Kemendikbudristek ungkap tantangan utama restorasi film "Dr. Samsi"
19 Desember 2023 18:32 WIB
Perbandingan visualisasi salah satu adegan di film restorasi "Dr. Samsi" yang ditayangkan di CGV FX Sudirman Jakarta, Selasa (19/12). (ANTARA/Ahmad Faishal)
Jakarta (ANTARA) - Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengungkapkan tantangan utama proses alih teknologi dari format seluloid ke digital (restorasi) untuk film berjudul "Dr. Samsi" produksi tahun 1952 yang selesai pada akhir tahun ini.
Koordinator Utama Digitalisasi dan Restorasi Kemendikbudristek Rizka Fitri Akbar mengungkapkan bahwa sejak tahun 2020, pihaknya sudah menggagas rencana untuk melakukan restorasi film "Dr. Samsi" karya perempuan sutradara Ratna Asmara tersebut.
"Kami telah menemukan beberapa kriteria di film itu untuk melakukan alih-media menuju restorasi. Tahun 2021, kami melakukan inspeksi secara fisik dan tadinya berharap tahun itu bisa langsung melakukan restorasi. Tetapi ternyata tidak bisa karena materi fisik yang sangat parah dan tidak lengkap," kata Rizka sebelum pemutaran film restorasi "Dr. Samsi" di Jakarta, Selasa.
Baca juga: Kemendikbudristek restorasi film perempuan sutradara pertama Indonesia
Rizka menjelaskan bahwa pada tahun 2022, pihaknya kemudian mendapatkan bantuan untuk memperbaiki fisik film tersebut oleh kegiatan riset terhadap sutradara Ratna Asmara. Pada saat itu, obyek film yang ada di Sinematek adalah "Dr. Samsi".
"Akhirnya tahun ini film ini dinyatakan harus direstorasi karena terdapat masalah pada materi fisik yang semakin rusak. Tantangan utama adalah materi yang tidak lengkap dan nyaris punah. Jika dibiarkan walau terus diperbaiki, maka ada namanya penyakit autokatalitik yang membuat film akan hancur ketika tiba masanya," papar Rizka.
Dia lantas menambahkan bahwa permasalahan utama yang muncul dari film "Dr. Samsi" adalah kualitas audio yang telah mengalami kerusakan cukup berat.
"Audio copy positif sudah washed out, sedangkan copy negatif tidak lengkap. Jadi, hasil restorasi kali ini adalah kombinasi dari semua materi tersebut," terang dia.
Baca juga: "Dr. Samsi" jadi film restorasi kelima Kemendikbudristek
Rizka menuturkan bahwa dalam pelaksanaannya, restorasi tidak mengenal durasi dan biaya karena proses tersebut sangat bergantung pada materi film yang didapatkan. Dalam tahap restorasi, tim melakukan pengumpulan data sebanyak mungkin yang bertujuan untuk mengembalikan keadaan film yang mendekati.
"Hasilnya tidak bisa kami lebihkan atau kurangi. Selain itu, penyakit yang ada di dalam materi film belum bisa terduga sampai kami membuka barangnya. Contohnya film 'Tiga Dara' yang direstorasi swasta, butuh waktu 13 bulan karena biayanya sudah berhenti juga," tambah Rizka.
"Dr. Samsi" merupakan film restorasi kali kelima yang dilakukan pemerintah dalam upaya penyelamatan arsip-arsip film nasional. Sebelumnya, Kemendikbudristek telah melakukan restorasi sebanyak empat judul film yaitu "Darah dan Doa" (The Long March) karya Usmar Ismail produksi tahun 1950 dan direstorasi tahun 2013, "Pagar Kawat Berduri" karya Asrul Sani produksi tahun 1961 dan direstorasi tahun 2017, "Bintang Ketjil" karya Wim Umboh dan Misbach Yusa Biran produksi tahun 1963 dan direstorasi tahun 2018, dan "Kereta Api Terakhir" karya Mochtar Soemodimedjo produksi tahun 1981 dan direstorasi pada tahun 2019.
