"Penerimaan gratifikasi tersebut yang tidak ada hubungannya dengan kedudukan penerima sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara," kata kuasa hukum Andhi, Edhhi Sutarto, saat membacakan eksepsi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Pusat, Rabu.
Menurut Eddhi, jabatan yang diemban Andhi tidak memiliki kapasitas dalam mengurusi kepabeanan seperti yang didakwakan jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Edhhi mengatakan bahwa kliennya hanyalah kerja sama bisnis terkait dengan ekspor impor tanpa menyangkutpautkan status terdakwa sebagai ASN.
"Kegiatan pengelolaan hasil usaha atas kerja sama investasi dengan dan kegiatan pemberian arahan atau informasi terkait dengan penunjukan usaha ekspor impor yang baik dalam menjalankan impor clearance serta kegiatan penerimaan atau pengeluaran uang terkait dengan pinjam-meminjam antara sahabat atau teman sehingga kegiatan tersebut tidak dalam kapasitas sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara," katanya menjelaskan.
Selain itu, Edhhi juga mengatakan bahwa jabatan yang diemban kliennya kala itu dibatasi oleh waktu dan teritorial.
Ia menegaskan bahwa kliennya tidak mungkin mengurus kepabeanan perusahaan di luar massa jabatan dan otoritas wilayahnya.
"Bahwa tempat kegiatan mitra usaha dalam menjalankan kegiatan usaha sebagian besar berada di luar wilayah Republik Indonesia sehingga tidak berhubungan dengan jabatan terdakwa serta kegiatan tersebut tidak berlawanan dengan kewajiban tugas terdakwa," kata dia.
Oleh karena itu, Eddhi menganggap dakwaan yang dibuat JPU KPK tidak cermat dan tidak terbukti.
Edhhi berharap majelis hakim mengabulkan eksepsinya, yaitu membatalkan seluruh dakwaan JPU. Pihak JPU dijadwalkan untuk memberikan respons dari eksepsi pada hari Rabu (6/12).
Baca juga: JPU dakwa Andhi Pramono terima gratifikasi Rp58,9 miliar
Baca juga: KPK telusuri dugaan pembelian perhiasan oleh Andhi Pramono
JPU KPK mendakwa mantan Kepala Kantor Bea dan Cukai Makassar Andhi Pramono menerima gratifikasi dengan total Rp58,9 miliar.Baca juga: JPU dakwa Andhi Pramono terima gratifikasi Rp58,9 miliar
Baca juga: KPK telusuri dugaan pembelian perhiasan oleh Andhi Pramono
Jaksa memerinci jumlah tersebut terdiri atas Rp50.286.275.189,79; 264,500 dolar Amerika Serikat atau setara dengan Rp3.800.871.000,00; dan 409,000 dolar Singapura atau setara dengan Rp4.886.970.000,00.
"Bahwa terdakwa Andhi Pramono telah melakukan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, menerima gratifikasi berupa uang," kata JPU KPK Joko Hermawan dalam sidang perdana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu.
Jaksa menyebut uang tersebut diterima Andhi dalam kurun waktu 2012—2023 saat ia menjabat sejumlah posisi strategis. Jaksa memerinci Andhi pernah menjabat sebagai Pj. Kepala Seksi Penindakan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Riau dan Sumatera Barat (2009—2012).
Setelah itu, menjabat Kepala Seksi Pelayanan Kepabeanan dan Cukai V Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Tipe Madya Pabean (TMP) B Palembang (2012—2016), kemudian Kepala KPPBC TMP B Teluk Bayur (2016—2017), Kepala Bidang Kepabeanan dan Cukai pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jakarta (2017—2021), dan Kepala KPPBC TMP B Makassar (2021—2023).
"Bahwa penerimaan gratifikasi tersebut ada yang diterima terdakwa secara langsung, dan ada pula yang melalui rekening bank, baik rekening bank milik terdakwa maupun rekening bank atas nama orang lain yang dikuasai oleh terdakwa," papar jaksa.
Uang haram itu diterima Andhi dari sejumlah pengusaha atau perusahaan, mulai dari perusahaan pengurusan jasa kepabeanan (PPJK), perusahaan yang bergerak di bidang ekspor impor, hingga perusahaan yang bergerak di bidang trading (jual beli), freight forwarder (penerus muatan), trucking (perusahaan truk), warehousing (pergudangan), dan intersulair.
Andhi, kata jaksa, tidak pernah melaporkan uang gratifikasi yang ia terima kepada KPK dalam waktu 30 hari kerja sejak penerimaan gratifikasi tersebut, padahal penerimaan itu tanpa alas hak yang sah menurut hukum. Oleh sebab itu, jaksa menilai perbuatan Andhi harus dianggap suap.
"Haruslah dianggap suap karena berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, yakni berhubungan dengan jabatan terdakwa sebagai pegawai negeri pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai," imbuh jaksa.
Atas perbuatannya, Andhi Pramono didakwa melanggar Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP.