Pakar UGM: Pembersihan material longsor cegah banjir bandang
6 Desember 2023 22:10 WIB
Anak-anak berjalan di depan rumahnya yang terendam banjir di Desa Napai, Woyla Barat, Aceh Barat, Aceh, Sabtu (5/11/2022). ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/wsj.
Yogyakarta (ANTARA) - Pakar Manajemen Air Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Agus Maryono mengatakan pembersihan material longsor di sepanjang aliran sungai perlu digencarkan untuk mencegah risiko banjir bandang di awal musim hujan.
"Yang sering terjadi, pemicu banjir bandang adalah longsor. Kalau lokasi dimana ada sumbatan ditemukan, masyarakat bisa segera digerakkan untuk membersihkan. Jika aliran lancar kembali maka risiko banjir bandang akan hilang," kata Agus Maryono di Kampus UGM, Yogyakarta, Rabu.
Menurut dia, langkah antisipasi secara sistematis perlu mulai dilakukan, salah satunya dengan menggerakkan berbagai elemen masyarakat untuk memeriksa timbunan material longsoran di sepanjang aliran sungai yang berpotensi terbawa arus deras sungai.
Sungai berukuran kecil dan menengah di daerah berbukit dengan tebing yang terjal, kata Agus, memiliki risiko longsor dan banjir bandang yang lebih tinggi dibandingkan dengan sungai-sungai besar.
Selain itu, risiko banjir bandang juga lebih tinggi pada sungai yang sebelumnya pernah terjadi banjir bandang.
Menurut Agus, kegiatan susur dan pengecekan sungai perlu dilakukan utamanya di sungai-sungai yang melewati permukiman atau perkampungan secara bergotong royong antara masyarakat, pemerintah, dan dunia usaha.
"Masyarakat diajak dan hasilnya didiskusikan dengan masyarakat agar mereka paham dan merasa memiliki sungai tersebut. Jika tidak ada banjir bandang masyarakat sejahtera dan dapat memanfaatkan sungai untuk wisata, perikanan, hingga pertanian," kata dia.
Di Yogyakarta sendiri, lanjutnya, risiko banjir bandang dapat ditemukan di sejumlah sungai, termasuk Sungai Code.
Dia pun mengapresiasi keberadaan berbagai komunitas sungai yang turut berkontribusi mengedukasi dan menggerakkan masyarakat untuk menjaga lingkungan sungai dan mengantisipasi berbagai risiko permasalahan.
Menurut Kepala Pusat Studi Bencana UGM Anggri Setiawan, pemerintah sebenarnya telah cukup hadir dalam mitigasi bencana hidrometeorologi dengan berbagai peraturan perundang-undangan maupun kelembagaan.
"Negara kita secara sistem sebetulnya sudah baik, semua sudah ada bagiannya. Yang perlu dioptimalkan adalah aksi antisipasi, yang saat ini juga sedang digalakkan di tingkat internasional dan di tingkat nasional sedang dirumuskan pedomannya," jelas dia.
Ia menilai pergantian musim menjadi momen baik untuk menambah literasi masyarakat terkait fenomena bencana hidrometeorologi yang menurutnya relatif bisa diprediksi dengan berbagai metode.
Dengan sinergi yang baik antara berbagai pemangku kepentingan, menurut dia, risiko bencana dapat diantisipasi dan dampaknya bisa diminimalkan.
"Bencana bisa ditangani secara pentahelix. Mari kita dorong aksi antisipasi dengan menyajikan contoh sukses untuk melengkapi manajemen bencana yang sudah ada," kata Anggri.
Baca juga: Hujan deras, 1.247 warga terdampak banjir bandang di Dompu NTT
Baca juga: BPBD: Penyebab banjir bandang di Kudus akibat hutannya gundul
Baca juga: Hilangnya vegetasi Merbabu picu banjir bandang di Kabupaten Semarang
"Yang sering terjadi, pemicu banjir bandang adalah longsor. Kalau lokasi dimana ada sumbatan ditemukan, masyarakat bisa segera digerakkan untuk membersihkan. Jika aliran lancar kembali maka risiko banjir bandang akan hilang," kata Agus Maryono di Kampus UGM, Yogyakarta, Rabu.
Menurut dia, langkah antisipasi secara sistematis perlu mulai dilakukan, salah satunya dengan menggerakkan berbagai elemen masyarakat untuk memeriksa timbunan material longsoran di sepanjang aliran sungai yang berpotensi terbawa arus deras sungai.
Sungai berukuran kecil dan menengah di daerah berbukit dengan tebing yang terjal, kata Agus, memiliki risiko longsor dan banjir bandang yang lebih tinggi dibandingkan dengan sungai-sungai besar.
Selain itu, risiko banjir bandang juga lebih tinggi pada sungai yang sebelumnya pernah terjadi banjir bandang.
Menurut Agus, kegiatan susur dan pengecekan sungai perlu dilakukan utamanya di sungai-sungai yang melewati permukiman atau perkampungan secara bergotong royong antara masyarakat, pemerintah, dan dunia usaha.
"Masyarakat diajak dan hasilnya didiskusikan dengan masyarakat agar mereka paham dan merasa memiliki sungai tersebut. Jika tidak ada banjir bandang masyarakat sejahtera dan dapat memanfaatkan sungai untuk wisata, perikanan, hingga pertanian," kata dia.
Di Yogyakarta sendiri, lanjutnya, risiko banjir bandang dapat ditemukan di sejumlah sungai, termasuk Sungai Code.
Dia pun mengapresiasi keberadaan berbagai komunitas sungai yang turut berkontribusi mengedukasi dan menggerakkan masyarakat untuk menjaga lingkungan sungai dan mengantisipasi berbagai risiko permasalahan.
Menurut Kepala Pusat Studi Bencana UGM Anggri Setiawan, pemerintah sebenarnya telah cukup hadir dalam mitigasi bencana hidrometeorologi dengan berbagai peraturan perundang-undangan maupun kelembagaan.
"Negara kita secara sistem sebetulnya sudah baik, semua sudah ada bagiannya. Yang perlu dioptimalkan adalah aksi antisipasi, yang saat ini juga sedang digalakkan di tingkat internasional dan di tingkat nasional sedang dirumuskan pedomannya," jelas dia.
Ia menilai pergantian musim menjadi momen baik untuk menambah literasi masyarakat terkait fenomena bencana hidrometeorologi yang menurutnya relatif bisa diprediksi dengan berbagai metode.
Dengan sinergi yang baik antara berbagai pemangku kepentingan, menurut dia, risiko bencana dapat diantisipasi dan dampaknya bisa diminimalkan.
"Bencana bisa ditangani secara pentahelix. Mari kita dorong aksi antisipasi dengan menyajikan contoh sukses untuk melengkapi manajemen bencana yang sudah ada," kata Anggri.
Baca juga: Hujan deras, 1.247 warga terdampak banjir bandang di Dompu NTT
Baca juga: BPBD: Penyebab banjir bandang di Kudus akibat hutannya gundul
Baca juga: Hilangnya vegetasi Merbabu picu banjir bandang di Kabupaten Semarang
Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2023
Tags: