Trenggono ungkap dari 80.000 kapal ikan baru 6.000 yang ada ijin
11 Desember 2023 17:49 WIB
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono dalam peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia (Hakordia) yang digelar di kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Senin (11/12/2023). ANTARA/Sinta Ambar
Jakarta (ANTARA) - Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengungkapkan, dari total 80.000 kapal penangkap ikan yang berada di bawah pantauan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) hanya 6.000 di antaranya yang mengantongi izin KKP. “Dari sekian banyak jumlahnya, lebih dari 80.000 kapal, yang punya izin hanya 6.000. Yang izin ke kementerian (KKP) ini hanya 6.000, selebihnya izinnya daerah atau tidak ada izin,” ujar Trenggono di Jakarta, Senin.
Trenggono menuturkan, kapal dengan ukuran 30 gross ton (GT) yang mengantongi izin daerah masih ditemui berlayar sejauh 12 mil lebih bahkan memasuki wilayah negara lain seperti perairan Australia, Malaysia, Thailand hingga Madagaskar.
Sementara berdasarkan aturan dalam Surat Edaran SE MKP B.1090/MEN-KP/VII/2023 tentang migrasi Perizinan Berusaha subsektor Penangkapan Ikan dan Pengangkutan Ikan dan PP 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur (PIT), kapal 30 GT apabila berlayar di atas 12 mil, seharusnya mengantongi izin dari pemerintah pusat dalam hal ini KKP.
“Ini korupsi ini. Karena punya orang (memasuki wilayah perairan lain). Karena punya orang, hak orang dicuri,” paparnya.
Dirinya juga menyoroti pengusaha perikanan di kawasan elit di Jakarta yang memiliki puluhan kapal di Ambon, Maluku dan Biak, Papua yang masih nekad beroperasi di atas 12 mil, sehingga mengancam keberlanjutan sumber daya perikanan atau overfishing.
“(Kapal) 30 GT itu beroperasinya hanya di 12 mil, dia tau KKP tidak mungkin bisa mengawasi sejauh itu. Rumahnya di Pondok Indah, di PIK, tapi punya 80 kapal di Ambon, punya 70 kapal di Biak. Izinnya izin daerah, murah meriah, BBM-nya disubsidi pemerintah tapi itu haknya nelayan lokal yang pakai 3 GT dan 5 GT,” tegasnya.
Karenanya, Trenggono melalui inisiasi yang tertuang dalam PP 11 Tahun 2023 tentang PIT berbasis kuota mengatur tentang hak dan pembagian wilayah penangkapan ikan.
Baca juga: KKP siap awasi penangkapan ikan di Indonesia menggunakan satelit
Baca juga: KKP catat 10.130 kapal berpotensi melanggar jalur penangkapan ikan
Baca juga: Sesditjen Perikanan Tangkap akui tunda program PIT berbasis kuota
Trenggono menuturkan, kapal dengan ukuran 30 gross ton (GT) yang mengantongi izin daerah masih ditemui berlayar sejauh 12 mil lebih bahkan memasuki wilayah negara lain seperti perairan Australia, Malaysia, Thailand hingga Madagaskar.
Sementara berdasarkan aturan dalam Surat Edaran SE MKP B.1090/MEN-KP/VII/2023 tentang migrasi Perizinan Berusaha subsektor Penangkapan Ikan dan Pengangkutan Ikan dan PP 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur (PIT), kapal 30 GT apabila berlayar di atas 12 mil, seharusnya mengantongi izin dari pemerintah pusat dalam hal ini KKP.
“Ini korupsi ini. Karena punya orang (memasuki wilayah perairan lain). Karena punya orang, hak orang dicuri,” paparnya.
Dirinya juga menyoroti pengusaha perikanan di kawasan elit di Jakarta yang memiliki puluhan kapal di Ambon, Maluku dan Biak, Papua yang masih nekad beroperasi di atas 12 mil, sehingga mengancam keberlanjutan sumber daya perikanan atau overfishing.
“(Kapal) 30 GT itu beroperasinya hanya di 12 mil, dia tau KKP tidak mungkin bisa mengawasi sejauh itu. Rumahnya di Pondok Indah, di PIK, tapi punya 80 kapal di Ambon, punya 70 kapal di Biak. Izinnya izin daerah, murah meriah, BBM-nya disubsidi pemerintah tapi itu haknya nelayan lokal yang pakai 3 GT dan 5 GT,” tegasnya.
Karenanya, Trenggono melalui inisiasi yang tertuang dalam PP 11 Tahun 2023 tentang PIT berbasis kuota mengatur tentang hak dan pembagian wilayah penangkapan ikan.
Baca juga: KKP siap awasi penangkapan ikan di Indonesia menggunakan satelit
Baca juga: KKP catat 10.130 kapal berpotensi melanggar jalur penangkapan ikan
Baca juga: Sesditjen Perikanan Tangkap akui tunda program PIT berbasis kuota
Pewarta: Sinta Ambarwati
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2023
Tags: