Ketua Umum AMTI I Ketut Budhyman Mudhara dalam acara Ngopi Bareng Media, di Jakarta, Jumat, mengungkapkan industri hasil tembakau (IHT) menjadi tumpuan hidup bagi 6 juta tenaga kerja, mulai dari petani, pekerja manufaktur hingga pekerja sektor kreatif.
"Ada 6 juta orang lebih yang bergantung di industri ini. Begitu juga pemasukan buat kas negara, sekitar Rp200-an triliun cukai. Itu menyumbang 8-9 persen ke APBN," katanya.
Ada pula sigaret kretek mesin (SKM) yang serupa dengan SKT namun diproses dengan mesin. Keduanya merupakan jenis rokok kretek yang memiliki dampak ekonomi besar karena menyerap bahan baku tembakau dan cengkeh dalam negeri.
"Sektor ini banyak melibatkan pekerja perempuan yang kini juga menjadi ibu rumah tangga. Pekerja dengan karakteristik tekun, ulet dan rapi sangat dibutuhkan dalam proses produksi rokok SKT," katanya.
Sektor SKT juga banyak ditemukan mempekerjakan pekerja yang berkebutuhan khusus atau penyandang disabilitas.
"Kebijakan yang inklusif ini sangat jarang ditemukan pada industri lain yang sama-sama bersifat padat karya," katanya.
Meski SKT merupakan produk legal, di mana 90 persen produksi rokok yang beredar saat ini ditopang oleh SKT, sayangnya menurut Budhyman regulasi terkait pertembakauan saat ini belum mampu secara maksimal melindungi dan memberdayakan para ratusan ribu pekerja di segmen SKT.
Oleh karena itu, sebagai bagian dari elemen ekosistem pertembakauan, SKT perlu dilindungi dan diberdayakan agar semakin mampu menyerap tenaga kerja dan menggerakkan perekonomian daerah serta nasional.
Budhyman mengungkapkan saat ini tekanan terhadap industri hasil tembakau tengah masif terjadi dengan adanya UU Kesehatan. Kendati satu pasal yang menyetarakan rokok dengan narkoba sudah dihilangkan, ia mengaku Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Kesehatan sebagai aturan pelaksana UU Kesehatan masih menjadi penghalang bagi industri tersebut.
Baca juga: Kementan: Program pemanfaatan dana bagi hasil tembakau untuk petani
Baca juga: AMTI katakan produktivitas tembakau masih rendah