Surabaya (ANTARA News) - "Saya tidak memiliki apa-apa untuk membayar masuk pesantren," ucap seorang ayah saat mengantar anaknya (mendaftar) masuk Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, untuk menuntut ilmu agama.

Dialog yang menjadi pembuka film "Sang Kiai" itu ditanggapi oleh santri penerima pendaftaran dengan menolak keinginan ayah itu, karena tidak memiliki kekayaan berupa hasil bumi untuk disetorkan ke pesantren sebagai sumbangan wali santri untuk menopang kebutuhan konsumsi di pesantren itu.

Mengetahui hal itu, pengasuh pesantren itu Hadratusy Syaikh KH Hasyim Asy`ari langsung menepuk bahu santrinya, "Jangan halangi anak untuk menuntut ilmu. Silakan masuk ke pondok, walaupun tidak memiliki apa-apa".

Sepenggal percakapan antara Hadratusy Syaikh KH Hasyim Asy`ari dengan seorang wali santri agaknya bukan hanya ada dalam film atau fakta di masa lalu, tapi pengasuh Pesantren Babussalam, Kalibening, Mojoagung, Jombang, Jawa Timur, KH Salmanudin Yazid, juga mengamalkan hal itu.

"Kami tidak terima kalau ada santri mau `pergi` (pulang ke rumah) hanya karena alasan kebutuhan harian yang tidak terjangkau," tutur pengasuh pesantren yang alumnus Madrasatul Quran Tebuireng Jombang itu.

Informasi yang diperoleh Antara dari seorang pengurus pesantren bahwa ada 6 persen dari sekitar 1.000 santri yang mendapatkan subsidi di pesantren itu hingga tidak membayar biaya mondok dan biaya pendidikan sepeser pun.

Darimana pesantren yang berjarak hanya 5 kilometer dari Pendopo Agung Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur itu mendapatkan biaya subsidi pendidikan untuk sekitar 60 santri miskin itu?.

"Kami melakukan sejumlah terobosan ekonomi mulai dari usaha menyediakan alat tulis kantor, biro perjalanan dan armada kendaraan dharmawisata, depo air minum, BMT syariah, serta sejumlah kegiatan lainnya yang dioptimalkan untuk menopang kebutuhan santri yang terus meningkat," ungkapnya.

BMT Syariah Babussalam itu melayani tabungan syariah, simpan pinjam syariah, kredit motor/mobil, kredit usaha, layanan aqiqah dan qurban, tabungan haji, dan sebagainya. "Kami bekerja sama dengan perbankan untuk menjamin nasabah," ucap salah seorang pengurus di Kantor BMT yang tepat berada di depan pintu gerbang Masjid Babussalam itu.

Tidak hanya itu, pengasuh pesantren itu juga menjalin kerja sama dengan sejumlah "politisi santri" di Jombang yang mau menjadi "Bapak Asuh" bagi santri miskin yang ada, sehingga kebutuhan mondok sehari-hari dari santri dari keluarga tidak mampu itu juga dapat terpenuhi.

"Semua ikhtiar akan kami berikan demi khidmat kepada calon kader NU masa depan," papar kiai yang juga Ketua Pengurus Cabang (PC) Lembaga Pendidikan (LP) Maarif NU Jombang itu.

Tidak berlebihan kalau kemudian masyarakat sekitar sangat mengenal pesantren ini. Kalau ada orang ingin berkunjung dan belum pernah tahu pesantren ini, tinggal menanyakan alamat pesantren kepada banyak orang.



Dekat dengan Masyarakat

Siapapun tinggal turun di terminal Mojoagung yang sebenarnya masih lumayan jauh dari pesantren, namun siapapun bisa bertanya kepada para tukang ojek, sopir dan mereka yang biasa mangkal di situ, maka mereka akan dengan cekatan memberikan petunjuk arah menuju pesantren itu.

Itu menggambarkan bahwa Babussalam itu sangat dekat dengan masyarakatnya. Ya, gambaran itu sesuai dengan nama Babussalam dari dua kata dalam Bahasa Arab yakni "Baabun" yang berarti pintu dan "Assalaam" yang berarti kedamaian/keselamatan.

