Jakarta (ANTARA) - Hari Solidaritas Internasional untuk Rakyat Palestina yang jatuh setiap tanggal 29 November sudah ditetapkan demikian sejak 1977 oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).

Namun, gema hari besar ini tak pernah kencang sampai beberapa tahun terakhir ini ketika kesadaran dan kepedulian global mengenai isu Palestina semakin besar.

Hari solidaritas itu sendiri merujuk pada 29 November 1947 ketika PBB mengadopsi resolusi yang memuat rencana pembagian Palestina ke dalam dua negara, yang lazim dikenal dengan Rencana Partisi.

Menurut laman PBB, Palestina sebagai masalah internasional sudah diakui sejak akhir Perang Dunia Pertama.

Namun baru pada 1947 atau dua tahun setelah Perang Dunia Kedua berakhir, PBB menerima tanggung jawab untuk mencari solusi yang adil dalam masalah Palestina.

Pada 29 November tahun itu, Majelis Umum PBB menyetujui Resolusi 181 mengenai Rencana Partisi Palestina.

Resolusi itu merekomendasikan pembentukan sebuah negara Arab dan sebuah negara Yahudi merdeka, serta membentuk rezim internasional yang khusus mengelola kota Yerusalem.

Rencana Partisi Palestina yang terdiri dari empat dokumen itu mengatur penghentian Mandat Inggris di Palestina, penarikan bertahap angkatan bersenjata Inggris dari sana, dan menetapkan batas wilayah dua negara yang dimaksud itu, serta batas-batas Yerusalem.

Resolusi itu merekomendasikan bahwa segera setelah Inggris menarik pasukannya dari bumi Palestina, maka di tanah itu harus berdiri dua negara merdeka, dan satu wilayah internasional di Yerusalem, paling lambat 1 Oktober 1948.

Yang terjadi kemudian, sampai kini, ternyata hanya ada satu negara yang berdiri, yakni Israel pada 14 Mei 1948, tepat pada hari berakhirnya mandat Inggris di Palestina.

Negara Israel itu didirikan di atas darah dan tanah bangsa Palestina, dengan mengusir dan membersihkan 750 ribu etnis Arab Palestina dari 500-an kota dan desa.

Berdasarkan catatan sejarah, 15 ribu warga Palestina terbunuh karena peristiwa itu. Beberapa di antaranya mati karena dibantai.

Salah satu pembersihan etnis terkenal adalah Pembantaian Deir Yassuin pada 9 April 1948 ketika dua kelompok milisi zionis, Irgun dan Lehi, membunuh 107 warga desa berpenduduk Arab Palestina, termasuk wanita dan anak-anak.

Desa Deir Yassin yang sebelumnya berpenduduk 600 orang dan berada di dekat Yerusalem itu pun kemudian bersih dari etnis Arab, karena mereka yang masih hidup dipaksa atau terpaksa melarikan diri guna menghindari pembantaian dan teror milisi zionis.


Tak menjalankan amanat

Ternyata peristiwa-peristiwa pada akhir 1940-an itu bukan yang terakhir, karena dalam tahun-tahun kemudian proses kolonisasi dan pengusiran paksa warga Arab Palestina terus berlanjut sampai 1956.

Puluhan desa Palestina dimusnahkan, sementara 250 ribu warga Arab Palestina diusir dari tanah dan tempat tinggal mereka.

Keturunan warga Palestina yang diusir selama periode Nakba itu kini mendiami dan terkurung di Jalur Gaza, yang kerap disebut penjara terbuka terbesar di dunia, yang sejak 2007 diblokade oleh Israel sehingga kesulitan mendapatkan air bersih, listrik, bahkan menghancurkan harapan dan martabat bangsa Palestina.

Nakba yang berarti malapetaka, adalah peristiwa ketika warga Arab Palestina diusir dari tanah dan rumahnya yang dirampas begitu saja oleh Israel, selama Perang Arab-Israel 1948.

Sebelum Nakba, Palestina adalah masyarakat multietnis dan multikultur.

Sejak Resolusi 181 itu dikeluarkan oleh PBB, "solusi dua negara" terlalu sering diucapkan tapi tak pernah bisa diwujudkan.

Lalu, muncul Perjanjian Oslo pada 1993 yang sebenarnya merupakan terobosan, ketika Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang saat itu menjadi satu-satunya saluran perjuangan Palestina, mengakhiri sikapnya terhadap Israel dengan mengakui Israel.

