Jakarta (ANTARA News) - Dalam sebuah simposium internasional tentang penanganan dan pencegahan merebaknya flu burung, yang digelar di Jakarta pada 13-14 Juli 2006, turut hadir pakar dari beberapa negara tetangga, termasuk dari Thailand. Somsak Pakpinyo, seorang sarjana S3 Universitas Chulalongkorn, berbicara sebagai wakil dari Thailand dan mempresentasikan kebijakan negerinya menangani flu burung. Hal yang menarik dari pemaparan Somsak adalah kebijakan Thailand yang melarang penggunaan metode vaksinasi unggas dan ayam ternak dalam upaya pencegahan penyebaran flu burung. Somsak menyebutkan bahwa Pemerintah Thailand tidak menggunakan metode vaksinasi sebagai upaya pencegahan penyebaran flu burung dalam industri peternakan, sejak awal penyakit itu beredar di negeri itu. Bagaimana dengan Indonesia? Tri Satya Naipospos, dari Komisi Nasional Flu Burung, menyebutkan bahwa Indonesia justru menerapkan kebijakan vaksinasi sebagai pelengkap metode biosecurity -- yang ditempatkan sebagai lini terdepan. Strategi Thailand Selama Januari 2004 hingga Januari 2005, industri peternakan Thailand terganggu virus flu burung. Virus yang bersirkulasi pada saat itu dikategorikan sebagai Avian Influenza jenis H5N1 yang patogenik. Penanganan pun dilakukan secara serius, terlihat dari reaksi cepat perdana menteri dan departemen-departemen terkait yang menyusun strategi nasional. Sebagai "panglima" pencegahan merebaknya virus, kata Somsak, Departemen Pengembangan Pangan bertanggungjawab dalam hal pengendalian virus di sektor peternakan, termasuk ternak ayam, ayam piaraan di kandang-kandang belakang rumah, bebek, dan angsa. "Setelah mempertimbangkan keuntungan dan kerugian vaksinasi AI, pemerintah berkeputusan untuk melarang vaksinasi dalam industri peternakan," kata dia. Memang, vaksinasi merupakan salah satu cara untuk menangkal penyebaran virus AI. Organisasi Pertanian Dunia (FAO) menyarankannya sebagai pendamping biosecurity, pendidikan pengenalan AI, dan kesadaran masyarakat. Selain berfungsi untuk menekan penyebaran virus, terbukti metode vaksinasi "ampuh" mengendalikan epidemi flu burung di Cina. Namun vaksinasi AI tidak menyelesaikan masalah. Vaksinasi merugikan sektor ekonomi karena bertentangan dengan regulasi IOE dan Uni Eropa karena satu persen dari hewan yang divaksinasi dapat tetap menularkan virus tanpa menunjukkan gejala-gejala klinis. Itu sebabnya vaksinasi disebut-sebut menghadirkan "pembunuh diam-diam", karena daya tahan virus justru meningkat, mutasi bisa terjadi setiap waktu, dan hanya 20-50 persen vaksin burung yang beredar di pasar yang membawa anti-bodi H5N1. "Strategi kedua yang diterapkan di negeri Gajah Putih adalah pemantauan aktif secara klinis terhadap industri peternakan," kata Somsak. Sistem pemantauan di Thailand menyebutkan bahwa kriteria suspek kasus AI adalah bila kematian unggas mencapai 10 persen atau lebih dan 40 persen dalam tiga hari. Pemusnahan dilakukan dalam radius 5 km dari titik kasus penyebaran, dengan harga ganti rugi minimal 70 persen harga pasar. "Tapi untuk ayam petarung, tidak langsung dimusnahkan tapi diungsikan ke tempat lain untuk kemudian diamati lebih cermat," ujar dia. Khusus tentang uang ganti-rugi, Pemerintah Thailand menetapkan angka 70 persen dari harga pasar adalah angka yang dianggap cukup masuk akal karena setelah isu flu burung merebak, daya beli masyarakat terhadap panganan unggas menurun drastis, termasuk daging dan telur ayam. Pemusnahan massal terhadap unggas yang terpapar