Barang kali, hal itu juga karena pondok ini berada di "pintu gerbang" Dusun Kalibening di sebelah timur, tepatnya di Kalibening Tulung Sari Jln. KH Nur Syahid yang masuk wilayah Desa Tanggalrejo, Kecamatan Mojoagung, Kabupaten Jombang, Jawa Timur.

Untuk "Assalam" atau kedamaian itu tergambar dalam peran Babussalam sebagai "pendamping umat" dari kalangan masyarakat kelas menengah ke bawah melalui subsidi bagi santri dan keberadaan BMT yang keberadaannya juga sangat dirasakan masyarakat Kalibening.

Gambaran itu juga tidak terlepas dari sejarah Pesantren Babussalam yang lahir dari tangan seorang tokoh agama dan pejuang melawan penjajah Belanda pada tahun 1919 yang datang ke Kalibening untuk menyebarkan ajaran agama Islam.

Ia adalah KH. Rofi`i yang berasal dari Popoh, Sidoarjo, Jawa Timur. Beliau datang dengan ditemani santri dari Medini Kudus yang telah menjadi kiai di Pondok Pesantren Panji, Sidoarjo bernama KH Dahlan yang merupakan putra dari KH Dasa dan masih saudara dengan KH Nawawi dari Kudus.

Selanjutnya, KH Dahlan berdakwah di Mancar, Peterongan, Jombang, Jawa Timur. Dua dari empat putra KH Dahlan tersebut diserahkan kepada KH Rofi`i untuk mengajarkan agama di Dusun Kalibening dan belajar agama pada kiai tersebut.

Setelah KH Rofi`i meninggal dunia, maka anak menantunya yang bernama KHM Nur Syahid diserahi menggantikan untuk mengajarkan agama di rumah kiai dan masjid yang ada. Kala itu juga sudah berdiri lembaga pendidikan madrasah.

Dalam perjalanannya, pesantren ini dipegang sepenuhnya oleh Yayasan Babussalam. Kegiatan pendidikan di lembaga ini mulai dari non-formal seperti Tahfidhul Quran, madrasah diniyah, jam`iyyatul qurro` wal huffadz, pengajian kitab kuning (sorogan dan weton) dan TPQ.

Untuk lembaga pendidikan formal ada Taman Kanak-kanak (TK/RA), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA), dan kini sedang merintis Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI).

Tidak hanya itu, Pesantren Babussalam juga mampu menjadi tuan rumah untuk kegiatan berskala nasional dengan segala kesederhanaan yang melingkupi, karena pesantren itu mempraktikkan apa yang digambarkan dalam film "Sang Kiai" yang diputar di gedung bioskop sejak 30 Mei 2013 itu.

Hal itu ditunjukkan pengasuh dan santri pesantren itu saat menjadi tuan rumah bagi perkemahan nasional yang pertama kali diselenggarakan oleh Pengurus Pusat (PP) Lembaga Pendidikan (LP) Ma`arif Nahdlatul Ulama (NU) pada 24-29 Juni 2013 yakni "Perkemahan Wirakarya Pramuka Maarif NU Nasional" atau Perwimanas yang diikuti 2.168 pramuka penegak (SMA/MA/SMK) dan ratusan pembina dari 16 provinsi se-Indonesia dan kabupaten/kota se-Jatim.

"Bagi saya semuanya adalah ibadah. Saya shalat itu ibadah. Puasa itu ibadah. Mengelola pesantren itu ibadah. Melayani Perwimanas juga ibadah. Lalu apa bedanya? Tugas seberat apapun asal dilakukan dengan ikhlas dan diniati ibadah, saya kira tidak akan ada beratnya. Semua jadi enteng," tutur Gus Salmanudin.

Bahkan, ia merendah bahwa apa yang sudah dilakukan oleh keluarga besar PP Babussalam untuk Perkemahan Maarif NU tingkat nasional itu sangat kecil dan tidak sebanding dengan apa yang telah diajarkan, diteladankan, dan diwariskan para pendiri NU. "Sangat kecil, sangat kecil apa yang sudah saya, keluarga dan PP Babussalam sumbangsihkan untuk NU," timpalnya.