"Sangat besar (peluang untuk lepas dari status tersangka)," kata Suparji kepada wartawan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat.
Suparji menuturkan bahwa meski Polda Metro Jaya menggunakan empat alat bukti, hal tersebut belum cukup untuk menjadi dasar penetapan Firli Bahuri sebagai tersangka kasus pemerasan secara sah. Sebab berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014, alat bukti yang dapat digunakan untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka bukan hanya memenuhi unsur kuantitatif melainkan juga kualitatif.
Artinya jika alat bukti yang digunakan adalah berupa surat, menurut Suparji surat tersebut harus betul-betul relevan dengan sangkaan, seperti dapat membuktikan adanya bukti pengiriman atau penerimaan uang.
"Sementara ini kan yang dipakai itu antara lain berupa foto, lalu resi penukaran valuta asing, itu tidak secara materiil membuktikan telah terjadinya pemerasan, penyuapan, atau gratifikasi," ujar Suparji.
Kemudian jika menggunakan saksi sebagai alat bukti, Suparji mengatakan saksi tersebut harus betul-betul melihat, mendengar, dan mengalami sendiri pemerasan, penyuapan, atau gratifikasi yang dilakukan. Namun sejauh ini, menurut Suparji alat bukti berupa saksi belum memenuhi kualifikasi tersebut.
"Oleh karenanya, mengingat alat bukti yang dipakai hanya unsur kuantitatif dan tidak memenuhi unsur kualitatif sebagaimana yang disyaratkan dalam putusan MK tadi itu, maka mestinya penetapan tersangka ini dibatalkan karena tidak didukung dengan alat bukti yang sah dan benar," kata Suparji.
Suparji menjadi salah satu ahli yang dihadirkan oleh pihak Firli Bahuri dalam sidang praperadilan pada Kamis (14/12) malam.
Baca juga: Penyidik ungkap ada temuan fakta pemerasan libatkan Firli Bahuri
Baca juga: Kuasa hukum Firli Bahuri siapkan 9 saksi untuk sidang praperadilan
Baca juga: Polda Metro Jaya pastikan tak ada intervensi dalam praperadilan Firli