utara ke tangan militan terkait Al Qaida yang kemudian disusul dengan intevensi militer pimpinan Prancis yang mengusir mereka.

Pemilihan umum presiden itu dianggap sebagai langkah penting untuk mengembalikan stabilitas negara Afrika barat yang dilanda perang itu.

Mali, yang pernah menjadi salah satu negara demokrasi yang stabil di Afrika, mengalami ketidakpastian setelah kudeta militer pada Maret 2012 menggulingkan pemerintah Presiden Amadou Toumani Toure.

Masyarakat internasional khawatir negara itu akan menjadi sarang baru teroris dan mereka mendukung upaya Afrika untuk campur tangan secara militer.

Kelompok garis keras, yang kata para ahli bertindak di bawah payung Al Qaida di Maghribi Islam (AQIM), menguasai kawasan Mali utara, yang luasnya lebih besar daripada Prancis, sejak April tahun lalu sebelum mereka diusir oleh pasukan pimpinan Prancis pada tahun ini.

Pemberontak suku pada pertengahan Januari 2012 meluncurkan lagi perang puluhan tahun bagi kemerdekaan Tuareg di wilayah utara yang mereka klaim sebagai negeri mereka, yang diperkuat oleh gerilyawan bersenjata berat yang baru kembali dari Libya. Namun, perjuangan mereka kemudian dibajak oleh kelompok-kelompok muslim garis keras.

Kudeta pasukan yang tidak puas pada Maret 2012 dimaksudkan untuk memberi militer lebih banyak wewenang guna menumpas pemberontakan di wilayah utara, namun hal itu malah menjadi bumerang dan pemberontak menguasai tiga kota utama di Mali utara dalam waktu tiga hari saja.

Prancis, yang bekerja sama dengan militer Mali, pada 11 Januari meluncurkan operasi ketika militan mengancam maju ke ibu kota Mali, Bamako, setelah keraguan berbulan-bulan mengenai pasukan intervensi Afrika untuk membantu mengusir kelompok garis keras dari wilayah utara.

Prancis akan mengurangi pasukannya yang berjumlah 4.500 orang menjadi 1.000, dan resolusi PBB mengizinkan Prancis "menggunakan segala cara yang diperlukan" untuk campur tangan ketika pasukan PBB "berada dalam ancaman serius dan segera".

Pasukan Afrika barat di Mali membentuk kekuatan inti dari Misi Stabilisasi Terpadu Multidimensi PBB, yang dikenal dengan singkatan Prancis MINUSMA. Pasukan PBB yang berkekuatan 12.000 orang itu menggantikan pasukan Afrika pimpinan Prancis pada Juli, demikian AFP.

(M014)