Ketergantungan industri pada energi fosil sangat tinggi
15 Juli 2013 23:35 WIB
ilustrasi Dampak Langka Solar Sejumlah anak bermain diantara perahu nelayan yang tertambat di kawasan muara sungai Kecamatan Pasir Sakti, Lampung Timur, Selasa (9/4). (FOTO ANTARA/Kristian Ali) ()
Jakarta (ANTARA News) - Staf ahli Menteri Perindustrian Bidang Penguatan Struktur Industri Achdiat Atmawinata mengatakan ketergantungan penggunaan energi fosil yang sangat tinggi di sektor industri merupakan salah satu tantangan karena sumber energi fosil semakin terbatas dan harganya relatif tinggi.
"Solar paling banyak digunakan oleh industri makanan, minuman dan tembakau. Batu bara dan gas alam banyak digunakan oleh industri semen dan barang galian bukan logam. Sedangkan listrik digunakan paling banyak industri tekstil, barang dari kulit dan alas kaki," kata Achdiat Atmawinata dalam siaran pers dari Pusat Komunikasi Publik Kemenperin diterima di Jakarta, Senin.
Kemenperin menjadi tuan rumah Sidang Anggota ke-10 Dewan Energi Nasional (DEN) yang membahas "Program Kebutuhan Energi untuk Sektor Industri" di Ruang Garuda, Kemenperin Jakarta.
Achdiat mengatakan ada beberapa tantangan dalam penggunaan gas alam adalah konsumsi domestik yang selalu meningkat sementara pasokan selalu kurang, sistem distribusi yang kurang memadai dan infrastruktur pipa gas yang belum tersebar ke seluruh pelosok dan belum berkembangnya receiving terminal gas berbentuk cair (LNG).
"Selain itu juga ada tantangan berupa penjualan gas ke luar negeri baik melalui pipa maupun LNG membuat kebutuhan gas dalam negeri kurang terpenuhi," tuturnya.
Di sisi lain, 70 persen produksi batu bara dipasarkan ke luar negeri sementara kebutuhan domestik cukup tinggi untuk diversifikasi energi. Sementara itu, diversifikasi energi terutama energi baru terbarukan masih sulit dilakukan karena biaya yang dikeluarkan jauh lebih mahal dan infrastruktur yang dibutuhkan belum memadai.
"Mahalnya harga energi terbarukan dibandingkan harga bahan bakar minyak bersubsidi membuat konsumen cenderung tetap memilih membeli sumber energi yang lebih murah," ujarnya.(*)
"Solar paling banyak digunakan oleh industri makanan, minuman dan tembakau. Batu bara dan gas alam banyak digunakan oleh industri semen dan barang galian bukan logam. Sedangkan listrik digunakan paling banyak industri tekstil, barang dari kulit dan alas kaki," kata Achdiat Atmawinata dalam siaran pers dari Pusat Komunikasi Publik Kemenperin diterima di Jakarta, Senin.
Kemenperin menjadi tuan rumah Sidang Anggota ke-10 Dewan Energi Nasional (DEN) yang membahas "Program Kebutuhan Energi untuk Sektor Industri" di Ruang Garuda, Kemenperin Jakarta.
Achdiat mengatakan ada beberapa tantangan dalam penggunaan gas alam adalah konsumsi domestik yang selalu meningkat sementara pasokan selalu kurang, sistem distribusi yang kurang memadai dan infrastruktur pipa gas yang belum tersebar ke seluruh pelosok dan belum berkembangnya receiving terminal gas berbentuk cair (LNG).
"Selain itu juga ada tantangan berupa penjualan gas ke luar negeri baik melalui pipa maupun LNG membuat kebutuhan gas dalam negeri kurang terpenuhi," tuturnya.
Di sisi lain, 70 persen produksi batu bara dipasarkan ke luar negeri sementara kebutuhan domestik cukup tinggi untuk diversifikasi energi. Sementara itu, diversifikasi energi terutama energi baru terbarukan masih sulit dilakukan karena biaya yang dikeluarkan jauh lebih mahal dan infrastruktur yang dibutuhkan belum memadai.
"Mahalnya harga energi terbarukan dibandingkan harga bahan bakar minyak bersubsidi membuat konsumen cenderung tetap memilih membeli sumber energi yang lebih murah," ujarnya.(*)
Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013
Tags: