Jakarta (ANTARA) - Kasus kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa seorang perempuan berprofesi dokter mengingatkan masyarakat bahwa perempuan masih belum terbebas dari ancaman kekerasan.

Kasus dokter Qory Ulfiyah Ramayanti yang viral di media sosial itu berawal ketika Willy Sulistio, sang suami, membuat unggahan di medsos bahwa istrinya hilang setelah bertengkar dengannya. Unggahan Willy membuat warganet ramai berspekulasi.

Belakangan terkuak bahwa ternyata sang istri bukan hilang, melainkan kabur dari rumahnya di Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, kala bertengkar dengan suaminya.

Ketika itu, Qory pergi dari rumah dengan berjalan kaki tanpa membawa barang apa pun.
Qory pergi ke Kantor Dinas Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) untuk meminta perlindungan.

Dengan didampingi tim Dinas P2TP2A, perempuan berusia 37 tahun itu kemudian melaporkan suaminya ke Polres Bogor.

Polisi selanjutnya menetapkan Willy Sulistio sebagai tersangka kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan menahannya.

Barang buktinya, yakni dua bilah pisau dan hasil visum dokter. Dalam kasusnya, Qory mengalami KDRT yang berulang dan menyebabkan depresi.

Kasus lainnya, perkawinan anak dan KDRT juga terjadi di Langkat, Sumatra Utara.

Pada awal Oktober 2023, seorang suami (17) melakukan KDRT terhadap istrinya (16) hingga menyebabkan korban mengalami luka bakar yang parah.

Awalnya pelaku dan korban pisah rumah sementara usai berselisih. Pelaku kemudian menemui korban yang menginap di rumah teman korban. Keduanya lalu terlibat pertengkaran.

Pertengkaran terjadi karena pelaku cemburu terhadap korban dan menduga korban memiliki hubungan dengan pria lain.

Didera amarah, sang suami menyiramkan bensin ke tubuh korban. Pelaku lalu melemparkan bara rokok ke arah istrinya yang menyebabkan luka bakar serius.

Kasus KDRT lainnya terjadi di Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Dalam kasus KDRT itu menyebabkan korban, yang tak lain istri pelaku, tewas.

Kasus yang terjadi pada September 2023 menyita perhatian publik lantaran kisah korban beredar luas di media sosial.

Sang suami bernama Nando (25) membunuh istrinya, Mega (24) di rumah kontrakan mereka.

Pembunuhan terjadi disulut oleh pertengkaran pelaku dan korban mengenai persoalan ekonomi. Peristiwa pembunuhan itu disaksikan kedua anak mereka yang masih balita.

Usai membunuh istrinya, Nando kemudian menitipkan kedua anaknya ke ibu mertuanya. Selanjutnya pelaku pergi ke rumah orang tuanya dan menyerahkan diri ke Polsek Cikarang Barat.

Peristiwa pembunuhan ini baru diketahui saat ibu mertua pelaku datang ke rumah kontrakan dua hari kemudian dan melihat anaknya terbaring di kasur dalam keadaan tidak bernyawa.


Fenomena gunung es

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menekankan pentingnya sosialisasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) mengingat masih tingginya jumlah kasus KDRT, padahal UU PKDRT hampir berusia 2 dekade.

Undang-Undang PKDRT merupakan bukti bahwa negara hadir untuk mewujudkan tujuan melindungi segenap bangsa Indonesia, khususnya pada kelompok yang rentan menjadi korban, yaitu perempuan.

Di luar kasus kekerasan terhadap perempuan yang disebut sebelumnya, diduga masih banyak perkara yang tidak mencuat ke publik. Demi alasan menjaga "nama baik", perkara itu ditutup rapat-rapat.

Kasus kekerasan dalam rumah tangga memang bagaikan fenomena gunung es.

Kasus-kasus yang terungkap di media hanyalah segelintir saja dari kasus KDRT yang sebenarnya terjadi di masyarakat.

Anggota Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Imam Nahei berujar ada banyak faktor yang melatari korban KDRT sulit keluar dari lingkaran kekerasan yang mendera mereka.

Pada umumnya, perempuan atau istri mempertimbangkan banyak hal ketika akan melaporkan kekerasan yang dialaminya, seperti pertimbangan nama baik keluarga, pertimbangan anak-anaknya, dan pertimbangan cara pandang negatif dari masyarakat pada korban karena telah dianggap gagal dalam berkeluarga.

Akhirnya, terjadi impunitas pada pelaku kekerasan sehingga kekerasan terus berulang.

Banyak perempuan tidak memahami lingkar kekerasan sehingga ketika suami minta maaf, terlebih sambil menangis--setelah terjadi kekerasan--istri pun menjadi luluh hatinya.

Padahal itu merupakan siklus menuju kekerasan berikutnya.

Oleh karena itu Komisi Perempuan menegaskan pentingnya penegakan hukum yang berpihak kepada korban.

Aparat penegak hukum harus menjamin bahwa setiap laporan kekerasan terhadap perempuan diproses agar korban tidak enggan melapor.


Ketimpangan relasi kuasa

Sementara dari sisi pelaku, mereka melakukan kekerasan karena adanya relasi kuasa yang timpang.

Ketidaksetaraan relasi itu dikokohkan oleh budaya patriarki yang masih mengakar di masyarakat. Kebijakan, bahkan tafsir agama serta cara pandang atau paradigma, ada yang keliru dalam melihat perempuan/istri dan relasinya dengan suami.

Pada Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan yang diperingati setiap 25 November, pada tahun ini Komnas Perempuan mengambil tema "Satu Suara Wujudkan Cita-cita".

Tema ini memberikan pesan bahwa korban, Pemerintah, dan masyarakat harus memiliki satu suara, satu perspektif, satu garis perjuangan, yaitu menghapuskan kekerasan terhadap perempuan.

Masyarakat dengan kesadaran diminta untuk tidak memandang negatif pada korban kekerasan serta didorong untuk turut terlibat aktif sesuai dengan kapasitasnya dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan.

Pemerintah sudah hadir dengan kebijakannya dan menjamin tegak-nya keadilan.

Korban harus memiliki kesadaran tinggi dan berani mengambil keputusan, apakah akan melaporkan kasusnya yang sangat mungkin berdampak pada berakhirnya perkawinan dan dampak ikutan lainnya.

Sudah saatnya relasi timpang ini diakhiri agar tidak ada lagi kekerasan.