Gencatan senjata sementara, warga Gaza dapat makanan dan bahan bakar
27 November 2023 17:26 WIB
Suasana puluhan truk membawa bantuan kemanusiaan diangkut ke Gaza, selama gencatan senjata sementara antara Israel dan kelompok Hamas di Perbatasan Nitzana Crossing, Israel, dalam tangkapan layar yang diambil dari video selebaran yang dirilis pasukan Pertahanan Israel, Minggu (26/11/2023). ANTARA FOTO/REUTERS/IDF/Spt.
Gaza (ANTARA) - Mohammed Zourob (45), seorang pria Palestina yang tinggal di Rafah, akhirnya bisa mendapatkan gas elpiji bagi keluarganya dan bahan bakar untuk kendaraannya setelah menunggu lama saat gencatan senjata sementara antara Israel dan Hamas diberlakukan.
"Ini tidak mudah. Saya harus menunggu lebih dari 13 jam dalam antrean panjang untuk mengisi 20 liter bahan bakar mobil saya, sementara saya harus menunggu sekitar delapan jam untuk mengisi tabung gas 12 kilogram saya," ujar ayah tiga anak itu kepada Xinhua.
Selama berminggu-minggu, dia terpaksa menggunakan gerobak keledai untuk bepergian dari satu tempat ke tempat lain, dan istrinya terpaksa memasak menggunakan kayu bakar karena kurangnya gas elpiji.
Samiha al-Batsh (46), seorang wanita Palestina yang tinggal di Jabalia, menerima tepung terigu, minyak goreng, beras, dan beberapa bantuan kemanusiaan lainnya untuk pertama kalinya sejak konflik mematikan tersebut meletus pada 7 Oktober lalu.
Wanita itu mengatakan bahwa dia kehilangan puluhan anggota keluarga akibat serangan Israel yang dilancarkan ke kamp pengungsi Jabalia.
"Kami tidak memikirkan makanan. Kami hanya memikirkan bagaimana kami bisa melarikan diri dari kematian," ujarnya. Dia menambahkan, "Saya banyak berdoa agar bisa beristirahat dari ketegangan ini."
Israel dan Hamas mencapai kesepakatan gencatan senjata kemanusiaan selama empat hari yang dimulai pada Jumat (24/11) di bawah mediasi Qatar, Mesir, dan Amerika Serikat setelah lebih dari enam pekan konflik berdarah di Gaza.
Berdasarkan kesepakatan gencatan senjata tersebut, Hamas akan membebaskan beberapa sandera sebagai pertukaran untuk beberapa tahanan Palestina yang ditahan di Israel, sementara Israel akan mengizinkan lebih banyak truk bantuan yang mengangkut makanan, bahan bakar, dan gas elpiji masuk ke daerah kantong yang dilanda perang tersebut.
Per Minggu (26/11), Hamas telah menyerahkan 58 sandera, termasuk warga Israel dan warga sipil dari berbagai negara, kepada Komite Palang Merah Internasional (ICRC), sementara Israel telah membebaskan 117 tahanan Palestina.
Sejak Jumat, lebih dari 500 truk yang mengangkut bantuan kemanusiaan, termasuk makanan, peralatan medis, dan air, serta bahan bakar dan gas elpiji, telah memasuki Gaza melalui perlintasan Rafah, menurut laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
"Kami membutuhkan bantuan kemanusiaan seperti ini, tetapi kami juga membutuhkan keamanan. Kami berharap masyarakat internasional dapat menekan Israel untuk menghentikan konflik terhadap kami di Gaza," kata Mohammed Afana, seorang pria Palestina yang tinggal di Beit Lahia, kepada Xinhua.
Afana kehilangan empat saudara laki-laki dan enam kerabat lainnya dalam serangan Israel. "Kami tidak terlibat dalam aktivitas militer apa pun, tetapi kami menanggung dampak dari ketegangan ini," ungkapnya.
"Kami tidak ingin konflik yang terjadi saat ini kembali berlanjut, dan kami ingin menata kembali kehidupan kami," ujar Afana.
Pengeboman Israel selama berminggu-minggu di Gaza telah menyebabkan lebih dari 14.000 warga Palestina tewas, 40 persen di antaranya adalah anak-anak, sementara ribuan orang lainnya belum ditemukan dan diyakini masih terperangkap di bawah reruntuhan gedung-gedung yang hancur, menurut Kementerian Kesehatan yang dikelola oleh Hamas.