Baca juga: Film hasil restorasi "Bintang Ketjil" diputar di Medan
Koordinator Utama Digitalisasi dan Restorasi Kemendikbudristek Rizka Fitri Akbar mengungkapkan bahwa sejak tahun 2020, pihaknya sudah menggagas rencana untuk melakukan restorasi film "Dr. Samsi" karya perempuan sutradara Ratna Asmara tersebut.
"Kami telah menemukan beberapa kriteria di film itu untuk melakukan alih-media menuju restorasi. Tahun 2021, kami melakukan inspeksi secara fisik dan tadinya berharap tahun itu bisa langsung melakukan restorasi. Tetapi ternyata tidak bisa karena materi fisik yang sangat parah dan tidak lengkap," kata Rizka sebelum pemutaran film restorasi "Dr. Samsi" di Jakarta, Selasa.
Baca juga: Kemendikbudristek restorasi film perempuan sutradara pertama Indonesia
Rizka menjelaskan bahwa pada tahun 2022, pihaknya kemudian mendapatkan bantuan untuk memperbaiki fisik film tersebut oleh kegiatan riset terhadap sutradara Ratna Asmara. Pada saat itu, obyek film yang ada di Sinematek adalah "Dr. Samsi".
"Akhirnya tahun ini film ini dinyatakan harus direstorasi karena terdapat masalah pada materi fisik yang semakin rusak. Tantangan utama adalah materi yang tidak lengkap dan nyaris punah. Jika dibiarkan walau terus diperbaiki, maka ada namanya penyakit autokatalitik yang membuat film akan hancur ketika tiba masanya," papar Rizka.
Dia lantas menambahkan bahwa permasalahan utama yang muncul dari film "Dr. Samsi" adalah kualitas audio yang telah mengalami kerusakan cukup berat.
"Audio copy positif sudah washed out, sedangkan copy negatif tidak lengkap. Jadi, hasil restorasi kali ini adalah kombinasi dari semua materi tersebut," terang dia.
Baca juga: "Dr. Samsi" jadi film restorasi kelima Kemendikbudristek
Rizka menuturkan bahwa dalam pelaksanaannya, restorasi tidak mengenal durasi dan biaya karena proses tersebut sangat bergantung pada materi film yang didapatkan. Dalam tahap restorasi, tim melakukan pengumpulan data sebanyak mungkin yang bertujuan untuk mengembalikan keadaan film yang mendekati.
"Hasilnya tidak bisa kami lebihkan atau kurangi. Selain itu, penyakit yang ada di dalam materi film belum bisa terduga sampai kami membuka barangnya. Contohnya film 'Tiga Dara' yang direstorasi swasta, butuh waktu 13 bulan karena biayanya sudah berhenti juga," tambah Rizka.
"Dr. Samsi" merupakan film restorasi kali kelima yang dilakukan pemerintah dalam upaya penyelamatan arsip-arsip film nasional. Sebelumnya, Kemendikbudristek telah melakukan restorasi sebanyak empat judul film yaitu "Darah dan Doa" (The Long March) karya Usmar Ismail produksi tahun 1950 dan direstorasi tahun 2013, "Pagar Kawat Berduri" karya Asrul Sani produksi tahun 1961 dan direstorasi tahun 2017, "Bintang Ketjil" karya Wim Umboh dan Misbach Yusa Biran produksi tahun 1963 dan direstorasi tahun 2018, dan "Kereta Api Terakhir" karya Mochtar Soemodimedjo produksi tahun 1981 dan direstorasi pada tahun 2019.
Baca juga: Film hasil restorasi "Bintang Ketjil" diputar di Medan
Pewarta: Ahmad Faishal Adnan
Editor: Siti Zulaikha
Copyright © ANTARA 2023
Tags: