"Keputusan Presiden Nomor 174/1999 memberi mereka banyak remisi, yaitu remisi umum, remisi khusus, dan remisi tambahan," kata Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gajah Mada, Zainal Mochtar, dalam diskusi media, di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Jakarta, Selasa.
Mochtar mengatakan, "hujan remisi" bagi para tahanan korupsi harus dihentikan karena kejahatan korupsi termasuk kejahatan luar biasa yang tidak dapat disamakan dengan kejahatan lain.
"Koruptor semestinya tidak dapat memperoleh remisi secara mudah dan harus ada kondisi tertentu yang dapat diukur secara hukum seperti menjadi kolaborator keadilan dan pengungkap kasus.
Sementara, pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Saldi Isra, mengatakan, pemerintah perlu bertahan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 99/2012 tentang Remisi Narapidana Kasus Terorisme, Narkoba, Korupsi.
Dia mengatakan, tidak terdapat pertentangan secara substansial ataupun formal antara UU Nomor 12/1995 tentang Pemasyarakatan dengan PP Nomor 99/2012.
Direktur Eksekutif Correct Jakarta, Refly Harun, mengatakan, kecenderungan yang muncul di sejumlah media nasional yaitu PP Nomor 99/2012 akan menghilangkan remisi untuk narapidana.
"Tidak ada pertentangan antara PP Nomor 99/2012 dengan UU Nomor 12/1995, kecuali ada agenda untuk melemahkan proses pemberantasan korupsi dengan memanfaatkan ketidakpopuleran tindakan pemerintah," kata Harun.
Pada Jumat (12/7), Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Amir Syamsuddin, akan melakukan evaluasi materi PP Nomor 99/2012 tentang pengetatan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi kalangan koruptor.
Dia mengatakan, PP Nomor 99/2012 itu diterbitkan untuk mengakomodir amarah dan kebencian publik atas tindak pidana korupsi.