dan dicurigai terpapar flu burung pun dilakukan dalam tempo tak lebih dari 24 jam sejak hasil uji klinis menunjukkan adanya penularan virus tersebut. Dalam hal reaksi terhadap penularan antar-ternak, sistem pengawasan sangat lekat terhadap pergerakan hewan dari satu tempat ke tempat lain. "Strategi ini diterapkan oleh polisi, petugas pangan, peternak, dan rumah jagal. Kerja sama di antara mereka adalah kunci keberhasilan pemantauan virus," masih kata Somsak. Strategi Thailand juga terletak di tindakan pencegahan. Peternakan unggas ditingkatkan standarnya, sesuai dengan biosecurity, tingkat higienitas, dan pengawasan dokter hewan. Di Thailand, terdapat sekitar 50 ribu peternakan unggas, terdiri atas yang kecil dan besar. Pemerintah tentu tidak mampu menyelidiki tiap peternakan, itu sebabnya peran perguruan tinggi seperti Universitas Chulalongkorn dapat sangat membantu. Biaya Pemusnahan Dalam kesempatan yang sama, Tri Satya menyebutkan bahwa Pemerintah Indonesia menjadikan vaksinasi sebagai metode penanganan setelah menghitung biaya pemusnahan massal hewan yang ditengarai terpapar virus sangatlah besar. "Dana penanganan flu burung saja sampai saat ini belum ada yang cair, kita sangat kekurangan dana memerangi flu burung," kata dia. Thailand, menurut Tri Satya, sangat peduli terhadap penanganan flu burung karena industri peternakan di dalam negeri memang sangat rentan -- berbeda dengan Indonesia. "Pangsa pasar produk peternakan unggas Thailand 60 persennya adalah untuk negeri-negeri Eropa, yang peraturannya melarang ternak tervaksin. Sementara di Indonesia, industri peternakan hanya memenuhi kebutuhan dalam negeri yang sudah sangat besar," kata dia. Di lain pihak, pilihan vaksinasi kurang disukai oleh kalangan pecinta unggas. Sekretaris Umum Pelestari Burung Indonesia, Endang Budi Utami, menyebutkan bahwa biaya penanganan flu burung dengan cara vaksinasi jauh lebih mahal daripada pemusnahan (stamping-out). "Pertama, vaksinasi tidak bisa digunakan hanya satu kali, melainkan berkali-kali dan harus terus dilakukan selama hewan itu hidup," kata perempuan yang akrab disapa Emi tersebut. Alasan kedua adalah vaksinasi sulit dilakukan terhadap burung-burung liar dan besar -- sementara banyak koleksi para pecinta burung yang berupa burung liar dan berukuran besar. "Saya juga yakin bahwa vaksinasi itu tidak dapat membunuh semua virus di dalam tubuh hewan, ada saja yang tersisa dan ini justru membawa celaka nantinya karena virus bisa lebih mutan," jelasnya. Pilihan stamping-out seperti tindakan Thailand atau vaksinasi adalah hal yang sama-sama mengandung resiko. Namun ibarat membeli mobil baru, setiap orang dapat saja dihadapkan dengan pilihan membelinya dengan cara kredit atau tunai. Membeli tunai memang terasa berat di awal, namun mobil dibawa pulang tanpa rasa tergelayut utang. Sementara membeli dengan cara berutang, sama-sama membawa pulang mobil baru, namun yang satu ini harus ditambah dengan cicilan serta kewajiban membayar bunga -- yang pada akhirnya dapat membuat harga mobil nyaris setara dengan dua mobil baru bila dibeli tunai. Pemerintah Indonesia bisa jadi kesulitan bila harus menyediakan sejumlah uang tunai yang besar pada metode stamping-out, namun hampir dapat dipastikan semua virus berakhir di situ. Metode vaksinasi memungkinkan pengendalian penyebaran virus, tetapi tak ada jaminan virus berhenti berkembang sehingga bukan tidak mungkin biaya ekonomi pada masa mendatang bisa jauh lebih mahal daripada stamping-out.(*)