Imbalan atas sikap PLO itu adalah berdirinya Negara Palestina Merdeka dengan perbatasan 1967.

Perbatasan 1967 merujuk kepada batas-batas wilayah Israel dan Palestina sebelum Perang Enam Hari pada 1967, yakni Jalur Gaza, Tepi Barat dan Yerusalem Timur. Setelah perang itu, Israel menduduki ketiga tempat tersebut.

Kembali ke Perjanjian Oslo. Israel dan sekutu-sekutunya ternyata tak menjalankan amanat perjanjian itu yang mengharuskan Negara Palestina Merdeka berdiri pada 1999.

Tidak saja tidak menggubris amanat Perjanjian Oslo yang disepakatinya sendiri, Israel juga terus melindungi pemukim-pemukim liar di wilayah-wilayah Arab yang diduduki.

Ironisnya, sebagian besar dunia diam ketika pemukim Yahudi di Tepi Barat yang diduduki tak henti memperluas dan membangun pemukiman.

Padahal, aktivitas itu digolongkan ilegal oleh hukum internasional. Namun tetap saja, ratusan ribu pemukim terus menduduki tanah yang dicuri dari Palestina.


Tak adil jika hanya Israel

Kini, Tepi Barat yang diduduki dipenuhi jalan-jalan dan infrastruktur khusus pemukim, sementara warga Palestina dipinggirkan ke daerah-daerah kantong yang terisolasi nan miskin.

Sekarang, Israel menggunakan serangan Hamas ke wilayahnya pada 7 Oktober sebagai dalih untuk menghancurkan total Jalur Gaza.

Pembantaian warga sipil Israel oleh Hamas dan kelompok Palestina lainnya memang tak bisa dibenarkan secara moral dan politik, bahkan tergolong kejahatan perang.

Demikian pula, warga sipil Israel dan sejumlah negara yang disandera kelompok-kelompok perlawanan Palestina harus segera dibebaskan.

Namun demikian, serangan Hamas itu tak bisa membenarkan bombardemen besar-besaran dan tanpa henti serta blokade total di Gaza yang pada dasarnya merupakan bentuk hukuman kolektif kepada sebuah bangsa hanya karena perbuatan sekelompok yang menjadi bagian dari bangsa itu.

Hukuman kolektif semacam itu sudah merupakan genosida dan pembersihan etnis.

Konvensi PBB mengenai Pencegahan dan Hukuman untuk Kejahatan Genosida, mendefinisikan genosida sebagai "niat menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian, satu kelompok bangsa, etnis, ras atau agama".

Sulit menyangkal apa yang dilakukan Israel saat ini di Jalur Gaza tidak bertentangan dengan batasan genosida yang ditetapkan oleh PBB itu.

Dengan mengepung total Jalur Gaza, merendahkan martabat penduduknya dan lalu menjadikan mereka sasaran serangan militer dan bombardemen, Israel sudah jelas memperlihatkan niat melakukan genosida.

Selain itu, narasi-narasi yang dikembangkan para pemimpin Israel sendiri mengarah kepada niat melakukan genosida di Jalur Gaza.

Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant dengan kasar menyamakan warga Gaza dengan "binatang" ketika berkata "Kita (Israel) sedang memerangi binatang manusia", sehingga sah melakukan apa pun di Jalur Gaza, termasuk blokade total dan bombardemen tanpa henti.

Bahkan Presiden Israel Isaac Herzog tak mau membedakan warga sipil Gaza dengan kelompok-kelompok bersenjata di sana, termasuk Hamas.

"Seluruh bangsa di luar sanalah (Jalur Gaza) yang mesti bertanggung jawab. Tidak benar retorika bahwa warga sipil tidak terlibat dan tak tahu," kata Herzog seperti dikutip The Guardian pada 16 Oktober 2023.

Narasi-narasi mengerikan semacam itu yang membuka jalan bagi pembersihan etnis yang mengingatkan rakyat Palestina kepada Nakba atau "Malapetaka" pada 1948, membuat solidaritas kepada rakyat Palestina menjadi semakin penting.

Itu bukan hanya untuk Palestina, tapi itu juga demi amanat dunia sejak 1947 tentang keharusan berdirinya Negara Palestina untuk solusi konflik Israel-Palestina dan menghindari ketidakadilan dalam konflik itu. Tak adil jika hanya ada negara Israel di sana.