Sementara itu, menurut data Israel, sekitar 1.200 orang tewas, sebagian besar dalam serangan awal Hamas pada 7 Oktober lalu yang memicu konflik mematikan ini.
"Ini tidak mudah. Saya harus menunggu lebih dari 13 jam dalam antrean panjang untuk mengisi 20 liter bahan bakar mobil saya, sementara saya harus menunggu sekitar delapan jam untuk mengisi tabung gas 12 kilogram saya," ujar ayah tiga anak itu kepada Xinhua.
Selama berminggu-minggu, dia terpaksa menggunakan gerobak keledai untuk bepergian dari satu tempat ke tempat lain, dan istrinya terpaksa memasak menggunakan kayu bakar karena kurangnya gas elpiji.
Samiha al-Batsh (46), seorang wanita Palestina yang tinggal di Jabalia, menerima tepung terigu, minyak goreng, beras, dan beberapa bantuan kemanusiaan lainnya untuk pertama kalinya sejak konflik mematikan tersebut meletus pada 7 Oktober lalu.
Wanita itu mengatakan bahwa dia kehilangan puluhan anggota keluarga akibat serangan Israel yang dilancarkan ke kamp pengungsi Jabalia.
"Kami tidak memikirkan makanan. Kami hanya memikirkan bagaimana kami bisa melarikan diri dari kematian," ujarnya. Dia menambahkan, "Saya banyak berdoa agar bisa beristirahat dari ketegangan ini."
Israel dan Hamas mencapai kesepakatan gencatan senjata kemanusiaan selama empat hari yang dimulai pada Jumat (24/11) di bawah mediasi Qatar, Mesir, dan Amerika Serikat setelah lebih dari enam pekan konflik berdarah di Gaza.
Berdasarkan kesepakatan gencatan senjata tersebut, Hamas akan membebaskan beberapa sandera sebagai pertukaran untuk beberapa tahanan Palestina yang ditahan di Israel, sementara Israel akan mengizinkan lebih banyak truk bantuan yang mengangkut makanan, bahan bakar, dan gas elpiji masuk ke daerah kantong yang dilanda perang tersebut.
Per Minggu (26/11), Hamas telah menyerahkan 58 sandera, termasuk warga Israel dan warga sipil dari berbagai negara, kepada Komite Palang Merah Internasional (ICRC), sementara Israel telah membebaskan 117 tahanan Palestina.
Sejak Jumat, lebih dari 500 truk yang mengangkut bantuan kemanusiaan, termasuk makanan, peralatan medis, dan air, serta bahan bakar dan gas elpiji, telah memasuki Gaza melalui perlintasan Rafah, menurut laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
"Kami membutuhkan bantuan kemanusiaan seperti ini, tetapi kami juga membutuhkan keamanan. Kami berharap masyarakat internasional dapat menekan Israel untuk menghentikan konflik terhadap kami di Gaza," kata Mohammed Afana, seorang pria Palestina yang tinggal di Beit Lahia, kepada Xinhua.
Afana kehilangan empat saudara laki-laki dan enam kerabat lainnya dalam serangan Israel. "Kami tidak terlibat dalam aktivitas militer apa pun, tetapi kami menanggung dampak dari ketegangan ini," ungkapnya.
"Kami tidak ingin konflik yang terjadi saat ini kembali berlanjut, dan kami ingin menata kembali kehidupan kami," ujar Afana.
Pengeboman Israel selama berminggu-minggu di Gaza telah menyebabkan lebih dari 14.000 warga Palestina tewas, 40 persen di antaranya adalah anak-anak, sementara ribuan orang lainnya belum ditemukan dan diyakini masih terperangkap di bawah reruntuhan gedung-gedung yang hancur, menurut Kementerian Kesehatan yang dikelola oleh Hamas.
Sementara itu, menurut data Israel, sekitar 1.200 orang tewas, sebagian besar dalam serangan awal Hamas pada 7 Oktober lalu yang memicu konflik mematikan ini.
Pewarta: Xinhua
Editor: Yuni Arisandy Sinaga
Copyright © ANTARA 2023
Tags: