Kementan sebut masalah pupuk penting tapi bukan satu satunya
6 Desember 2023 20:55 WIB
Petani menyemprotkan pupuk cair pada tanaman tomatnya di Desa Porame, Sigi, Sulawesi Tengah, Selasa (24/10/2023). Kementerian Pertanian memastikan ketersediaan pupuk, khususnya pupuk bersubsidi di setiap kios-kios tani di seluruh Indonesia menjelang musim tanam November-Desember mendatang. ANTARA FOTO/Basri Marzuki/foc.
Jakarta (ANTARA) - Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Tanaman Pangan (PPHTP) Kementerian Pertanian, Batara Siagian mengatakan pupuk merupakan indikator penting namun bukan faktor satu-satunya dalam meningkatkan produktivitas pertanian.
"Yang pertama adalah benih berkualitas, kedua ketersediaan air, dan ketiga adalah pupuk," kata Direktur PPHTP Kementan Batara di Jakarta, Rabu.
Terkait faktor air, Batara menjelaskan bahwa kebutuhan air tentunya sesuai dengan lahan. Terdapat beberapa tipologi lahan yang harus dipahami, sehingga perlakuannya pun pasti berbeda-beda.
"Tipologi lahan kita ada yang irigasi, rawa, tadah hujan, dan ada lahan kering. Treatment-nya akan beda-beda," ungkapnya.
Berbicara tentang pupuk, Batara menyebut ketergantungan terhadap pupuk juga terkait kebijakan masa lalu, termasuk kaitannya dengan kebutuhan impor yang membuat ketersediaan pupuk ikut terkena imbas.
"Ibaratnya kalau kita bicara masa lalu, ketika penyediaan pupuk anorganik itu masif, maka kita jadi ketergantungan. Sehingga ketika ada perang Rusia-Ukraina, karena bahan baku (pupuk) impor, maka jadi masalah. Kalau begini terus maka kita harus mengembangkan pupuk lokal," tuturnya.
Peneliti Nagari Institute dari UI Dian Revindo menuturkan masalah produktivitas pertanian perlu dibedah secara lebih jauh. Diantaranya tentang fenomena anak muda saat ini yang cenderung tidak suka bertani, lalu terkait kesejahteraan petani, serta alih fungsi lahan yang sangat besar.
Selain itu, lanjutnya, fakta produk pertanian Indonesia juga sangat dipengaruhi pasar global. Sementara petani Indonesia tidak fokus pada hasil pangan unggulan dalam negeri.
"Negara di dunia yang pro perdagangan bebas sekalipun, ketika berbicara pangan semua menjadi inward looking, memikirkan kepentingan negara sendiri," jelas Revindo.
Bahkan, ia menyebut ada beberapa negara propasar bebas yang membuat kebijakan menghambat ekspor, karena memikirkan kebutuhan dalam negerinya. Di satu sisi, impor pangan Indonesia melebihi 15 miliar dolar AS dalam setahun.
Revindo juga menyarankan agar petani kecil tak tergoda menjual tanah karena jika lahan sudah menjadi lahan komoditas maka fungsinya akan berkurang sehingga perlu didorong pertanian kolektif.
"Semua menuntut pertanian lestari, tapi perlu dipikirkan bagaimana kesiapan petani. Maka menurut kami lebih baik peningkatan produktivitas dulu, kemudian baru pertanian lestari dalam jangka selanjutnya," ujar Revindo.
Baca juga: Bapanas tegaskan pupuk harus tepat sasaran sampai ke pengguna
Baca juga: Pupuk Indonesia teken perjanjian pengembangan green hydrogen di Gresik
Baca juga: Pupuk Indonesia-PLN teken perjanjian studi pengembangan green ammonia
"Yang pertama adalah benih berkualitas, kedua ketersediaan air, dan ketiga adalah pupuk," kata Direktur PPHTP Kementan Batara di Jakarta, Rabu.
Terkait faktor air, Batara menjelaskan bahwa kebutuhan air tentunya sesuai dengan lahan. Terdapat beberapa tipologi lahan yang harus dipahami, sehingga perlakuannya pun pasti berbeda-beda.
"Tipologi lahan kita ada yang irigasi, rawa, tadah hujan, dan ada lahan kering. Treatment-nya akan beda-beda," ungkapnya.
Berbicara tentang pupuk, Batara menyebut ketergantungan terhadap pupuk juga terkait kebijakan masa lalu, termasuk kaitannya dengan kebutuhan impor yang membuat ketersediaan pupuk ikut terkena imbas.
"Ibaratnya kalau kita bicara masa lalu, ketika penyediaan pupuk anorganik itu masif, maka kita jadi ketergantungan. Sehingga ketika ada perang Rusia-Ukraina, karena bahan baku (pupuk) impor, maka jadi masalah. Kalau begini terus maka kita harus mengembangkan pupuk lokal," tuturnya.
Peneliti Nagari Institute dari UI Dian Revindo menuturkan masalah produktivitas pertanian perlu dibedah secara lebih jauh. Diantaranya tentang fenomena anak muda saat ini yang cenderung tidak suka bertani, lalu terkait kesejahteraan petani, serta alih fungsi lahan yang sangat besar.
Selain itu, lanjutnya, fakta produk pertanian Indonesia juga sangat dipengaruhi pasar global. Sementara petani Indonesia tidak fokus pada hasil pangan unggulan dalam negeri.
"Negara di dunia yang pro perdagangan bebas sekalipun, ketika berbicara pangan semua menjadi inward looking, memikirkan kepentingan negara sendiri," jelas Revindo.
Bahkan, ia menyebut ada beberapa negara propasar bebas yang membuat kebijakan menghambat ekspor, karena memikirkan kebutuhan dalam negerinya. Di satu sisi, impor pangan Indonesia melebihi 15 miliar dolar AS dalam setahun.
Revindo juga menyarankan agar petani kecil tak tergoda menjual tanah karena jika lahan sudah menjadi lahan komoditas maka fungsinya akan berkurang sehingga perlu didorong pertanian kolektif.
"Semua menuntut pertanian lestari, tapi perlu dipikirkan bagaimana kesiapan petani. Maka menurut kami lebih baik peningkatan produktivitas dulu, kemudian baru pertanian lestari dalam jangka selanjutnya," ujar Revindo.
Baca juga: Bapanas tegaskan pupuk harus tepat sasaran sampai ke pengguna
Baca juga: Pupuk Indonesia teken perjanjian pengembangan green hydrogen di Gresik
Baca juga: Pupuk Indonesia-PLN teken perjanjian studi pengembangan green ammonia
Pewarta: Kuntum Khaira Riswan
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2023
Tags: