Presiden kecewa soal harga daging
14 Juli 2013 16:20 WIB
Kenaikan Harga Awal Puasa Pedagang melayani pembeli di Pasar Senen, Jakarta Pusat, Rabu (10/7). Memasuki bulan puasa, sejumlah warga mengeluhkan kenaikan harga yang tinggi seperti daging sapi menjadi Rp. 100 ribu - Rp. 110 ribu per kg atau naik rata-rata Rp. 20 ribu, cabai rawit merah naik menjadi Rp. 80 ribu - Rp. 90 ribu per kg dari harga semula Rp. 30 ribu per kg, dan bawang merah Rp. 50 ribu per kg dimana sebelumnya Rp. 20 ribu per kg. (ANTARA FOTO/Andika Wahyu)
Jakarta (ANTARA News) - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan kekecewaannya atas upaya para menterinya dalam mengatasi melambungnya salah satu komoditas pangan menjelang Lebaran, yakni harga daging sapi di pasaran.
"Saya kira instruksi saya sudah sangat jelas, Wapres juga sangat jelas, Menko Perekonomian juga sudah memimpin beberapa pertemuan, tapi implementasinya lama. Terus terang saya tidak sabar, sama dengan tidak sabarnya rakyat," kata Presiden, menanggapi melambungnya harga daging sapi hingga di atas Rp90.000 per kilogram, di Jakarta, Sabtu.
Presiden menginginkan agar rapat yang membahas harga daging sapi itu harus berorientasi tindakan.
"Saya ingin dalam hitungan hari harus sudah ada perubahan, kita ingin tetapkan sasaran dan kita capai," katanya seraya meminta para menterinya memantau pasar dan media sosial.
Presiden menilai urusan harga daging sapi masih berputar di masalah birokrasi dan perizinan.
Menjelang Lebaran kali ini, pemerintah sepertinya hanya mengizinkan impor sejumlah komoditas pangan untuk menambah pasokan, melaksanakan pasar murah, campur tangan dalam menjaga ketersediaan bahan pangan dan mengatasi spekulan yang mencari keuntungan dari penderitaan masyarakat. Ritual tahunan Lebaran, sepertinya dihadapi secara biasa-biasa saja.
Tidak terlihat adanya kebijaksanaan jangka panjang pemerintah yang bersifat strategis yang memungkinkan semua kebutuhan pokok masyarakat bakal terpenuhi dengan harga yang wajar, khususnya menjelang perayaan hari-hari besar keagamaan, seperti Lebaran, pada masa mendatang.
Berdasarkan data Kementerian Koordinator Perekonomian, tercatat ada sejumlah komoditas pangan pokok yang mengalami kenaikan harga pada pekan kedua Juli 2013, sekitar awal puasa, dibandingkan Juni 2013.
Komoditas itu antara lain cabai rawit, yang meningkat 63,3 persen dari Rp27.721 per kilogram pada Juni 2012 menjadi Rp45.000 per kilogram pada Juni 2013, dan bawang merah naik 49,08 persen dari Rp32.341 per kilogram menjadi Rp48.213 per kilogram.
Selain itu, daging ayam ras naik 19,5 persen dari Rp28.893 per kilogram menjadi Rp34.493 per kilogram serta telur ayam ras naik 9,32 persen dari Rp18.211 per kilogram menjadi Rp19.908 per kilogram.
Sementara harga komoditas lain, seperti cabai merah, ikan bandeng dan daging sapi mengalami kenaikan hanya sebesar satu hingga lima persen.
Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) pada tahun ini diberi peran penting. BUMN itu diminta mengintervensi pasar guna menjamin ketersediaan daging sepanjang Ramadhan dan Idul Fitri hingga Natal dan Tahun Baru 2014. Bulog juga didesak untuk melakukan intervensi pasar demi menjamin ketersediaan beras.
"Bulog tidak perlu lagi meminta izin apabila ada tren kenaikan harga beras. Maka Bulog dipersilakan untuk melakukan intervensi pasar karena memiliki kemampuan itu," kata Menko Perekonomian Hatta Rajasa dan menambahkan ketersediaan beras di gudang Bulog mencapai 2,96 juta ton atau hampir tiga juta ton yang merupakan angka tertinggi selama lima tahun terakhir.
Berkaitan dengan kebijakan impor, pemerintah menjamin impor untuk memenuhi ketersediaan bahan pangan pokok itu tidak akan mengganggu masa panen yang mudur pada Agustus 2013. Impor hanya sebagai respons dari kekurangan pasokan bahan pokok menjelang masa panen pada Agustus.
Komoditas yang diimpor di antaranya cabai rawit dan bawang merah. Cabai rawit sempat diperdagangkan secara irasional karena harganya berdasarkan jumlah buah, bukan satuan yang berlaku selama ini seperti ons atau kilogram. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan (Kemendag), impor cabai sebanyak 9.715 ton dan bawang merah 16.781 ton untuk semester kedua mulai Juli hingga Desember 2013.
Tidak mampu
Melihat gejolak harga kebutuhan pokok tersebut, pengamat ekonomi Universitas Gajah Mada (UGM), Sri Adiningsih menilai, pemerintah tidak akan mampu mengendalikan kenaikan harga-harga pangan yang bergerak liar di pasar.
"Kita lihat tiap tahun, tidak usah ada kenaikan harga BBM, pemerintah selalu menyampaikan ketersediaan barang cukup. Pemerintah tidak pernah mengatakan ketersediaan tidak cukup. Tapi kenyataannya jelang Ramadhan dan Lebaran, harga-harga melonjak. Jadi berdasarkan sejarah tersebut, pemerintah tidak akan mampu kendalikan harga barang," katanya.
Pemerintah terkesan sangat takut mengintervensi pasar, sekalipun harga pasar itu sudah sangat irasional karena sebagian besar dipicu oleh aksi spekulasi. Paling-paling, kalau harga sudah tak terkendali, pemerintah cuma menggelar "operasi pasar".
Sementara ekonom Econit Hendri Saparini mengatakan, gejolak harga sejumlah komoditas pangan memang tak tertahankan dalam beberapa bulan terakhir. Ini akibat produksi dalam negeri yang tidak mampu mengimbangi permintaan. Belum lagi kalangan pejabat pemerintahan memiliki agenda terselubung yang membuat negeri ini kian tergantung kepada komoditas impor.
Saparini menyebutkan, pertanian di dalam negeri tidak diproteksi dan petani juga tidak dibantu dalam masalah teknologi maupun pembiayaan. Itu, katanya, kian mengondisikan Indonesia bergantung pada komoditas impor.
Berbeda dengan di Malaysia, pemerintah negeri jiran itu itu mengendalikan harga dilakukan pemerintah dengan dua cara. Pertama, menerbitkan price control act and anti profiteering act 2010, yaitu UU Pengendalian Harga dan Anti-Pengambilan Keuntungan yang Berlebih. Kebijakan itu untuk mengendalikan kenaikan harga dan mencegah aksi spekulasi untuk meraih untung besar.
Cara lainnya adalah melalui penguatan kelembagaan yang mengendalikan pasar. Kebutuhan pokok masyarakat harus dikuasai pemerintah dan tidak dilempar melalui mekanisme pasar.
Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Ilyani S Andang juga mengatakan Indonesia perlu membuat UU tentang Pengendalian Harga seperti Malaysia dan Venezuela.
Selain UU Pengendalian Harga, perlu juga dibuat UU tentang Anti Mengambil Keuntungan Berlebihan.
"Apabila ada orang yang menimbun barang, spekulan atau kartel pasti dibasmi habis" kata Ilyani S Andang .
Pemerintah akan mempertimbangkan usulan dibuatnya undang-undang Pengendalian Harga itu.
"Secara konsep memang perlu dipertimbangkan, namun, untuk saat ini yang harus lebih diperhatikan adalah permasalahan pasokan untuk kebutuhan pokok tersebut," kata Menteri Perdagangan Gita Wirjawan.
Langkah untuk menjaga stabilitas harga pada level tertentu merupakan langkah yang sangat baik, namun, apabila pasokan bahan pokok tersebut tidak ada maka akan sulit untuk menerapkan undang-undang tersebut.
"Jika ingin menjaga stabilitas harga di level tertentu, itu memang sangat baik, namun jika pasokannya sulit, maka akan sulit juga untuk diterapkan dan pada akhirnya akan mempersulit para konsumen itu sendiri," kata Gita.
Sementara itu Sekjen Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) Ngadiran mengatakan jika pemerintah tidak mempunyai strategi yang tepat maka kenaikan harga kebutuhan bahan pokok sulit dihindarkan.
Sudah sejak bertahun-tahun, bahkan tanpa kenaikan BBM, harga bahan pokok akan naik jelang bulan puasa dan Lebaran karena permintaan barang kebutuhan pokok akan meningkat signifikan. Termasuk, adanya permainan para distributor yang menahan barang dalam waktu tertentu, sehingga menjadi faktor pendorong kenaikan harga di pasaran.
(A023)
"Saya kira instruksi saya sudah sangat jelas, Wapres juga sangat jelas, Menko Perekonomian juga sudah memimpin beberapa pertemuan, tapi implementasinya lama. Terus terang saya tidak sabar, sama dengan tidak sabarnya rakyat," kata Presiden, menanggapi melambungnya harga daging sapi hingga di atas Rp90.000 per kilogram, di Jakarta, Sabtu.
Presiden menginginkan agar rapat yang membahas harga daging sapi itu harus berorientasi tindakan.
"Saya ingin dalam hitungan hari harus sudah ada perubahan, kita ingin tetapkan sasaran dan kita capai," katanya seraya meminta para menterinya memantau pasar dan media sosial.
Presiden menilai urusan harga daging sapi masih berputar di masalah birokrasi dan perizinan.
Menjelang Lebaran kali ini, pemerintah sepertinya hanya mengizinkan impor sejumlah komoditas pangan untuk menambah pasokan, melaksanakan pasar murah, campur tangan dalam menjaga ketersediaan bahan pangan dan mengatasi spekulan yang mencari keuntungan dari penderitaan masyarakat. Ritual tahunan Lebaran, sepertinya dihadapi secara biasa-biasa saja.
Tidak terlihat adanya kebijaksanaan jangka panjang pemerintah yang bersifat strategis yang memungkinkan semua kebutuhan pokok masyarakat bakal terpenuhi dengan harga yang wajar, khususnya menjelang perayaan hari-hari besar keagamaan, seperti Lebaran, pada masa mendatang.
Berdasarkan data Kementerian Koordinator Perekonomian, tercatat ada sejumlah komoditas pangan pokok yang mengalami kenaikan harga pada pekan kedua Juli 2013, sekitar awal puasa, dibandingkan Juni 2013.
Komoditas itu antara lain cabai rawit, yang meningkat 63,3 persen dari Rp27.721 per kilogram pada Juni 2012 menjadi Rp45.000 per kilogram pada Juni 2013, dan bawang merah naik 49,08 persen dari Rp32.341 per kilogram menjadi Rp48.213 per kilogram.
Selain itu, daging ayam ras naik 19,5 persen dari Rp28.893 per kilogram menjadi Rp34.493 per kilogram serta telur ayam ras naik 9,32 persen dari Rp18.211 per kilogram menjadi Rp19.908 per kilogram.
Sementara harga komoditas lain, seperti cabai merah, ikan bandeng dan daging sapi mengalami kenaikan hanya sebesar satu hingga lima persen.
Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) pada tahun ini diberi peran penting. BUMN itu diminta mengintervensi pasar guna menjamin ketersediaan daging sepanjang Ramadhan dan Idul Fitri hingga Natal dan Tahun Baru 2014. Bulog juga didesak untuk melakukan intervensi pasar demi menjamin ketersediaan beras.
"Bulog tidak perlu lagi meminta izin apabila ada tren kenaikan harga beras. Maka Bulog dipersilakan untuk melakukan intervensi pasar karena memiliki kemampuan itu," kata Menko Perekonomian Hatta Rajasa dan menambahkan ketersediaan beras di gudang Bulog mencapai 2,96 juta ton atau hampir tiga juta ton yang merupakan angka tertinggi selama lima tahun terakhir.
Berkaitan dengan kebijakan impor, pemerintah menjamin impor untuk memenuhi ketersediaan bahan pangan pokok itu tidak akan mengganggu masa panen yang mudur pada Agustus 2013. Impor hanya sebagai respons dari kekurangan pasokan bahan pokok menjelang masa panen pada Agustus.
Komoditas yang diimpor di antaranya cabai rawit dan bawang merah. Cabai rawit sempat diperdagangkan secara irasional karena harganya berdasarkan jumlah buah, bukan satuan yang berlaku selama ini seperti ons atau kilogram. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan (Kemendag), impor cabai sebanyak 9.715 ton dan bawang merah 16.781 ton untuk semester kedua mulai Juli hingga Desember 2013.
Tidak mampu
Melihat gejolak harga kebutuhan pokok tersebut, pengamat ekonomi Universitas Gajah Mada (UGM), Sri Adiningsih menilai, pemerintah tidak akan mampu mengendalikan kenaikan harga-harga pangan yang bergerak liar di pasar.
"Kita lihat tiap tahun, tidak usah ada kenaikan harga BBM, pemerintah selalu menyampaikan ketersediaan barang cukup. Pemerintah tidak pernah mengatakan ketersediaan tidak cukup. Tapi kenyataannya jelang Ramadhan dan Lebaran, harga-harga melonjak. Jadi berdasarkan sejarah tersebut, pemerintah tidak akan mampu kendalikan harga barang," katanya.
Pemerintah terkesan sangat takut mengintervensi pasar, sekalipun harga pasar itu sudah sangat irasional karena sebagian besar dipicu oleh aksi spekulasi. Paling-paling, kalau harga sudah tak terkendali, pemerintah cuma menggelar "operasi pasar".
Sementara ekonom Econit Hendri Saparini mengatakan, gejolak harga sejumlah komoditas pangan memang tak tertahankan dalam beberapa bulan terakhir. Ini akibat produksi dalam negeri yang tidak mampu mengimbangi permintaan. Belum lagi kalangan pejabat pemerintahan memiliki agenda terselubung yang membuat negeri ini kian tergantung kepada komoditas impor.
Saparini menyebutkan, pertanian di dalam negeri tidak diproteksi dan petani juga tidak dibantu dalam masalah teknologi maupun pembiayaan. Itu, katanya, kian mengondisikan Indonesia bergantung pada komoditas impor.
Berbeda dengan di Malaysia, pemerintah negeri jiran itu itu mengendalikan harga dilakukan pemerintah dengan dua cara. Pertama, menerbitkan price control act and anti profiteering act 2010, yaitu UU Pengendalian Harga dan Anti-Pengambilan Keuntungan yang Berlebih. Kebijakan itu untuk mengendalikan kenaikan harga dan mencegah aksi spekulasi untuk meraih untung besar.
Cara lainnya adalah melalui penguatan kelembagaan yang mengendalikan pasar. Kebutuhan pokok masyarakat harus dikuasai pemerintah dan tidak dilempar melalui mekanisme pasar.
Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Ilyani S Andang juga mengatakan Indonesia perlu membuat UU tentang Pengendalian Harga seperti Malaysia dan Venezuela.
Selain UU Pengendalian Harga, perlu juga dibuat UU tentang Anti Mengambil Keuntungan Berlebihan.
"Apabila ada orang yang menimbun barang, spekulan atau kartel pasti dibasmi habis" kata Ilyani S Andang .
Pemerintah akan mempertimbangkan usulan dibuatnya undang-undang Pengendalian Harga itu.
"Secara konsep memang perlu dipertimbangkan, namun, untuk saat ini yang harus lebih diperhatikan adalah permasalahan pasokan untuk kebutuhan pokok tersebut," kata Menteri Perdagangan Gita Wirjawan.
Langkah untuk menjaga stabilitas harga pada level tertentu merupakan langkah yang sangat baik, namun, apabila pasokan bahan pokok tersebut tidak ada maka akan sulit untuk menerapkan undang-undang tersebut.
"Jika ingin menjaga stabilitas harga di level tertentu, itu memang sangat baik, namun jika pasokannya sulit, maka akan sulit juga untuk diterapkan dan pada akhirnya akan mempersulit para konsumen itu sendiri," kata Gita.
Sementara itu Sekjen Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) Ngadiran mengatakan jika pemerintah tidak mempunyai strategi yang tepat maka kenaikan harga kebutuhan bahan pokok sulit dihindarkan.
Sudah sejak bertahun-tahun, bahkan tanpa kenaikan BBM, harga bahan pokok akan naik jelang bulan puasa dan Lebaran karena permintaan barang kebutuhan pokok akan meningkat signifikan. Termasuk, adanya permainan para distributor yang menahan barang dalam waktu tertentu, sehingga menjadi faktor pendorong kenaikan harga di pasaran.
(A023)
Oleh Ahmad Buchori
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2013
Tags: