Potensi garam Bali belum digarap maksimal
17 Juli 2013 19:07 WIB
lustrasi Panen Garam Seorang petani memanen garam pada tambak garam miliknya di Kawasan Penggaraman Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (4/4). (FOTO ANTARA/Mohamad Hamzah) ()
Denpasar (ANTARA News) - Anggota Komisi IV DPR Anak Agung Bagus Jelantik Sanjaya mengatakan potensi produk garam di Bali, khususnya di tiga kabupaten yaitu Karangasem, Klungkung dan Buleleng belum digarap secara maksimal karena kurang sentuhan teknologi.
"Potensi produksi garam di Bali belum digarap optimal karena pengerjaannya masih secara tradisional, kurang sentuhan teknologi. Karenanya itu pemerintah kabupaten dan kelompok warga perlu didorong menggarap potensi itu," kata Jelantik Sanjaya di Denpasar, Rabu.
Ia mengatakan potensi produksi garam di beberapa daerah di Bali cukup tinggi. Seperti di Kabupaten Karangasem, produksi garam sudah mencapai 920 ton per tahun di lahan seluas delapan hektare. Di Bulelang produksi garam mencapai 5.855 ton per tahun di atas lahan 149 hektare.
Kedua daerah itu sudah masuk dalam program pemberdayaan usaha garam rakyat (Pugar) dari Kementerian Kelautan dan Perikanan sehingga terus mengalami peningkatan produksi tiap tahun.
"Di Kabupaten Klungkung potensi tinggi, namun produksi garam yang dihasilkan warga masih kecil karena belum digarap secara serius," katanya.
Menurut politikus Partai Gerindra itu mengatakan produksi garam di Bali masih digunakan sebagian besar mencukupi kebutuhan di Pulau Dewata dan sisanya dikirim ke luar Bali maupun luar negeri.
Ia mencontohkan, garam Tejakula di Kabupaten Buleleng sudah ada yang diekspor ke Jepang untuk bahan pembuatan kosmetik dan obat-obatan. Karena di ekspor, tentu harganya lebih mahal mencapai Rp10 ribu per kilogram dibanding garam biasa yang hanya untuk konsumsi dalam negeri berkisar Rp2.000 hingga Rp3.000 per kilogram.
"Potensi besar tetapi belum digarap optimal. Jadi kami minta kelompok masyarakat petani garam pemerintah daerah proaktif melakukan pengembangan wilayah dan menggali potensi sehingga meningkatkan kesejahteraan masyarakat," kata politikus asal Kabupaten Karangasem itu.
Dikatakan, secara nasional kebutuhan garam konsumsi dalam negeri sudah bisa dipenuhi dengan produksi sendiri. Bahkan Indonesia sudah surplus garam konsumsi sebesar 1.538.616 ton. Sementara untuk garam industri, Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri dan terpaksa harus mengimpor dari negara lain.
"Sebanyak 119.900 ton garam impor untuk memenuhi kebutuhan garam industri. Namun di banding dua tahun sebelumnya, jumlah impor garam industri turun drastis dari 60 persen menjadi 30 sampai 40 persen," katanya.
Dengan kondisi seperti ini pemerintah terus berusaha menggenjot produksi garam industri sehingga tidak perlu mengimpor lagi.
"Sekarang kita sedang menggenjot produksi garam industri dan beberapa daerah di Bali seperti Karangasem khususnya di wilayah Amed berpeluang untuk itu," katanya.
(I020/Z003)
"Potensi produksi garam di Bali belum digarap optimal karena pengerjaannya masih secara tradisional, kurang sentuhan teknologi. Karenanya itu pemerintah kabupaten dan kelompok warga perlu didorong menggarap potensi itu," kata Jelantik Sanjaya di Denpasar, Rabu.
Ia mengatakan potensi produksi garam di beberapa daerah di Bali cukup tinggi. Seperti di Kabupaten Karangasem, produksi garam sudah mencapai 920 ton per tahun di lahan seluas delapan hektare. Di Bulelang produksi garam mencapai 5.855 ton per tahun di atas lahan 149 hektare.
Kedua daerah itu sudah masuk dalam program pemberdayaan usaha garam rakyat (Pugar) dari Kementerian Kelautan dan Perikanan sehingga terus mengalami peningkatan produksi tiap tahun.
"Di Kabupaten Klungkung potensi tinggi, namun produksi garam yang dihasilkan warga masih kecil karena belum digarap secara serius," katanya.
Menurut politikus Partai Gerindra itu mengatakan produksi garam di Bali masih digunakan sebagian besar mencukupi kebutuhan di Pulau Dewata dan sisanya dikirim ke luar Bali maupun luar negeri.
Ia mencontohkan, garam Tejakula di Kabupaten Buleleng sudah ada yang diekspor ke Jepang untuk bahan pembuatan kosmetik dan obat-obatan. Karena di ekspor, tentu harganya lebih mahal mencapai Rp10 ribu per kilogram dibanding garam biasa yang hanya untuk konsumsi dalam negeri berkisar Rp2.000 hingga Rp3.000 per kilogram.
"Potensi besar tetapi belum digarap optimal. Jadi kami minta kelompok masyarakat petani garam pemerintah daerah proaktif melakukan pengembangan wilayah dan menggali potensi sehingga meningkatkan kesejahteraan masyarakat," kata politikus asal Kabupaten Karangasem itu.
Dikatakan, secara nasional kebutuhan garam konsumsi dalam negeri sudah bisa dipenuhi dengan produksi sendiri. Bahkan Indonesia sudah surplus garam konsumsi sebesar 1.538.616 ton. Sementara untuk garam industri, Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri dan terpaksa harus mengimpor dari negara lain.
"Sebanyak 119.900 ton garam impor untuk memenuhi kebutuhan garam industri. Namun di banding dua tahun sebelumnya, jumlah impor garam industri turun drastis dari 60 persen menjadi 30 sampai 40 persen," katanya.
Dengan kondisi seperti ini pemerintah terus berusaha menggenjot produksi garam industri sehingga tidak perlu mengimpor lagi.
"Sekarang kita sedang menggenjot produksi garam industri dan beberapa daerah di Bali seperti Karangasem khususnya di wilayah Amed berpeluang untuk itu," katanya.
(I020/Z003)
Pewarta: I Komang Suparta
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013
Tags: