"Keluarga merupakan pranata sosial dan madrasah pertama bagi pertumbuhan serta perkembangan kognitif emosional anak. Oleh karena itu, sejalan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan, upaya menumbuhkan budaya baca ada tiga pilar, yakni keluarga, satuan pendidikan dan masyarakat," ujar Adin dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.
Baca juga: Jaringan Aktivis Nusantara: Literasi modal penting di era disrupsi
Adin menjelaskan kegemaran membaca di satuan pendidikan sudah berkembang melalui sekolah maupun perguruan tinggi. Kemudian, di masyarakat juga ada program transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial (TPBIS), dimana perpustakaan jadi ruang terbuka bagi masyarakat.
Ia menyebutkan sudah dilakukan kajian terkait indikator tingkat kegemaran membaca kepada 1.300 responden di seluruh Indonesia, yang menunjukkan ada pertumbuhan lebih baik, dari tahun 2022 dengan nilai 63,9, meningkat menjadi 66,7 pada tahun 2023.
Pertama, pada kelompok pranikah. Mereka akan diberikan edukasi untuk memiliki kesadaran yang baik, bagaimana membangun hubungan keluarga yang harmonis, hingga memahami reproduksi, sehingga menjadi keluarga bahagia setelah menikah.
Baca juga: Peneliti: Tingkatkan kompetensi digital untuk daya saing industri RI
Kedua, keluarga yang akan memiliki anak. Kelompok ini akan diberikan edukasi melalui konten-konten literasi yang bisa diakses, sehingga mereka memiliki panduan melakukan stimulasi perkembangan kognitif dan emosional motorik anak.
Yang ketiga, lanjutnya, adalah tahap anak pada usia emas 0-6 tahun, melalui stimulasi berbagai kegiatan yang dilakukan keluarga.
Adin mengungkapkan Perpusnas saat ini sudah mengembangkan perluasan akses pengetahuan literasi keluarga secara digital melalui aplikasi super, yakni IPusnas dan Bintang Pusnas Edu.
Program penguatan literasi keluarga berbasis digital adalah upaya mendukung transformasi perpustakaan inklusif untuk kesejahteraan, mulai dari usia ibu mengandung hingga ke usia lanjut.
"Usia emas anak adalah 0-6 tahun, dan pada periode ini, anak-anak memerlukan role model, bacaan, dan permainan edukatif. Konsep ini harus didorong agar bangsa kita memiliki daya saing di masa depan," ungkapnya.
Ia menilai banyak kasus gizi buruk tidak hanya disebabkan oleh faktor ekonomi, tetapi juga oleh ketidaktahuan tentang gizi dan perawatan yang baik. Oleh karena itu, peningkatan akses informasi dan pengetahuan adalah kunci mengatasi masalah ini.
Baca juga: Membekali milenial menghadapi risiko ruang "online"
Baca juga: Pemkot Malang tingkatkan literasi digital sambut era society 5.0
Dengan literasi yang kuat, lanjut dia, individu dapat mencapai tingkat produktivitas yang lebih tinggi, memperbaiki ekonomi, serta membangun kebahagiaan dan rasa percaya diri dalam masyarakat, sehingga kualitas hidupnya semakin meningkat.
Ia mengutarakan pemerintah perlu terus berkolaborasi dengan berbagai pihak untuk menjadikan budaya membaca menjadi kebiasaan."Membaca harus menjadi kebiasaan, bukan paksaan, dan dilakukan melalui kesadaran," kata Adin Bondar.