Jakarta (ANTARA) - Psikiater Konsultan Anak dan Remaja Rumah Sakit Khusus Daerah (RSKD) Duren Sawit, Jakarta Dian Widiastuti Vietara menjelaskan penanggulangan kasus perundungan tidak hanya melibatkan evaluasi terhadap pelaku tetapi juga kondisi korban.

“Kita harus bisa mengevaluasi kasus bullying (perundungan) dari dua sisi persepsi yang berbeda, dari sisi pelaku dan korban,” katanya dalam acara diskusi bertajuk "Katakan Tidak Pada Bullyng" di Jakarta, Kamis.

Menurut dia, ada kemungkinan besar korban perundungan sedang mengalami masalah internal di lingkungan keluarga yang membuatnya rentan menjadi sasaran perundungan di lingkungan sekitar.

“Korban pun kadang-kadang punya masalah internal yang tidak bisa dipahami dan belum diselesaikan sehingga dia tampaknya menjadi korban berkali-kali,” ujarnya.

Ia mengatakan pelaku perundungan juga tidak tertutup kemungkinan memiliki masalah internal yang belum terpecahkan.

Kondisi ini, katanya, kemungkinan membuat mereka melampiaskan tindakan perundungan kepada orang lain sebagai cara mengekspresikan atau menyelesaikan masalah yang dihadapi.

“Jadi dua-duanya harus dilakukan evaluasi, pelaku dan korban,” katanya.

Dia menjelaskan orang tua di lingkungan keluarga memiliki kontribusi besar dalam mencegah kasus perundungan terhadap anak-anak.

Baca juga: Mensos tetap pantau kasus perundungan meski tak punya medsos

Menurut dia, orang tua harus aktif berkomunikasi dan memberikan pemahaman yang baik tentang empati serta penghargaan terhadap individu lain kepada anak-anak mereka.

Hal ini akan membantu anak-anak memahami pentingnya menghargai perbedaan dan memiliki sikap toleransi terhadap orang lain, serta membuat mereka lebih peka terhadap perilaku-perilaku yang dapat menjadi awal terjadinya kasus perundungan.

Dian juga menekankan pentingnya orang tua sebagai teladan yang baik dalam sikap dan perilaku, sekaligus memberikan dukungan emosional kepada anak-anak untuk membangun kepercayaan diri yang kuat.

“Anak-anak ini belum dewasa sehingga masih belum mengerti apa yang dia harus lakukan, sehingga orang tua wajib membekali anak-anaknya untuk mengatasi tekanan emosional,” katanya.

Ia menyebut kasus perundungan terhadap anak dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis utama, yakni perundungan konvensional dan siber.

Ia menjelaskan perundungan konvensional mencakup perilaku kekerasan fisik secara berulang-ulang, seperti pemukulan dan terkadang bentuk-bentuk verbal yang merendahkan, mencemooh, atau menghina korban.

Perundungan siber, kata dia, perilaku intimidasi, penghinaan, atau pelecehan yang terjadi di lingkungan digital atau dunia maya.

Baca juga: Kementerian PPPA: Selama 2023 sudah ada 20 kasus bunuh diri anak
Baca juga: Hari internasional anti kekerasan dan perundungan momentum tekan kasus
Baca juga: KPAI beri bantuan perawatan korban perundungan anak di Bekasi