Jumhur optimistis satinah terbebas dari hukuman pancung
20 Juli 2013 19:01 WIB
Kepala BNP2TKI Moh Jumhur Hidayat mengunjungi dan memberikan bantuan kepada keluarga Satinah, TKI asal yang terancam Ungaran, Kabupaten Semarang, Jateng, Sabtu (20/7) yang terancam hukuman mati di Arab Saudi. (ANTARA/Budi Setiawanto)
Ungaran (ANTARA News) - Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Moh Jumhur Hidayat menyatakan optimistis TKI asal Ungaran, Kabupaten Semarang, Jateng, bernama Satinah binti Jumadi Amad terbebas dari eksekusi hukuman pancung.
"Perundingan antara pengacara kita dengan keluarga korban dalam pembayaran diyat, keputusannya pada Agustus, kini mendekati titik temu," kata Jumhur saat mengunjungi keluarga Satinah di Dusun Mruten Wetan, RT 1, RW 2, Desa Kalisidi, Kecamatan Ungaran, Kabupaten Semarang, Jateng, Sabtu.
Jumhur diterima kakak kandung Satinah, Pairi dan istrinya (Sri Sulastri) serta anaknya (Nur Afriani).
Satinah bekerja di Arab Saudi di daerah Al Gaseem. Ia telah dijatuhi vonis qishash (pancung) pada tanggal 13 September 2011 karena membunuh majikannya, Nura Al Garib, dan mengambil uang sebesar 37.970 riyal Saudi pada bulan Juni 2007.
Satinah mengakui perbuatannya tanpa ada niatan membunuh dan hanya ingin membalas perlakuan kasar majikan kepadanya.
Pihak KBRI di Riyadh telah melakukan pendampingan dan mengupayakan agar TKI Satinah mendapatkan pemaafan dari keluarga korban meski sejak awal pihak keluarga korban tetap menginginkan pelaksanaan hukum qishash dan tidak melepaskan tuntutannya terhadap Satinah.
Sejak 24 Oktober 2010 didapat informasi bahwa berkas kasus Satinah telah dimintakan persetujuan eksekusi kepada Raja Arab Saudi dan KBRI segera meminta pemerintah Arab Saudi untuk menunda eksekusi karena KBRI tengah melakukkan upaya pemaafan.
Pada tanggal 8 Pebruari 2011, Gubernur Gaseem, Prince Faisal bin Bandar bin Abdul Aziz Al Saud, telah memanggil ahli waris korban menanyakan kesediaan memberikan pemaafan kepada terpidana Satinah.
Pada tanggal 11 Juni 2011, Gubernur Gaseem telah memperpanjang kembali penundaan eksekusi Satinah (yang sedianya akan dieksekusi pada tanggal 21 Juni 2011) karena masih ada upaya pemaafan atas permintaan KBRI.
Pada tanggal 6 Juli 2011, KBRI telah bertemu dengan Wakil Gubernur Gaseem, Prince Faisal bin Misy`al bin Saud bin Abdul Aziz Al Saud, menyerahkan surat kesanggupan untuk bertemu dengan ahli waris dan membayar uang diyat.
Setelah satgas dibentuk oleh Pemerintah, langsung Ketua Satgas Maftuh Basyuni dan pihak KBRI telah menemui wakil ahli waris korban didampingi staf Gubernur Gaseem, dan saat itu memperoleh jawaban permohonan maaf dengan diyat akan dipertimbangkan oleh pihak keluarga korban.
Dalam pertemuan terakhir pada tanggal 23 Oktober 2011 yang dilakukan Maftuh Basyuni dengan pihak Wakil keluarga ahli waris korban, Khalid bin Saleh bin Khalaf Al Waqeet, dengan mediasi Gubernur Gaseem, Pangeran Faisal bin Bandar bin Abdul Aziz Al Saud. Pihak keluarga korban menyatakan akan memberikan maaf asal mendapat imbalan diyat 10 juta riyal dalam jangka waktu satu tahun dua bulan terhitung sejak 23 Oktober 2011, yaitu 14 Desember 2012.
Setelah perundingan, pihak keluarga korban yang dibunuh oleh Satinah telah memberikan batas waktu sampai dengan 14 Desember 2012 untuk diyat (uang darah) sebesar tujuh juta riyal atau Rp21 miliar.
"Pemerintah secara optimal akan menyelamatkan Satinah," kata Jumhur yang mengunjungi keluarga Satinah dalam rangkaian Safari Ramadan VI BNP2TKI.
Jumhur memberi santunan kepada anak Satinah, Nur Afriani, yang berusia 19 tahun dan telah lulus SMA.
Kepala BNP2TKI juga membantu agar Nur bisa bekerja sebagai tenaga honorer administrasi di Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI (BP3TKI) Semarang.
(B009/D007)
"Perundingan antara pengacara kita dengan keluarga korban dalam pembayaran diyat, keputusannya pada Agustus, kini mendekati titik temu," kata Jumhur saat mengunjungi keluarga Satinah di Dusun Mruten Wetan, RT 1, RW 2, Desa Kalisidi, Kecamatan Ungaran, Kabupaten Semarang, Jateng, Sabtu.
Jumhur diterima kakak kandung Satinah, Pairi dan istrinya (Sri Sulastri) serta anaknya (Nur Afriani).
Satinah bekerja di Arab Saudi di daerah Al Gaseem. Ia telah dijatuhi vonis qishash (pancung) pada tanggal 13 September 2011 karena membunuh majikannya, Nura Al Garib, dan mengambil uang sebesar 37.970 riyal Saudi pada bulan Juni 2007.
Satinah mengakui perbuatannya tanpa ada niatan membunuh dan hanya ingin membalas perlakuan kasar majikan kepadanya.
Pihak KBRI di Riyadh telah melakukan pendampingan dan mengupayakan agar TKI Satinah mendapatkan pemaafan dari keluarga korban meski sejak awal pihak keluarga korban tetap menginginkan pelaksanaan hukum qishash dan tidak melepaskan tuntutannya terhadap Satinah.
Sejak 24 Oktober 2010 didapat informasi bahwa berkas kasus Satinah telah dimintakan persetujuan eksekusi kepada Raja Arab Saudi dan KBRI segera meminta pemerintah Arab Saudi untuk menunda eksekusi karena KBRI tengah melakukkan upaya pemaafan.
Pada tanggal 8 Pebruari 2011, Gubernur Gaseem, Prince Faisal bin Bandar bin Abdul Aziz Al Saud, telah memanggil ahli waris korban menanyakan kesediaan memberikan pemaafan kepada terpidana Satinah.
Pada tanggal 11 Juni 2011, Gubernur Gaseem telah memperpanjang kembali penundaan eksekusi Satinah (yang sedianya akan dieksekusi pada tanggal 21 Juni 2011) karena masih ada upaya pemaafan atas permintaan KBRI.
Pada tanggal 6 Juli 2011, KBRI telah bertemu dengan Wakil Gubernur Gaseem, Prince Faisal bin Misy`al bin Saud bin Abdul Aziz Al Saud, menyerahkan surat kesanggupan untuk bertemu dengan ahli waris dan membayar uang diyat.
Setelah satgas dibentuk oleh Pemerintah, langsung Ketua Satgas Maftuh Basyuni dan pihak KBRI telah menemui wakil ahli waris korban didampingi staf Gubernur Gaseem, dan saat itu memperoleh jawaban permohonan maaf dengan diyat akan dipertimbangkan oleh pihak keluarga korban.
Dalam pertemuan terakhir pada tanggal 23 Oktober 2011 yang dilakukan Maftuh Basyuni dengan pihak Wakil keluarga ahli waris korban, Khalid bin Saleh bin Khalaf Al Waqeet, dengan mediasi Gubernur Gaseem, Pangeran Faisal bin Bandar bin Abdul Aziz Al Saud. Pihak keluarga korban menyatakan akan memberikan maaf asal mendapat imbalan diyat 10 juta riyal dalam jangka waktu satu tahun dua bulan terhitung sejak 23 Oktober 2011, yaitu 14 Desember 2012.
Setelah perundingan, pihak keluarga korban yang dibunuh oleh Satinah telah memberikan batas waktu sampai dengan 14 Desember 2012 untuk diyat (uang darah) sebesar tujuh juta riyal atau Rp21 miliar.
"Pemerintah secara optimal akan menyelamatkan Satinah," kata Jumhur yang mengunjungi keluarga Satinah dalam rangkaian Safari Ramadan VI BNP2TKI.
Jumhur memberi santunan kepada anak Satinah, Nur Afriani, yang berusia 19 tahun dan telah lulus SMA.
Kepala BNP2TKI juga membantu agar Nur bisa bekerja sebagai tenaga honorer administrasi di Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI (BP3TKI) Semarang.
(B009/D007)
Pewarta: Budi Setiawanto
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013
Tags: