Jakarta (ANTARA) -
Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Irfan Idris mengatakan harus ada tindakan yang ditempuh sebagai upaya preventif dan deteksi dini aksi teror yang mungkin mengganggu perayaan Natal 2023 dan Tahun Baru 2024.

“Langkah yang harus dilakukan, tentu kita membangun komunikasi interaktif dan produktif dengan seluruh stakeholder terkait. Kita juga saling menjaga serta mewaspadai adanya letupan aksi atau sel teror yang tidur dan cenderung memanfaatkan konflik yang terjadi di negara lain,” jelas Irfan dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.

Perayaan Natal dan tahun baru adalah ajang sukacita bagi masyarakat Indonesia. Namun, dari tahun ke tahun selalu saja ada yang mewarnai momentum pergantian tahun dengan propaganda negatif.

Untuk itu, kata Irfan, masyarakat perlu memiliki kewaspadaan dini supaya kebersamaan anak bangsa tidak terusik oleh siapa pun, kapan pun dan dimana pun.

Menurut ia, dunia perlu belajar dari berbagai tragedi kemanusiaan di wilayah Timur Tengah, khususnya antara Palestina dan Israel, juga aksi-aksi teror yang dilakukan kelompok teroris.

Baca juga: BNPT jaring suara kaum muda cegah radikalisme

Oleh karena itu, kebersamaan yang telah terjalin di Indonesia melalui dialog antarkelompok masyarakat dan proses mitigasi lainnya perlu dipelihara dengan baik.

Untuk mengantisipasi hal-hal tersebut, tambah Irfan, konstruksi berpikir dan pola komunikasi pada tatanan akar rumput selayaknya dapat mengangkat topik bahasan yang mampu merekatkan kebersamaan satu sama lain.

"Perlu juga meningkatkan penerapan inklusivitas, baik di sektor formal seperti kementerian dan lembaga hingga di lingkar pergaulan anak muda yang notabene akan menjadi penentu masa depan bangsa," imbuhnya.

Selain itu, penguatan empat konsensus dasar berbangsa dan bernegara, yaitu Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945 menjadi hal yang vital dalam memupuk wawasan kebangsaan serta rasa cinta tanah air anak bangsa.

"Kurangnya narasi penguatan terhadap empat konsensus dasar berbangsa dan bernegara menjadi hal yang menguras perhatian masyarakat untuk kemudian mengonsumsi konten radikalisme dan terorisme. Sah-sah saja kalau mereka yang mempelajarinya memiliki standing point dan kontrol diri yang baik. Namun, bila tidak, tentu akan menyimpan konsekuensi negatif dengan mudahnya mereka setiap saat berselancar di dunia maya," terangnya.

"Akhirnya dia tertarik dan bersimpati," tambahnya.

Baca juga: BNPT ingatkan mahasiswa waspadai ideologi kekerasan di kampus

Maka dari itu, narasi-narasi yang beredar dari kelompok intoleran dan radikal harus kita luruskan dengan berbagai model pertemuan dan diskusi, baik luring maupun daring. "Kesemuanya dilakukan dengan harapan akan timbul kewaspadaan di antara masyarakat untuk saling mengingatkan," lanjut Irfan.

Irfan juga menyoroti kejahatan terorisme yang bisa menimbulkan ketidakpercayaan antarsatu golongan masyarakat dengan lainnya.

Terorisme adalah kejahatan lintas negara yang harus dikenali secara komprehensif karena tidak bisa melihat secara parsial pada tiap kasus yang ada. Seperti halnya kasus bom gereja yang terjadi di Marawi, Filipina," jelasnya.

Menurutnya, hal semacam ini perlu diwaspadai karena berpotensi memunculkan kejadian serupa di wilayah lain sebab sifat jaringan terorisme yang borderless atau tidak kenal batas.

"Jangan sampai ada yang memanfaatkan momentum perayaan hari besar untuk membangun semangat melakukan aksi teror karena hal semacam ini sudah banyak terjadi. Masih hangat dalam ingatan kita, di Gereja Katedral Makassar pernah mengalami serangan teror ketika umat Katolik sedang beribadah," ujarnya.

Baca juga: BNPT terus bangun sinergi antarkementerian/lembaga jaga keamanan NKRI

Oleh karena itu, seluruh komponen bangsa harus sama-sama mendampingi generasi muda agar jangan sampai terjadi aksi teror yang disebabkan self-radicalization lewat media sosial.

"Pelaku teror yang awalnya terpapar kemudian beraksi sendiri (lone wolf) dan memang generasi muda serta perempuan menjadi sasaran utama dari radikalisasi jaringan teror," imbuh Irfan.

Ia melanjutkan bahwa pola kaderisasi jaringan teror biasanya memiliki racikan tersendiri yang dilakukan sangat kencang di bawah permukaan. Ada tiga hal yang umumnya mereka lakukan, yaitu pelatihan paramiliter, perekrutan anggota baru dan pendanaan aksi teror.
"Harus diakui bahwa generasi muda hampir tidak mungkin untuk menghindar dari arus globalisasi yang semakin deras. Walaupun demikian, mereka harus mampu mengikuti kencangnya arus informasi, mempelajarinya dan memahaminya, namun tanpa terbawa olehnya," pungkas Irfan.

Baca juga: BNPT-Kementan canangkan genjot deradikalisasi lewat Program Serasi