Jakarta (ANTARA) - Menggenjot produksi sektor pertanian atau meragamkan pola makan bukan dua langkah yang harus dipilih salah satunya.

Pilihan yang jatuh, misalnya, pada upaya menggenjot produksi pangan, sama artinya harus bekerja keras untuk meningkatkan produksi beras setinggi-tingginya.

Sedangkan "meragamkan pola makan", berarti harus mengembangkan penganekaragaman pangan agar tidak tergantung hanya kepada satu jenis bahan pangan karbohidrat yaitu nasi.

Andaikan kepada masyarakat disodorkan pilihan, mana yang harus diprioritaskan dalam penerapannya, maka jawaban terbaik yang paling menguntungkan yakni melaksanakan keduanya secara beriringan. Produksi beras meningkat, konsumsi terhadap nasi mesti turun.

Sebagai solusi jangka pendek, upaya "menggenjot produksi" beras menjadi pilihan ketimbang menerapkan program "meragamkan pola makan rakyat" yang sifatnya lebih merupakan investasi jangka panjang.

Hal ini wajar terjadi, karena berbagai alasan dan pertimbangan. Salah satunya, karena produksi beras sedang menurun, jalan keluar yang perlu diambil adalah meningkatkan produksi supaya ketersediaan beras mampu memenuhi kebutuhan masyarakat.

Lalu, bagaimana dengan upaya meragamkan pola makan? Ya, ini juga penting. Hanya kalau dikaitkan dengan suasana kehidupan masyarakat saat ini, yang lebih diutamakan dalam jangka pendek adalah menggenjot produksi beras.

Sedangkan program meragamkan pola makan masyarakat tidak terlampau mendesak untuk ditempuh. Meragamkan pola makan rakyat, perlu untuk jangka panjang.

Sejak dilantik menjadi Menteri Pertanian beberapa waktu lalu, Amran Sulaiman memiliki perhatian yang tinggi tentang perlunya menggenjot produksi berbagai jenis bahan pangan, termasuk beras dan jagung.

Amran berpandangan, tidak ada jalan keluar lain yang perlu ditempuh untuk menjawab penurunan produksi, selain harus sungguh-sungguh meningkatkan produksi seoptimal mungkin menuju swasembada.

Apalagi Indonesia bercita-cita jadi "lumbung pangan" dunia pada 2045, maka harus dicarikan solusi bila sekarang mengalami penurunan produksi beras dengan angka yang cukup signifikan.

Atas hal yang demikian, wajar jika Presiden Jokowi mendukung penuh langkah menggenjot produksi beras dan beberapa komoditas pangan lain.

Tambahan anggaran pembangunan pertanian sekitar Rp5,8 triliun, jelas hal ini merupakan bukti nyata komitmen Pemerintah guna peningkatan produksi dan produktivitas hasil pertanian, terutama untuk komoditas padi dan jagung.

Akan tetapi, langkah menggenjot produksi beras tanpa dibarengi dengan penanganan konsumsi masyarakat terhadap nasi, hal ini sama saja dengan sia-sia.

Setinggi apa pun produksi yang dihasilkan, tidak akan dapat memberi perubahan yang diharapkan, sekiranya laju konsumsi masyarakat terhadap nasi tidak mampu dibatasi. Pola makan masyarakat penting seceparnya diragamkan agar konsumsi terhadap satu jenis bahan makanan pokok dapat ditekan.


Kampanye keragaman

Upaya meragamkan pula makan, secara kemauan politik, sebetulnya telah dikampanyekan sejak puluhan tahun silam.

Setiap Pemerintahan, baik dalam era Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi, sepakat bahwa program penganekaragaman pangan perlu digarap dengan sepenuh hati.

Meragamkan pola makan masyarakat bukan lagi menjadi program sampingan, namun perlu dijadikan program utama pembangunan pangan di negeri ini.

Maka kini saatnya Pemerintah semakin serius, menampilkan program diversifikasi pangan sebagai kebijakan prioritas.

Program diversifikasi pangan ini perlu digarap dengan inovatif melalui inisiatif yang tinggi. Selain itu, Indonesia juga sudah saatnya memiliki Grand Desain Program Penganekaragaman Pangan untuk beberapa tahun ke depan.

Ketergantungan masyarakat terhadap salah satu jenis bahan pangan karbohidrat, sudah saatnya untuk dihentikan.

Pemerintah perlu berjuang serius agar masyarakat dapat meragamkan pola makan dengan berbagai macam jenis pangan karbohidrat lain khususnya pangan lokal.

Indonesia juga harus berani melahirkan regulasi guna mengerem laju konsumsi masyarakat terhadap nasi yang berlebihan.

Skenario meragamkan pola makan masyarakat, rupanya tidak cukup hanya dengan mengumandangkan jargon atau pidato para pejabat yang bersifat agitatif. Masyarakat butuh bukti nyata.

Masyarakat ingin melihat langsung, bagaimana para petinggi negeri ini memberi teladan tentang mengonsumsi pangan non beras. Dalam budaya patrimonial keteladanan menjadi perilaku yang sangat dibutuhkan.

Pengalaman selama puluhan tahun menunjukkan bahwa menggeser konsumsi masyarakat dari beras ke non beras, bukanlah hal yang cukup mudah untuk ditempuh. Banyak hal yang menjadi tantangan dan kendala.

Selain hal ini berkaitan dengan budaya masyarakat, ketersediaan pangan pengganti beras pun belum tersedia dengan baik. Selain itu, tentu ada juga hal-hal lain yang berhubungan dengan daya beli masyarakat.

Program Bantuan Langsung Pangan bisa menjadi titik awal bagi percontohan diversifikasi pangan dengan pemberian bantuan dalam bentuk beragam jenis pangan lokal yang disesuaikan dengan kebiasaan lama masyarakat itu setempat.

Misalnya saja masyarakat yang dalam sejarahnya makanan pokoknya adalah sagu maka diberikan bantuan sagu. Begitu pun dengan masyarakat dengan budaya makan jagung, singkong, umbi-umbian, dan lain sebagainya.

Langkah ini betul-betul perlu dilakukan agar tidak bertabrakan dengan upaya meragamkan pola makan masyarakat sehingga terbebas dari ketergantungan yang tinggi terhadap beras.

Diversifikasi pangan juga dimaksudkan agar masyarakat memperoleh keragaman zat gizi di samping untuk melepas ketergantungan masyarakat atas satu jenis pangan pokok tertentu yaitu beras.

Ketergantungan yang tinggi dapat memicu ketidakstabilan jika pasokan terganggu dan sebaliknya jika masyarakat menyukai pangan alternatif maka ketidakstabilan akan dapat dijaga.

Hasil pertanian dan budidaya pangan suatu daerah merupakan suatu aset ekonomi, budaya, dan kesehatan masyarakat.

Oleh karena itu sangat tepat apabila sasaran pembangunan bidang pangan di Indonesia diantaranya adalah terwujudnya ketahanan pangan rumah tangga, terwujudnya diversifikasi pangan, serta terjamin keamanan pangan.

*) Penulis adalah Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat.