Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan LPSK teken MoU lindungi pembela HAM
7 Desember 2023 19:51 WIB
Komnas HAM, Komnas Perempuan, serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menandatangani nota kesepahaman (MoU) tentang Mekanisme Respons Cepat Lembaga HAM Nasional untuk Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Pembela HAM di Bogor, Jawa Barat, Kamis (7/12/2023). ANTARA/HO-Komnas HAM.
Jakarta (ANTARA) - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komnas Perempuan, dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menandatangani nota kesepahaman tentang Mekanisme Respons Cepat Lembaga HAM Nasional untuk Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Pembela HAM.
Komisioner Pengaduan Komnas HAM Hari Kurniawan menjelaskan bahwa kerja sama mekanisme respons cepat untuk melindungi pembela HAM merupakan komitmen ketiga lembaga untuk mengambil langkah strategis dan bersinergi dalam memenuhi hak-hak pembela HAM.
"Mekanisme respons cepat ini bertujuan memberikan perlindungan darurat bagi pembela HAM yang mengalami ancaman, kekerasan, dan/atau kriminalisasi dalam menjalankan kerja-kerjanya," kata Hari saat jumpa pers di sela Konferensi Nasional Pembela HAM di Bogor, Jawa Barat, sebagaimana dipantau secara daring dari Jakarta, Kamis.
Baca juga: Komnas HAM: Pembela HAM masih berada pada situasi memprihatinkan
Kehadiran mekanisme cepat tersebut diharapkan dapat memotong rantai koordinasi berjenjang dan menetapkan pembagian peran serta protokol komunikasi bersama, sesuai dengan tugas dan kewenangan masing-masing lembaga.
Hari menjelaskan bagi pembela HAM yang menghadapi situasi darurat karena kerja-kerja pemajuan dan penegakan HAM bisa melakukan pengaduan kepada salah satu lembaga untuk mendapatkan layanan dari Komnas HAM, Komnas Perempuan, maupun LPSK.
"Kehadiran mekanisme respons cepat untuk perlindungan dan keamanan pembela HAM diharapkan dapat mengisi ruang kosong penanganan, pemulihan dan kebijakan operasional perlindungan serta pemenuhan hak-hak pembela HAM yang inklusif serta mendorong para pembela HAM untuk terus berkontribusi dalam pemajuan dan penegakan HAM di Indonesia," katanya.
Baca juga: Pemerintah diminta terbitkan regulasi lindungi perempuan pembela HAM
Dijelaskan Hari, pembela HAM, termasuk perempuan pembela HAM, di Indonesia sering berada dalam kondisi memprihatinkan. Dari tahun ke tahun, pembela HAM menghadapi dinamika dan tantangan yang kian beragam.
"Mereka kerap menghadapi risiko dan tantangan yang serius bahkan mengarah pada tubuh, identitas gender atau seksualnya," imbuh Hari.
Ia menyebut Komnas HAM dalam rentang waktu tahun 2020 hingga Agustus 2023 menerima dan memproses sebanyak 39 aduan terkait dugaan pelanggaran HAM terhadap pembela HAM.
Baca juga: Perempuan pembela HAM rentan alami kekerasan daripada pria pembela HAM
Komnas Perempuan juga mencatat bahwa dalam rentang 2013–2023 terdapat 101 kasus kekerasan terhadap perempuan pembela HAM yang diadukan secara langsung. Kekerasan tersebut menyasar pada tubuh, seksualitas, atau identitas yang melekat pada dirinya sebagai perempuan, baik secara langsung ataupun lewat media sosial.
Di sisi lain, sambung Hari, LPSK yang bertugas memberikan perlindungan bagi saksi dan
korban tindak pidana, mengalami keterbatasan untuk menjangkau pembela HAM yang berstatus hukum sebagai tersangka dan terdakwa sebab status hukum tersebut bukan menjadi subjek perlindungan LPSK.
"Di tengah keterbatasan regulasi atau hukum positif yang secara khusus memberikan perlindungan bagi pembela HAM, Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan LPSK berkomitmen mengambil langkah strategis dan bersinergi dalam usaha perlindungan dan pemenuhan hak-hak pembela HAM," ujarnya.
Baca juga: Komnas perempuan: Perempuan Pembela HAM jadi sasaran kekerasan siber
Baca juga: Komnas HAM: Kekosongan hukum jadi kendala perlindungan pembela HAM
Komisioner Pengaduan Komnas HAM Hari Kurniawan menjelaskan bahwa kerja sama mekanisme respons cepat untuk melindungi pembela HAM merupakan komitmen ketiga lembaga untuk mengambil langkah strategis dan bersinergi dalam memenuhi hak-hak pembela HAM.
"Mekanisme respons cepat ini bertujuan memberikan perlindungan darurat bagi pembela HAM yang mengalami ancaman, kekerasan, dan/atau kriminalisasi dalam menjalankan kerja-kerjanya," kata Hari saat jumpa pers di sela Konferensi Nasional Pembela HAM di Bogor, Jawa Barat, sebagaimana dipantau secara daring dari Jakarta, Kamis.
Baca juga: Komnas HAM: Pembela HAM masih berada pada situasi memprihatinkan
Kehadiran mekanisme cepat tersebut diharapkan dapat memotong rantai koordinasi berjenjang dan menetapkan pembagian peran serta protokol komunikasi bersama, sesuai dengan tugas dan kewenangan masing-masing lembaga.
Hari menjelaskan bagi pembela HAM yang menghadapi situasi darurat karena kerja-kerja pemajuan dan penegakan HAM bisa melakukan pengaduan kepada salah satu lembaga untuk mendapatkan layanan dari Komnas HAM, Komnas Perempuan, maupun LPSK.
"Kehadiran mekanisme respons cepat untuk perlindungan dan keamanan pembela HAM diharapkan dapat mengisi ruang kosong penanganan, pemulihan dan kebijakan operasional perlindungan serta pemenuhan hak-hak pembela HAM yang inklusif serta mendorong para pembela HAM untuk terus berkontribusi dalam pemajuan dan penegakan HAM di Indonesia," katanya.
Baca juga: Pemerintah diminta terbitkan regulasi lindungi perempuan pembela HAM
Dijelaskan Hari, pembela HAM, termasuk perempuan pembela HAM, di Indonesia sering berada dalam kondisi memprihatinkan. Dari tahun ke tahun, pembela HAM menghadapi dinamika dan tantangan yang kian beragam.
"Mereka kerap menghadapi risiko dan tantangan yang serius bahkan mengarah pada tubuh, identitas gender atau seksualnya," imbuh Hari.
Ia menyebut Komnas HAM dalam rentang waktu tahun 2020 hingga Agustus 2023 menerima dan memproses sebanyak 39 aduan terkait dugaan pelanggaran HAM terhadap pembela HAM.
Baca juga: Perempuan pembela HAM rentan alami kekerasan daripada pria pembela HAM
Komnas Perempuan juga mencatat bahwa dalam rentang 2013–2023 terdapat 101 kasus kekerasan terhadap perempuan pembela HAM yang diadukan secara langsung. Kekerasan tersebut menyasar pada tubuh, seksualitas, atau identitas yang melekat pada dirinya sebagai perempuan, baik secara langsung ataupun lewat media sosial.
Di sisi lain, sambung Hari, LPSK yang bertugas memberikan perlindungan bagi saksi dan
korban tindak pidana, mengalami keterbatasan untuk menjangkau pembela HAM yang berstatus hukum sebagai tersangka dan terdakwa sebab status hukum tersebut bukan menjadi subjek perlindungan LPSK.
"Di tengah keterbatasan regulasi atau hukum positif yang secara khusus memberikan perlindungan bagi pembela HAM, Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan LPSK berkomitmen mengambil langkah strategis dan bersinergi dalam usaha perlindungan dan pemenuhan hak-hak pembela HAM," ujarnya.
Baca juga: Komnas perempuan: Perempuan Pembela HAM jadi sasaran kekerasan siber
Baca juga: Komnas HAM: Kekosongan hukum jadi kendala perlindungan pembela HAM
Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: Didik Kusbiantoro
Copyright © ANTARA 2023
Tags: