Komnas Perempuan dorong korban kekerasan pahami hukum dan berani lapor
24 November 2023 17:49 WIB
Wakil Ketua Komisioner Komnas Perempuan Mariana Amiruddin (paling kanan) dan Ketua Subkomisi Partisipasi Masyarakat Komnas Perempuan Veryanto Sitohang (tengah) dalam konferensi pers tentang 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan di Jakarta, Jumat (24/11/2023). ANTARA/Lintang Budiyanti Prameswari.
Jakarta (ANTARA) - Komisi Nasional (Komnas) Anti Kekerasan terhadap Perempuan mendorong para perempuan yang menjadi korban kekerasan untuk lebih memahami aturan-aturan dalam hukum dan berani melapor dalam rangka kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP).
"Kami mendorong pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat untuk lebih banyak mengetahui ada perlindungan hukum untuk perempuan korban kekerasan supaya mereka berani melaporkan kasusnya," kata Wakil Ketua Komisioner Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin di Jakarta, Jumat.
Ia menjelaskan, Indonesia telah memiliki berbagai kebijakan yang melindungi perempuan, di antaranya Undang-Undang (UU) Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), UU Nomor 21 tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), UU Nomor 12 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), serta aturan hukum lainnya.
Namun, menurutnya, hingga saat ini korban, khususnya para perempuan masih belum mendapatkan hak-haknya sebagai dampak belum maksimalnya pelaksanaan undang-undang tersebut.
Berdasarkan catatan tahunan atau catahu Komnas Perempuan dari tahun 2001 hingga 2021, terjadi peningkatan pelaporan KDRT saat UU PKDRT disahkan pada tahun 2004, yang menandakan bahwa semakin banyak korban yang mengetahui ada pelindungan hukum terhadap kasus kekerasan dan berani melapor.
"Namun, tantangan pelaksanaan juga masih banyak ditemukan, di mana banyak korban justru dikriminalisasi. Selama 21 tahun catahu, tercatat lebih dari 2,5 juta kekerasan berbasis gender di ranah personal dilaporkan, di mana kekerasan terhadap istri paling banyak dilaporkan, yakni sebanyak 484.993 kasus," kata Mariana.
Ia juga menyampaikan, apabila dalam pelaksanaan UU PDKRT masih banyak ditemui hambatan dan tantangan, maka pelaksanaan UU TPKS yang baru saja disahkan tahun lalu mesti dikawal bersama baik di tingkat nasional maupun daerah, sehingga implementasinya benar-benar bisa dirasakan oleh masyarakat, utamanya dalam rangka penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
Sementara itu, Ketua Subkomisi Partisipasi Masyarakat komnas Perempuan, Veryanti Sitohang menyampaikan bahwa di daerah masih banyak ditemukan kasus-kasus di mana belum semua pemerintah daerah memahami tugas-tugas untuk melindungi masyarakatnya dari kekerasan terhadap perempuan.
"Ketika kami melakukan kunjungan ke daerah-daerah, belum semua pemerintah daerah memahami tugasnya sebagaimana diamanatkan dalam UU TPKS, bahkan termasuk di dalam UU PKDRT," katanya.
Padahal, salah satu tugas dari pemerintah daerah salah satunya yakni dengan menyediakan rumah aman, yang bisa difasilitasi melalui unit pelayanan terpadu perlindungan perempuan dan anak, tetapi kenyataannya belum semua pemerintah daerah memilikinya.
"Karena itu, pendampingan kepada korban menjadi sangat terbatas, ini yang kemudian membuat korban ragu-ragu untuk melaporkan kasusnya, padahal ketika melapor itu termasuk langkah mewujudkan pemenuhan hak korban atas perlindungan, pemulihan, dan juga penanganan," katanya.
Ia menegaskan, momentum 16 HAKTP ini menjadi ruang untuk bergerak bersama mendorong pemerintah, DPR RI, dan aparat penegak hukum untuk bersungguh-sungguh dalam mengimplementasikan UU TPKS demi penghapusan kekerasan seksual dan memberi perlindungan kepada korban.
"Kami mendorong pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat untuk lebih banyak mengetahui ada perlindungan hukum untuk perempuan korban kekerasan supaya mereka berani melaporkan kasusnya," kata Wakil Ketua Komisioner Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin di Jakarta, Jumat.
Ia menjelaskan, Indonesia telah memiliki berbagai kebijakan yang melindungi perempuan, di antaranya Undang-Undang (UU) Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), UU Nomor 21 tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), UU Nomor 12 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), serta aturan hukum lainnya.
Namun, menurutnya, hingga saat ini korban, khususnya para perempuan masih belum mendapatkan hak-haknya sebagai dampak belum maksimalnya pelaksanaan undang-undang tersebut.
Berdasarkan catatan tahunan atau catahu Komnas Perempuan dari tahun 2001 hingga 2021, terjadi peningkatan pelaporan KDRT saat UU PKDRT disahkan pada tahun 2004, yang menandakan bahwa semakin banyak korban yang mengetahui ada pelindungan hukum terhadap kasus kekerasan dan berani melapor.
"Namun, tantangan pelaksanaan juga masih banyak ditemukan, di mana banyak korban justru dikriminalisasi. Selama 21 tahun catahu, tercatat lebih dari 2,5 juta kekerasan berbasis gender di ranah personal dilaporkan, di mana kekerasan terhadap istri paling banyak dilaporkan, yakni sebanyak 484.993 kasus," kata Mariana.
Ia juga menyampaikan, apabila dalam pelaksanaan UU PDKRT masih banyak ditemui hambatan dan tantangan, maka pelaksanaan UU TPKS yang baru saja disahkan tahun lalu mesti dikawal bersama baik di tingkat nasional maupun daerah, sehingga implementasinya benar-benar bisa dirasakan oleh masyarakat, utamanya dalam rangka penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
Sementara itu, Ketua Subkomisi Partisipasi Masyarakat komnas Perempuan, Veryanti Sitohang menyampaikan bahwa di daerah masih banyak ditemukan kasus-kasus di mana belum semua pemerintah daerah memahami tugas-tugas untuk melindungi masyarakatnya dari kekerasan terhadap perempuan.
"Ketika kami melakukan kunjungan ke daerah-daerah, belum semua pemerintah daerah memahami tugasnya sebagaimana diamanatkan dalam UU TPKS, bahkan termasuk di dalam UU PKDRT," katanya.
Padahal, salah satu tugas dari pemerintah daerah salah satunya yakni dengan menyediakan rumah aman, yang bisa difasilitasi melalui unit pelayanan terpadu perlindungan perempuan dan anak, tetapi kenyataannya belum semua pemerintah daerah memilikinya.
"Karena itu, pendampingan kepada korban menjadi sangat terbatas, ini yang kemudian membuat korban ragu-ragu untuk melaporkan kasusnya, padahal ketika melapor itu termasuk langkah mewujudkan pemenuhan hak korban atas perlindungan, pemulihan, dan juga penanganan," katanya.
Ia menegaskan, momentum 16 HAKTP ini menjadi ruang untuk bergerak bersama mendorong pemerintah, DPR RI, dan aparat penegak hukum untuk bersungguh-sungguh dalam mengimplementasikan UU TPKS demi penghapusan kekerasan seksual dan memberi perlindungan kepada korban.
Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: M. Tohamaksun
Copyright © ANTARA 2023
Tags: